Riyanto dengan Wayang yang Berjiwa
Lelaki bernama Riyanto (41), warga kawasan barat Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, hanya berkarya berdasarkan pesanan khusus.
Namun, secara ringan ia menyatakan enggan juga kalau proses berkaryanya harus terikat dengan tenggat waktu.
"Pemesan ternyata juga bisa memaklumi ritme saya berkarya, karena mereka juga ingin mendapatkan wayang tatahan dan sunggingan yang terbaik," katanya ketika ditemui di sela berkarya di rumah tinggalnya di Dusun Soka, Desa Sewukan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Mereka yang umumnya memesan wayang kulit kepada dirinya, antara lain kalangan dalang dan kolektor wayang, baik dari berbagai tempat di Magelang, maupun beberapa daerah lainnnya di Jawa dan luar Jawa.
Antok, panggilan akrabnya itu, juga tak membuka promosi atau pemasangan iklan untuk menyebarluaskan karyanya.
"Melalui relasi dan kawan-kawan lainnya, saya mendapatkan pesanan," katanya.
Pergulatan Riyanto dalam berkesenian memang tak sekadar sebagai penatah dan penyungging wayang kulit. Akan tetapi, dia juga penabuh gamelan spesialis gender, meskipun tak jarang juga bermain di kenong, gong, atau saron.
Selain itu, dia terkadang menjadi dalang wayang dan menggarap dekorasi untuk pesta pernikahan.
Duda beranak satu tersebut, juga menjadi bagian dari komunitas seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, karena bapaknya, Wiji Karsono (Meninggal dunia pada 2008) yang juga dalang itu, turut berkiprah di padepokan seni budaya di kawasan barat Gunung Merapi yang berdiri pada 1937 itu.
Latar belakang pendidikan akademis Riyanto ternyata jauh dari khasanah dunia pewayangan. Dia lulusan Sekolah Farming Menengah Atas (SFMA) di Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang pada 1990. Sekolah tersebut, saat ini telah tutup.
Basis pemahaman tentang dunia wayang diperoleh sejak kecil dari bapaknya, namun ketekunan dan kemahiran sebagai penatah wayang sejak 1995, diperoleh dari kesetiaannya berguru kepada dalang yang juga pembuat wayang kulit dan "pakdhe-nya" (paman, red.), Hadi Sutarno, yang tinggal di Desa Tumpang, Kecamatan Sawangan, tak jauh dari rumahnya. Hadi telah meninggal dunia pada 2000.
Berbagai peralatan untuk tatah dan sungging wayang kulit, antara lain satu set tatah dari besi yang terdiri atas 24 ukuran, "pandukan" atau alas dari kayu sawo, malam (salah satu sarana pembuatan batik) untuk pelicin penatahan, palu dari kayu, dan cat sablon serta tembok aneka warna, sedangkan bahan baku berupa kulit sapi atau kerbau.
Sejak tiga tahun terakhir, ia menggunakan bambu ori untuk gapit dan tuding wayang kulit, setelah sebelumnya memakai tanduk kerbau yang diambil dari Klaten, Jawa Tengah.
"Gapit dan tuding dari bambu membuat bobot setiap wayang lebih kecil daripada tanduk. Dalang jadi lebih bisa lincah memainkan wayangnya," katanya.
Setidaknya, hingga saat ini ada empat penatah wayang kulit di Magelang, termasuk dirinya. Tiga lainnya yang disebut oleh Riyanto, yakni Iswanto (Muntilan) dan Hadi Sunoto (Krogowanan, Sawangan), keduanya di Kabupaten Magelang, serta Jatmiko (Jagoan, Kota Magelang). Mereka berkarya wayang kulit, terutama untuk pakem Yogyakarta, Surakarta, dan Kedu.
"Kami saling berkomunikasi dan tak jarang saling membantu penggarapan. Setiap penatah punya kesenangan, saya lebih senang dan 'mood' untuk tokoh raja-raja dan raksasa seperti Dasamuka, Kangsa, dan Indrajit," katanya.
Saat ini, ia sedang menggarap pesanan, antara lain tokoh wayang Dasamuka dengan harga antara Rp500.000-Rp600.000, Cakil Rp300.000, "braholo" Rp1,5 juta, Kresna Rp450.000-Rp600.000, dan Dursasana Rp700.000. Pekerjaan pembuatan satu tokoh wayang, apabila dengan konsentrasi penuh, butuh waktu lima hingga tujuh hari.
Selain itu, dia sedang mereparasi tokoh wayang Durgandono yang rusak di bagian pantat dan Prabu Kresna yang rusak di bagian yang disebut "badong", milik dua dalang. Seorang dalang lainnya, dari Kecamatan Srumbung juga mereparasikan tujuh wayangnya kepada Riyanto. Biaya reparasi setiap tokoh wayang antara Rp20.000-Rp30.000, dengan penyelesaian secara fokus antara 10 hari hingga tiga minggu.
"Lebih sulit reparasi dari pada membuat wayang baru. Harus lebih teliti, tidak sekadar menatah dan menyungging, tetapi juga menyambung. Penyambungan tidak dengan menumpukkan begitu saja, tetapi kulit wayang asli harus dibelah dulu lalu diselipkan tambalannya dan direkatkan dengan lem, untuk kemudian ditatah dan disungging," katanya.
Harga bahan baku berupa kulit kerbau per lembar yang diambilnya dari Yogyakarta saat ini sekitar Rp900.000 dan kulit sapi diambil dari Muntilan antara Rp500.000-Rp600.000. Masing-masing lembar kira-kira berukuran empat meter persegi.
Setiap lembar kulit sapi atau kerbau, bisa untuk pembuatan sejumlah tokoh wayang. Misalnya, satu lembar bahan baku itu efektif untuk pembuatan dua tokoh wayang "braholo" yang masing-masing berukuran sekitar 160 meter persegi, atau 10 wayang Cakil yang masing-masing sekitar 60X30 centimeter.
Sepintas, tak terlihat kesan bahwa dia penatah wayang kulit. Hanya beberapa karya setengah jadi yang tergantung di dinding dan tiang kayu penyangga atap limasan tempat tinggalnya.
Sejumlah wayang yang harus direparasi dan berbagai perlengkapan dirinya berkarya, tampak menumpuk di bagian ruang dalam rumah itu, yang tak jauh dari pasar sayuran setempat.
"Saya ini bukan perajin murni. Kalau datang pesanan wayang, selama ini melalui jaringan antarkawan dan kenalan sesama pelaku seni, sampai di Kalimantan Timur dan Lampung," katanya.
Kalau perajin murni, katanya, tentu setiap hari harus membuat wayang dengan jumlah yang sebanyak-banyak atau memiliki stok yang cukup untuk segera dipasarkan, serta melayani setiap pesanan supaya keuntungan segera diraih.
"Tetapi saya harus mengutamakan kecermatan dan ketelitian untuk setiap tatahan. Tidak bisa setiap pesanan diterima, ataupun berpikir stok," katanya.
Tak jarang ia harus berpuasa hingga tiga hari untuk membangun suasana hati menjadi mantap dan fokus dalam menatah wayang kulit.
"Kalau tidak 'mood' (Suasana hati tidak pas, red.), saya tidak memaksa diri. Kalau asal-asalan, terasa hanya wayang tanpa jiwa, semata-mata hanya produk kerajinan," katanya.
Ia selalu ingin bahwa karya tatah dan sungging wayang kulitnya itu marem untuk pemesan tetapi juga marem untuk dirinya.
"Membuat wayang kulit ini 'njelimet, titis (rumit dan jitu, red.), dan mood'. Ya tentang karakter tokoh, tatahan, atau pun sunggingannya, karena bermain dengan aneka warna, campuran, dan gradasi. Saya harus mencapai hasil yang marem," katanya.
Riyanto rupanya menyadari betul, bahwa dirinya harus menang atas persoalan "njelimet, titis, dan mood" untuk karya tatah dan sungging setiap tokoh wayang kulit, dengan karakternya yang berjiwa.