Magelang (ANTARA) - Lesmana dengan kukuh menjaga Dewi Sinta agar tidak diterjang marabahaya selagi Prabu Rama Wijaya memenuhi keinginan sang istri untuk menangkap Kijang Kencana di Hutan Dandaka, kawasan pengasingan mereka.
Menjaga keselamatan Sinta (diperankan oleh Nova) menjadi amanah yang teramat penting namun tak mudah dikerjakan Lesmana (Eka Pradaning). Dengan tulus, Lesmana melaksanakan tugas yang diberikan Rama (Sapto Murdiono), kakak tiri yang juga menjadi suri teladannya tentang sosok kesatria utama.
Kesulitan mengambil keputusan yang dihadapi Lesmana itu justru memperkukuh tekad dia melaksanakan tugas itu, ketika Sinta mendengar dari tempat jauh berupa teriakan sayup-sayup seperti suara Rama sedang minta pertolongan. Sinta pun memerintah Lesmana menyusul Rama.
Lesmana pun harus menghadapi tudingan menginginkan kematian Rama agar bisa memperistri Sinta tatkala secara halus menolak menyusul tokoh utama dalam epos Ramayana itu. Ia harus meyakinkan ketulusan menjaga Sinta dengan bersumpah akan hidup wadat (membujang).
Tekad kuat menjaga Sinta juga dibuktikan Lesmana dengan memasang rajah Kalacakra berbentuk lingkaran membentengi istri Rama itu dari malapetaka, selama ditinggal menyusul Rama. Bagi Lesmana, situasi tersebut bagaikan makan buah simalakama.
Itulah kisah salah satu adegan wayang orang berdurasi pendek dengan lakon "Sirnaning Angkara Murka". Naskah cerita dan dalang oleh Ki Susilo Anggoro, sedangkan pergelaran berlangsung di Joglo Sasana Pamardi Budaya Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah, pada 3 Desember 2022 pukul 22.45-23.41 WIB.
Wayang orang yang menceritakan penculikan Sinta oleh Rahwana (Surawan) hingga kematian Raja Alengka itu diperankan para seniman Sanggar Sapto Laras Budaya Kota Magelang. Kematian Rahwana sebagai manifestasi atas lakon tentang lenyapnya angkara murka sehingga Sinta kembali ke pangkuan Sang Prabu.
Seluruh rangkaian acara seni budaya dengan tema utama "Greget Sengguh Ora Mingkuh" --bersemangat istikamah melestarikan kesenian tradisional--itu, juga ditandai dengan dialog interaktif tentang pelestarian seni dan budaya tradisional, pementasan tari gambyong, dan ketoprak guyon maton.
Hadir pada pergelaran dengan tempat berupa joglo dikelola Susilo Anggoro di tengah permukiman warga kawasan pinggir Kali Progo Kampung Meteseh, Kota Magelang tersebut, antara lain, Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah Moh Budiyono, Sekretaris Daerah Kota Magelang Joko Budiono, pemuka masyarakat, tokoh agama dan pemuda, serta warga setempat.
Sebagaimana diungkapkan Moh Budiyono, legislator berasal dari daerah pemilihan setempat, pementasan wayang sebagai tontonan sekaligus tuntunan itu memiliki ruang terbuka luas bagi penonton meneguk makna dan pesan penting serta aktual bagi kepentingan kemaslahatan bersama.
Pergelaran itu juga tampak sejalan ihwal betapa pentingnya pemanfaatan budaya sebagai sumber ilmu pengetahuan sebagaimana disampaikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, Agustus silam.
Oleh Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO), pada 7 November 2003, wayang ditetapkan sebagai mahakarya warisan kemanusiaan lisan dan tak benda, sedangkan Pemerintah Indonesia juga menetapkan tanggal itu sebagai Hari Wayang Nasional, sebagai bagian dari upaya bersama-sama warga bangsa ini melestarikan dan mengembangkan seni pedalangan tersebut sebagai aset budaya bangsa.
Dalam konteks terkini, selayaknya semakin disadari bahwa masyarakat, bangsa, dan negara yang sedang dihadapkan pada berbagai tantangan, antara lain berupa tahapan panjang menuju Pemilu 2024, guncangan krisis global, dan perjuangan yang masih harus ditempuh masyarakat untuk mengakhiri pandemi COVID-19.
Presiden Joko Widodo pada akhir bulan lalu juga menekankan pentingnya situasi tetap adem dan kondusif dalam rangkaian menuju puncak pesta demokrasi tahun mendatang agar bangsa ini bisa menghadapi tantangan yang lebih besar berupa krisis global dampak pandemi dan perang.
Pemilu sudah seharusnya berlangsung dalam suasana demokratis, berkualitas, bermartabat, dan yang penting juga mencegah praktik politik identitas karena riskan menjerumuskan bangsa multikultur ini ke dalam disintegrasi dan porak-porandanya semangat kebatinan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melalui pementasan lakon wayang "Sirnaning Angkara Murka" itu, kiranya boleh diunduh pesan tentang pentingnya sikap kukuh menyelamatkan negeri yang bineka ini dari ancaman malapetaka, sebagaimana senjata batin berupa keteguhan Lesmana menjalankan amanah Rama yang penuh tantangan dalam menjaga Sinta.
Tekad kukuh dan tulus sang kesatria itu yang bahkan hingga bersumpah hidup wadat, bagaikan semangat seluruh kekuatan bangsa ini menjaga keselamatan negeri hingga tetes darah terakhir. Dalam jargon nasionalisme yang telah menghilir kepada masyarakat umum sering diungkap tekad "NKRI harga mati". Di balik tekad itu terbentang semangat luhur mewujudkan cita-cita bersama, sebagaimana para pendiri bangsa telah menggelar masa depan Indonesia Raya.
Benteng Kalacakra penjaga Sinta yang digelar Lesmana, bisa dimaknai sebagai pentingnya falsafah Pancasila bagi bangsa ini agar selalu dibentang untuk membentengi kehidupan setiap orang dalam kesatuan dan persatuan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara dari berbagai tantangan dan ancaman marabahaya.
Ketika malam makin beranjak mencapai titik tengah, bunyi gamelan di pendopo pementasan wayang terus bertalu-talu. Auranya terkesan magis. Iramanya seolah-olah mengiringi pucak tertinggi penebaran pesan yang dibeberkan sang dalang, “Sura sudira jayaning kang rat swuh brastha tekaping ulah darmastuti.” Terjemahan bebasnya, segala bentuk angkara murka yang bertakhta dalam diri manusia bakal sirna oleh kelembutan dan kasih sayang.
Tepukan tangan para penonton terasa sebagai telah beroleh batin plong menyimak dengan tekun jalannya pergelaran. Tepuk tangan mereka seakan hendak mengabarkan kepada khalayak luas tentang terbukanya tabir pesan utama yang bermakna kekinian atas lakon pementasan wayang.
Bahwa dibutuhkan keberanian dan keunggulan setiap warga bangsa dalam menjalani keutamaan dan budi pekerti sebagai kesatria untuk menjaga keselamatan negeri dari ancaman malapetaka agar negeri ini terus melaju hingga menuju zaman keemasan Indonesia Raya.
Jalan keutamaan dan budi pekerti luhur itu, kiranya boleh dikatakan menjadi pusaka sakti dalam menghadapi barbar angkara murka.
Editor: Achmad Zaenal M