DPRD Semarang : Filosofi zona sekolah seperti toko modern
Semarang (ANTARA) - Sekretaris Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang Anang Budi Utomo menjelaskan bahwa sistem zonasi sekolah sebenarnya filosofinya seperti toko modern.
"Zonasi itu filofosinya kayak toko modern. Kalau di sini sudah ada toko modern, ada orang rumahnya di sini pasti akan beli di sini. Enggak mungkin beli di (toko modern, red.) sana," katanya, di Semarang, Senin.
"Kenapa bisa begitu? Karena standarnya (toko modern, red.) yang di sini dan di sana itu sama," katanya.
Artinya, kata dia, menjadi tugas pemerintah untuk memastikan pemerataan standar kualitas seluruh sekolah negeri sehingga tidak ada lagi istilah sekolah favorit.
Menurut dia, sistem zonasi juga lebih meringankan masyarakat, terutama orang tua siswa, dalam hal ekonomi, misalnya hemat bahan bakar minyak (BBM) karena sekolahnya dekat dan hemat waktu.
"Ini kalau mau dilihat secara komprehensif. Nah, tugas pemerintah adalah standarisasi mutu. Kalau perlu, kepala sekolah yang favorit dikirim ke situ (sekolah kurang bagus, red.) biar jadi bagus," katanya.
Diakuinya, selama ini Kota Semarang masih lemah pada soal pemetaan mutu pendidikan sehingga muncul stigma sekolah-sekolah tertentu yang dianggap sebagai favorit.
Padahal, kata Anang, jika dihitung secara kriteria mutu sebenarnya belum tentu sekolah yang tidak dianggap favorit kualitasnya kurang bagus.
"Nyatanya, kalau (penilaian, red.) akreditasi semua sekolah negeri nilainya bagus-bagus, nilainya 92, 91. Sebenarnya, saat ini (yang kurang, red.) hanya persoalan pemerataan akses, ya," katanya.
Ia mengatakan daerah-daerah yang selama ini masih "blank" atau tidak memiliki sekolah negeri, perlu dibangunkan sekolah negeri, tetapi perlu juga melihat keberadaan sekolah swasta di wilayah tersebut.
"Kalau zonasi penting dan tujuannya untuk pemerataan mutu pendidikan. Konsep zonasi justru lebih bagus, nanti afirmasi yang akan diperkecil," katanya.
Namun, Anang menegaskan bahwa afirmasi untuk siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu harus tetap difasilitasi oleh sekolah.
"Zonasi itu filofosinya kayak toko modern. Kalau di sini sudah ada toko modern, ada orang rumahnya di sini pasti akan beli di sini. Enggak mungkin beli di (toko modern, red.) sana," katanya, di Semarang, Senin.
"Kenapa bisa begitu? Karena standarnya (toko modern, red.) yang di sini dan di sana itu sama," katanya.
Artinya, kata dia, menjadi tugas pemerintah untuk memastikan pemerataan standar kualitas seluruh sekolah negeri sehingga tidak ada lagi istilah sekolah favorit.
Menurut dia, sistem zonasi juga lebih meringankan masyarakat, terutama orang tua siswa, dalam hal ekonomi, misalnya hemat bahan bakar minyak (BBM) karena sekolahnya dekat dan hemat waktu.
"Ini kalau mau dilihat secara komprehensif. Nah, tugas pemerintah adalah standarisasi mutu. Kalau perlu, kepala sekolah yang favorit dikirim ke situ (sekolah kurang bagus, red.) biar jadi bagus," katanya.
Diakuinya, selama ini Kota Semarang masih lemah pada soal pemetaan mutu pendidikan sehingga muncul stigma sekolah-sekolah tertentu yang dianggap sebagai favorit.
Padahal, kata Anang, jika dihitung secara kriteria mutu sebenarnya belum tentu sekolah yang tidak dianggap favorit kualitasnya kurang bagus.
"Nyatanya, kalau (penilaian, red.) akreditasi semua sekolah negeri nilainya bagus-bagus, nilainya 92, 91. Sebenarnya, saat ini (yang kurang, red.) hanya persoalan pemerataan akses, ya," katanya.
Ia mengatakan daerah-daerah yang selama ini masih "blank" atau tidak memiliki sekolah negeri, perlu dibangunkan sekolah negeri, tetapi perlu juga melihat keberadaan sekolah swasta di wilayah tersebut.
"Kalau zonasi penting dan tujuannya untuk pemerataan mutu pendidikan. Konsep zonasi justru lebih bagus, nanti afirmasi yang akan diperkecil," katanya.
Namun, Anang menegaskan bahwa afirmasi untuk siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu harus tetap difasilitasi oleh sekolah.