Isi puisi gadis bernama Atika itu membersitkan kesan keterbukaan suasana tempat pendidikan calon imam Katolik yang pada 30 Mei 2012 tepat berusia seabad.
"'Kini kupikir dan terpikir di sini indah adanya. Jilbabku diterima dengan ikhlas. Pemilik rahim ini dijadikan tamu tanpa ragu. Di malam kenaikanMu aku tersanjung. Kumohon jadikan malam ini pelengkap pelangi hidupku. Untuk meniti bidadari turun ke bumi, bersama berkah illahi rabbi'," demikian dua bait terakhir atas puisinya berjudul "Malam Surgawi".
Diksi "kenaikanMu" dalam puisi itu dapat dipastikan tautannya dengan kalender gereja pada Kamis (17/5) yang bertepatan perayaan Hari Kenaikan Isa Almasih.
"'Di malam yang kudus. Kumasuki gerbang yang tak kukenal. Kupikir di sini hanyalah sekolah teologi. Kupikir di sini komunitas laki-laki antibidadari. Kupikir di sini pemilik rahim sangat ditakuti. Namun kini terpikir, di sinilah impian menuju surgawi. Kecerdasan spiritual digali dan diterapkan di sini. Kecerdasan emosi ditatah dalam hati laki-laki, untuk menyebar di bumi. Kecerdasan intelektual dipatri dalam otak calon pemimpin umat yang merindukan surgawi'," begitu dua bait pertama puisi Atika.
Sejak waktu beranjak dari petang hingga nyaris menyentuh tengah malam itu, Seminari Menengah Mertoyudan bersama Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Magelang menggelar agenda "Malam Sastra Surgawi", sebagai rangkaian menuju puncak peringatan Seabad Seminari Mertoyudan.
Sedikitnya 30 karya puisi dan geguritan, serta sejumlah tembang sastra bernuansa Jawa dipentaskan antara lain oleh para seminaris (calon pastor), seniman petani KLG, dan beberapa penyair lainnya di Taman Santo Petrus Kanisus, halaman Seminari Mertoyudan, di tepi Jalan Raya Magelang-Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sebelum tiga pembaca puisi berturut-turut yakni Wicahyanti Rejeki, Agnes, dan Andreas Darmanto tampil dengan karya masing-masing, penyair Dorothea Rosa Herliany berpidato singkat sebagai pengantar peristiwa budaya malam itu.
Dia melanjutkan dengan membaca penggalan puisi panjang dari 375 bait yang aslinya berhuruf Arab dengan bahasa Melayu yang dinamai Arab Pegon atau Arab Melayu. Puisi berjudul "Syair Lampung Karam" yang dibaca Rosa itu tentang kisah Melayu klasik mengenai Letusan Gunung Krakatau yang ditulis oleh Muhammad Saleh pada 1883.
"Di atas langit nyata kelihatan. Seperti bunga api yang kelihatan. Hati di dalam takutlah Tuan. Bahaya banyak diturunkan Tuhan. Rupanya gelap nyatalah tentu. Di atas langit terang suatu. Sebab terbang api di situ. Kiri dan kanan datangnya itu. Malam Isnin waktunya Isya. Lautan gemuruh ketika masa. Heran ajaib kepada rasa. Penglihatan berubah dari biasa'," demikian beberapa bait puisi yang kelihatannya tentang situasi bencana mahadahsyat Krakatau pada masa lampau.
Belasan seminaris dengan tampilan apik, menggugah hati, dan variatif pada kesempatan itu menyuguhkan puisi-puisi mereka baik secara individu maupun duet, dengan iringan antara lain petikan gitar, gesekan biola, dan tiupan seruling.
Seperti duet seminaris bernama Marcel dan Uwel melalui puisi bertajuk "Ikutilah Kata Hatimu!" yang agaknya refleksi telusuran mereka atas jalan panggilan menjadi seorang imam Katolik melalui proses pendidikan di seminarinya.
"'Ketika Dia menyuruhku, aku masih membangkang. Lama kelamaan, tatapanNya, membuatku untuk diam, membuatku untuk mendengar. Wajah yang dahulu samar, kini menjadi kentara. Dia terus memandangiku. Aku berpikir, mengapa Dia tak jemu memandangiku? Dia berbisik padaku. Ikutilah kata hatimu!'," demikian beberapa bait pendek puisi itu.
Mereka bacakan puisi itu dengan iringan petikan gitar seorang seminaris lainnya dan sorotan lampu cukup kuat mengarah ke patung Santo Petrus Kanisius karya pematung dari Gunung Merapi, Ismanto, yang berinstalasi bambu berjudul "Gunung Gothic".
Malam itu juga sang pematung, Ismanto, menyuguhkan performa puisi berjudul "Golek Seneng Kanthi Nyebar Seneng" (Mencari bahagia dengan menyebar kegembiraan), sedangkan anaknya bernama Agatha Sekar menyuguhkan puisi berjudul "Tuhannya Sekar".
Patrik Ananto, seorang seminaris dari kelas yang dalam kultur pendidikan seminari dinamakan "medan tamtama", melalui karya sastra berjudul "Sebuah Nama Sebuah Semangat", agaknya ingin menggambarkan bahwa jalan pendidikan calon pastor ibarat mereka dalam medan pertempuran.
"'Pasukanku nyaris hancur. Hanya sedikit yang tersisa. Tapi aku tak boleh kalah. Aku tak boleh menyerah. Kuingat lagi nama yang kugoreskan di tebing. Semangatku kembali. Kulawan mereka dengan pasti. Kupukul mundur mereka. Ya... Aku menang. Dan kukuasai medan laga. Ini semua karena sebuah nama. Nama Yesus di dinding tebing. Sumber semangatku'," begitu puisinya yang dibaca seorang seminaris sesama "medan tamtama" bernama Ryan Aditya.
Seorang seminaris yang selesai membacakan karyanya dari panggung level berbalut kain warna hitam dengan instalasi antara lain gender, saron, dan demung di taman itu, kemudian mengambil lintingan kertas dari dalam kendil beralas cobek. Dibacanya tulisan di kertas kecil itu.
"Gus Kholil," katanya bernada memanggil seseorang. Maksudnya pembacaan puisi berikutnya oleh Kholilul Rohman Ahmad (Gus Kholil) berasal dari kawasan Pondok Pesantren Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang. Gus Kholil saat ini menjadi staf ahli salah satu fraksi DPR RI di Jakarta.
Ia yang mengenakan peci hitam, berbaju putih motif garis-garis dan bercelana panjang warna hitam itu memanfaatkan waktu liburan panjang akhir minggu ketiga Mei 2012 dengan tampil membacakan satu karya sastra pada "Malam Sastra Surgawi" Seminari Mertoyudan.
Sambil menduduki dingklik di satu panggung level itu, Gus Kholil membuka sajak sembilan baris dari tampilan data blackbarry-nya. Sajak itu bernama "Erang-Erang Sekar Panjang", karya Kiai Siradj Payaman pada 1351 Hijriah atau 1950 Masehi yang isinya nampaknya ajakan kepada manusia untuk menjalani hidup yang baik agar mendapatkan kemuliaan di akhirat.
Beberapa baris sajak itu, "'Iling iling sira menungsa kabeh iku bakal mati, pumpung durung sira iku ketekanan maring pati. Nggonmu mati lamun beja ana kubur luwih mulya, katimbang urip ira arikala ana ndunya. Aja sira ngarep arep ing mulyane awak ira. Lamun ora gelem taat arikala ana ndunya. Aja susah kurang sandang kurang pangan saben ndina. Susahana sira iku ing landrate awak ira. Aja sira ngasa-asa nggonmu golek banda dunya. Nggonmu golek sira iku ngasi tekan liya negara'".
Di akhir pembacaan sajaknya itu, Gus Kholil membacakan baris pamungkas dengan menembangkannya, "'Ngilingana sira iku nek wis lunga nunggang krenda ora bakal sira iku bisa balik maring ndunya'".
Pada kesempatan itu seorang seminaris lainnya Ignatius Oktavianus membacakan puisi "Lelaki Penikmat Malam", seniman petani dari Gunung Sumbing Sarwo Edi membacakan geguritan "Sumunaring Cahyaning Seminari", sedangkan pegiat Komunitas Lima Gunung dari Bandongan, Pangadi, dengan geguritan "Jiwo Rogo Sejati".
Pemimpin Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Gunung Merapi Sitras Anjilin dengan sejumlah anggotanya yang juga seniman petani menyajikan performa sastra "Pengarep-arepku" dan pegiat Studio Mendut (Menoreh) Ari Kusuma membawakan puisi "Calon Pastur dan Es Krim".
Selain itu, seniman petani dari Gunung Andong, Gianto dan Supadi, masing-masing dengan karyanya "Angin Gunung" serta geguritan "Tembang Kautaman", sedangkan Riyadi dari Gunung Merbabu dengan iringan tiupan seruling dan latar belakang penari topeng panji membawakan puisi "Gejolak Otak dan Hati".
Pamong Seminari Mertoyudan, Romo Antonius Saptono Hadi, memanfaatkan kesempatan malam itu untuk berbagi renungan melalui apa yang disebutnya sebagai puisi panggilan berjudul "Bahagia Menjadi Sandera Kristus".
"'Pemberontakan diri tak berarti lagi. Kristus telah mengikatku dengan tali-tali kasihNya. Aku tak berdaya, rela, dan pasrah menjadi sandera Kristus. Aku bukan aku lagi, melainkan Kristus yang menghidupi dan menentukan kehidupanku. Mulutku dibuka untuk mewartakan pribadi Kristus. Tanganku dilepaskan untuk melakukan pekerjaanNya. Kakiku dibebaskan untuk menjalankan sabdaNya. Jiwa dan batinku dipakaiNya untuk menyatakan kasihNya. Itulah kebahagiaanku menjadi sandera Kristus'," demikian dua di antara empat bait puisinya itu.
Rosa Herliany yang hingga saat ini telah menerbitkan sekitar 20 buku puisi dan esai itu menyatakan senang terhadap tema pembacaan puisi malam itu. Peristiwa itu menyadarkan hadirnya mandat surgawi atau panggilan tugas dari alam semesta kepada manusia.
"Bahwa ada banyak hal di sekitar kita baik peristiwa kecil, yang tampak biasa saja atau juga peristiwa besar, yang perlu dituliskan dalam bentuk puisi atau secara umum sastra," kata Rosa yang juga Direktur Rumah Buku Dunia Tera Borobudur itu.
Rektor Seminari Mertoyudan Romo Sumarya mengemukakan, pembacaan sastra dalam dunia pendidikan bermanfaat mengembangkan imajinasi dan cita-cita para seminaris, serta meneguhkan panggilan mereka sebagai imam Katolik.
Jauh sebelum Rektor Sumarya naik pentas untuk menyajikan tembang refleksi "Wiwit Aku", Sutanto Mendut yang juga pengukuh Komunitas Lima Gunung Magelang kejatah naik panggung.
Dia menyebut karyanya "Anak Bulan dan Cucu Matahari Lima Gunung" bukan puisi tetapi lontaran materi-materi kata dan kalimat untuk menyulut inspirasi menjadi puisi oleh sejumlah perempuan yang dipanggilnya naik panggung.
Pada kesempatan itu seniman dari Gunung Prahu Kabupaten Kendal, Taufik, mengolaborasi penampilan Sutanto bersama sejumlah perempuan seperti Dorothea Rosa, Wicahyanti, Endah Pertiwi, Nana Ayom, dan Atika melalui ciptaan bunyi-bunyian tentang aneka satwa gunung.
Sutanto juga menyebut bahwa sastra memperkaya hidup manusia karena terus berubah.
"'Anak cucu, bulan dan matahari lima gunung. Di mana cucuku, kata kakek, di mana cucuku kata nenek. Di mana kakekku, kata cucu, di mana nenekku, kata cucu. Bapak ibu cemburu termangu, para ibu diam, tidak ada inspirasi atau cuma termangu di atas panggung. Politik menyediakan para wanita. Agama menyediakan para ibu. Ekonomi memberikan kesaksian tentang kekuatan bangsa dari para gadis, para wanita. Gunung adalah ibu karena gunung memberi air susu, memberi sungai. Gunung adalah ibu yang menggendong anak dan cucu'," demikian syair yang diucapkan spontan oleh Sutanto.
Apa yang disebut Sutanto sebagai bahan puisi dan mendapat respons berupa "satu dua kata", bunyian satwa, dan sekelumit tembang kolaborasi spontan melalui pelantang oleh sejumlah mereka yang naik di panggung bersamanya itu membuat gelak tawa para penonton.
Atmosfer "Malam Sastra Surgawi" pun terbangun semakin cair sejak penampilan Sutanto Mendut, sedangkan Wicahyanti yang juga guru Bahasa Indonesia di SMP Kristen 1 Kota Magelang menyebut peristiwa tebaran puisi di halaman Seminari Mertoyudan itu sebagai "asyik".