Purwokerto (ANTARA) - Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) merupakan salah satu kebijakan yang diusung Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim pada tahun 2020. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kemerdekaan bagi mahasiswa, yakni untuk memilih belajar sepenuhnya atau hanya sebagian di dalam program studi (prodi). Tetapi, apakah mahasiswa benar-benar merdeka dalam menentukan pilihannya?
Dalam implementasinya, MBKM memiliki beberapa program, yakni Kampus Mengajar, Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM), Wirausaha Merdeka, Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA), Praktisi Mengajar, dan Magang Mandiri. Sebanyak 47.984 mahasiswa mengikuti program MSIB batch 6, yang merupakan batch terbanyak untuk pendaftar MSIB sejak batch 1. Menjadi hal yang wajar jika mahasiswa tertarik dengan program MSIB, tidak hanya menawarkan konversi 20 Satuan Kredit Semester (SKS), MSIB juga menjanjikan adanya uang bulanan.
Ilusi kebebasan
MBKM memang mendorong mahasiswa beraktivitas di luar kampus, yang terbukti pada suatu semester tertentu hampir semua mahasiswa dari sebuah prodi tak lagi berada di kampus. Mereka umumnya magang pada perusahaan atau lembaga yang menjadi mitra kampus. Tiap mahasiswa punya hak setidaknya dua semester belajar di luar kampus. Dengan target masa studi ideal (versi kampus) yakni empat tahun, mahasiswa tak punya banyak waktu untuk beraktivitas di dalam kampus. Jika mahasiswa bisa ber-MBKM sejak semester 5, maka sejak awal kuliah, mahasiswa maksimal dua tahun beraktivitas di lembaga kemahasiswaan. Begitu kembali dari aktivitas MBKM, mereka sudah dituntut untuk menyelesaikan tugas akhir, biar segera lulus. Ketika mahasiswa mulai menemukan kematangan di organisasi kemahasiswaan kampus, mereka harus tinggalkan demi MBKM. Seolah mahasiswa diberi kebebasan, tetapi sejatinya mereka tak cukup leluasa beraktivitas di dalam kampus.
Beraktivitas di luar kampus memang penting, tetapi jangan sampai mengkerdilkan aktivisme di dalam kampus. Tokoh-tokoh besar bangsa ini umumnya memiliki jejak aktivisme kampus yang kuat. Soekarno misalnya, aktif dalam kegiatan pergerakan nasional ketika masih mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung). Di kampus, ia aktif dalam berbagai organisasi mahasiswa dan mendirikan organisasi bernama Algemene Studie Club pada tahun 1926 yang menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI). Muhammad Hatta aktif dalam dunia pergerakan mahasiswa ketika ia belajar di Handels Hoogeschool di Rotterdam, Belanda. Di sana, ia menjadi ketua organisasi Perhimpunan Indonesia (PI), yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui diplomasi internasional. Begitu juga Sutan Sjahrir, ia aktif dalam pergerakan nasional saat belajar di Universitas Amsterdam, Belanda. Di sana, ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia dan aktif dalam menyebarkan ide-ide kemerdekaan.
Ilusi kebebasan juga terasa saat mahasiswa menentukan pilihan bentuk kegiatan pembelajaran (BKP) dalam MBKM. Di atas kertas, memang banyak pilihan BKP, seperti magang, pertukaran mahasiswa, kampus mengajar, wirausaha, atau student mobility. Tapi menilik kesiapan kampus, tak mudah menentukan pilihan. Misalnya untuk magang mandiri, tak cukup banyak mitra kampus yang bisa dipilih. Kadang mahasiswa harus pontang-panting sendiri mencari tempat magang. Ada juga kasus tempat magang yang overload. Mungkin karena tidak enak untuk menolak permintaan magang, ada suatu instansi yang menerima mahasiswa melebihi kapasitas, sehingga mahasiswa harus masuk secara bergantian. Belum lagi kalau bicara kualifikasi mitra, banyak tempat yang sebetulnya tidak layak dijadikan tempat magang. Di masa-masa awal MBKM, ada cerita mahasiswa magang yang tugasnya hanya menerima dan menyortir surat.
Ketika mahasiswa beraktivitas di luar kampus, misalnya magang, mereka juga tak serta merta bebas menentukan apa yang akan dipelajari. Ada beberapa tempat magang yang sebetulnya tidak siap menjadi tempat belajar. Mereka tidak memiliki dan menyiapkan strategi pembelajaran, termasuk tidak menyiapkan mentor yang mumpuni. Bahkan ada perusahaan yang lebih berorientasi menjadikan mahasiswa sebagai tenaga kerja cuma-cuma. Belum lama ini kita dibuat ramai oleh kasus eksploitasi mahasiswa yang magang di luar negeri. Ribuan mahasiswa Indonesia yang mengikuti program magang Ferienjob di Jerman menjadi korban perdagangan manusia. Mereka diwajibkan membayar biaya yang berlebihan untuk surat penerimaan kampus, izin kerja, dan biaya lainnya. Beberapa mahasiswa melaporkan bahwa mereka bekerja di luar bidang studi mereka dan kondisi kerja yang buruk.
Di dalam negeri pun juga ada kasus serupa. Banyak mahasiswa yang menjalani magang di perusahaan melaporkan bahwa mereka diperlakukan tidak adil. Misalnya, Agus, seorang mahasiswa dari universitas negeri di Bogor, mengalami kondisi kerja yang memperburuk depresi yang dideritanya. Dini, seorang mahasiswa dari Surabaya, harus menempuh perjalanan jauh dan bekerja dalam jam kerja panjang tanpa kompensasi apapun. Sayangnya memang, hukum ketenagakerjaan Indonesia tidak melindungi mahasiswa magang sebagaimana pekerja penuh waktu. Mahasiswa magang sering kali bekerja lebih dari 40 jam seminggu tanpa kompensasi yang layak. Permenaker No. 6 Tahun 2020 yang mengatur magang domestik tidak berlaku bagi mahasiswa yang magang untuk tujuan pendidikan atau mendapatkan kredit akademik.
Hakikat kebebasan
Semangat kebebasan dalam MBKM sejatinya baik, yakni mengafirmasi pencapaian pembelajaran secara lebih menyeluruh dan fleksibel. Di dalamnya ada fleksibilitas kurikulum, mobilitas, pengalaman praktis, pemberdayaan, dan juga kebebasan akademik. Namun, untuk mewujudkannya harus dengan persiapan yang matang. Ada kesan MBKM ini dipaksakan, sehingga aspek kebebasannya justru kabur. Pelaksanaan MBKM dihitung sebagai pencapaian Indeks Kinerja Utama (IKU) sebuah perguruan tinggi, sehingga fokusnya lebih pada aspek kuantitas, yakni berapa persentase mahasiswa yang terlibat dalam MBKM. Aspek kualitas, seperti seberapa persen CPL (Capaian Pembelajaran Lulusan) yang mampu dicapai melalui MBKM belum menjadi perhatian yang serius.
Jika aspek kuantitas bukan hal utama, pengelola kampus tak perlu memobilisasi mahasiswanya agar ikut MBKM, siap atau tidak siap. Biarkan mahasiswa memilih, apakah akan tetap beraktivitas di dalam kampus atau di luar kampus. Mereka yang belajar di luar tak selalu lebih baik dari yang belajar di dalam. Bahkan ada beberapa mata kuliah prinsipil yang sulit dikonversi dengan aktivitas MBKM di luar kampus. Mungkin ada mitra yang sudah siap sepenuhnya menjadi tempat MBKM, tetapi banyak juga yang belum. Kita harus akui, memobilisasi mahasiswa dalam MBKM berpotensi menjerumuskan mahasiswa untuk belajar secara serampangan, tidak paralel dengan CPL terkait.
Tak kalah pentingnya, pemerintah perlu menyesuaikan regulasi yang ada untuk mendukung program MBKM ini, misalnya dari aspek hukum ketenagakerjaan. Pemerintah perlu merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk menjamin perlindungan bagi mahasiswa magang. Ini termasuk peraturan mengenai jam kerja maksimal, kompensasi minimal, dan jaminan kondisi kerja yang layak. Pemerintah dan perguruan tinggi harus membentuk tim khusus untuk memantau dan mengevaluasi program magang, memastikan tidak ada eksploitasi dan pelanggaran hak-hak mahasiswa.
Akhirnya, kita memang harus merenungkan ulang apa hakikat kebebasan yang dibawa oleh program MBKM ini. Semangat fleksibilitas dalam kebijakan ini justru membelenggu kreativitas dan kebebasan mahasiswa. Program ini sudah berjalan hampir empat tahun, saatnya dilakukan evaluasi secara menyeluruh oleh berbagai pihak terkait, demi Pendidikan di Indonesia yang lebih baik.
*) Hanna Christi Dwimei, mahasiswa Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).
Baca juga: Mahasiswa Fisika Unsoed raih prestasi projek terbaik di MSIB Batch 6 Bangkit Akademi
Baca juga: Jurusan Agroteknologi Unsoed adakan Workshop Kurikulum Berbasis OBE
Baca juga: Unsoed gelar Workshop Pemutakhiran Daftar Informasi Publik