Mengajar Matematika dengan hati, bangun koneksi sosial emosional di kelas
Semarang (ANTARA) - Matematika adalah ilmu yang abstrak. Banyak siswa cenderung menghindar dari pelajaran matematika. Matematika sering kali menjadi mata pelajaran yang menimbulkan kecemasan pada siswa (math anxiety). Terlebih lagi image guru matematika “menyeramkan”, jarang tersenyum, jika mengajar meminta semua peserta didiknya diam memperhatikan dengan serius. Jika ada yang bergerak sedikit, lengah tidak memperhatikan langsung dilempar pertanyaan yang membuat siswa gelagapan dan tidak merasa nyaman. Jika hal itu didiamkan akan berdampak pada hasil belajar siswa.
Salah satu solusi untuk mengurangi kecemasan siswa saat belajar matematika adalah dengan menerapkan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) atau mengajarkan matematika dengan hati dan membangun koneksi sosial emosional siswa di kelas.
Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) adalah proses belajar yang membantu siswa mengenali dan mengelola emosi mereka, bergaul dengan baik dengan orang lain, dan membuat keputusan yang baik. Ketika siswa merasa didukung secara emosional, mereka lebih percaya diri untuk belajar, mencoba, dan berpartisipasi aktif dalam pelajaran matematika.
Sri Wahyu Winnarty, S.Pd.M.Pd, Guru SMP Negeri 13 Cimahi*, di awal pembelajaran terlebih dahulu mengajak siswa bercerita hal hal yang mereka lakukan. Berbagi cerita tentang kegiatan pagi hari. Tentang aktivitas yang dihabiskan saat tidak sekolah. Tentang berita berita yang sedang viral.
“Saya juga meminta maaf jika terlambat hadir di kelas atau karena terpaksa harus meninggalkan kelas lebih cepat. Memberi apresiasi atas hal hal baik yang siswa lakukan. Saya buat daftar pertanyaan. Saya hampiri dan dengarkan jawaban setiap siswa. Sedikit sentuhan di pundak untuk meyakinkan siswa bahwa kita siap mendengarkan,” cerita Sri Wahyu.
Sri Wahyu mengakui dengan pembiasaan tersebut, perlahan namun pasti terjadi perubahan luar biasa di kelas, dari yang sebelumnya komunikasi berjalan satu arah, saat guru melontarkan pertanyaan, tidak ada yang menanggapinya.
“Dulu jika saya bertanya apakah kalian sudah mengerti? adakah yang mau kalian tanyakan? tidak satu pun dari siswa yang mengacungkan tangan untuk bertanya atau menanggapi pertanyaan kita dengan alasan takut salah. Sekarang keadaan berbalik, siswa berani terbuka dan bertanya jika memang ada yang tidak dimengerti serta butuh penguatan. Siswa berlomba untuk meminta validasi atas latihan latihan soal yang diberikan. Siswa tidak lagi menutup bukunya saat dihampiri. Bahkan siswa terbiasa berdiskusi atas tugas yang diberikan melalui chat di Whatsapp. Jika dulu saya sibuk mengingatkan siswa untuk menyelesaikan semua tugas yang diberikan, kini setiap siswa menyelesaikan tugasnya tepat waktu,” kata Sri Wahyu.
Mengajar, kata Sri Wahyu, bukan hanya menyampaikan materi di depan kelas dan juga tidak sekedar membuat siswa paham dengan materi yang disampaikan, namun juga menerapkan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) dengan membantu siswa mengenali dan mengelola emosi mereka.
“Jangan abaikan emosi siswa, perhatikan ekspresi wajah atau bahasa tubuh siswa yang tampak cemas, dukung mereka secara individu. Guru yang menerapkan PSE cenderung lebih peka terhadap kebutuhan siswa, menjadikan siswa merasa lebih dipahami dan dihargai,” kata tutup Sri Wahyu.
*: Diseminasi Program Tanoto Foundation
Salah satu solusi untuk mengurangi kecemasan siswa saat belajar matematika adalah dengan menerapkan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) atau mengajarkan matematika dengan hati dan membangun koneksi sosial emosional siswa di kelas.
Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) adalah proses belajar yang membantu siswa mengenali dan mengelola emosi mereka, bergaul dengan baik dengan orang lain, dan membuat keputusan yang baik. Ketika siswa merasa didukung secara emosional, mereka lebih percaya diri untuk belajar, mencoba, dan berpartisipasi aktif dalam pelajaran matematika.
Sri Wahyu Winnarty, S.Pd.M.Pd, Guru SMP Negeri 13 Cimahi*, di awal pembelajaran terlebih dahulu mengajak siswa bercerita hal hal yang mereka lakukan. Berbagi cerita tentang kegiatan pagi hari. Tentang aktivitas yang dihabiskan saat tidak sekolah. Tentang berita berita yang sedang viral.
“Saya juga meminta maaf jika terlambat hadir di kelas atau karena terpaksa harus meninggalkan kelas lebih cepat. Memberi apresiasi atas hal hal baik yang siswa lakukan. Saya buat daftar pertanyaan. Saya hampiri dan dengarkan jawaban setiap siswa. Sedikit sentuhan di pundak untuk meyakinkan siswa bahwa kita siap mendengarkan,” cerita Sri Wahyu.
Sri Wahyu mengakui dengan pembiasaan tersebut, perlahan namun pasti terjadi perubahan luar biasa di kelas, dari yang sebelumnya komunikasi berjalan satu arah, saat guru melontarkan pertanyaan, tidak ada yang menanggapinya.
“Dulu jika saya bertanya apakah kalian sudah mengerti? adakah yang mau kalian tanyakan? tidak satu pun dari siswa yang mengacungkan tangan untuk bertanya atau menanggapi pertanyaan kita dengan alasan takut salah. Sekarang keadaan berbalik, siswa berani terbuka dan bertanya jika memang ada yang tidak dimengerti serta butuh penguatan. Siswa berlomba untuk meminta validasi atas latihan latihan soal yang diberikan. Siswa tidak lagi menutup bukunya saat dihampiri. Bahkan siswa terbiasa berdiskusi atas tugas yang diberikan melalui chat di Whatsapp. Jika dulu saya sibuk mengingatkan siswa untuk menyelesaikan semua tugas yang diberikan, kini setiap siswa menyelesaikan tugasnya tepat waktu,” kata Sri Wahyu.
Mengajar, kata Sri Wahyu, bukan hanya menyampaikan materi di depan kelas dan juga tidak sekedar membuat siswa paham dengan materi yang disampaikan, namun juga menerapkan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) dengan membantu siswa mengenali dan mengelola emosi mereka.
“Jangan abaikan emosi siswa, perhatikan ekspresi wajah atau bahasa tubuh siswa yang tampak cemas, dukung mereka secara individu. Guru yang menerapkan PSE cenderung lebih peka terhadap kebutuhan siswa, menjadikan siswa merasa lebih dipahami dan dihargai,” kata tutup Sri Wahyu.
*: Diseminasi Program Tanoto Foundation