Pengusaha rokok kecil di Kudus merisaukan peredaran rokok ilegal
Kudus (ANTARA) - Sejumlah pengusaha rokok golongan kecil di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, merisaukan masih adanya peredaran rokok ilegal di wilayah pangsa pasarnya sehingga bisa menurunkan omzet penjualan karena rokok ilegal dijual lebih murah.
"Saat ini, kondisi perekonomian memang sedang bangkit dari sebelumnya terdampak pandemi. Sehingga harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksinya," kata Pemilik Pabrik Rokok Rajan Nabadi Kudus Sutrisno di Kudus, Minggu.
Ia mengakui selama masa pandemi kapasitas produksinya hanya 42 bal per harinya, sedangkan saat ini meningkat menjadi 60 bal per harinya.
Untuk wilayah pemasarannya, kata dia, mulai dari daerah di Jawa Barat, Sumatera hingga wilayah Jawa Timur.
Akan tetapi, dia mengaku, mengkhawatirkan dengan maraknya peredaran rokok ilegal, karena di beberapa wilayah pemasarannya memang bersaing dengan rokok ilegal yang dijual dengan harga Rp10.000 per bungkus dengan isi 20 batang. Sedangkan rokok miliknya dijual Rp8.000 per bungkus dengan isi 12 batang dan saat ini hampir semua bahan baku naik.
"Karena pangsa pasar kami merupakan konsumen kelas bawah, tentunya mudah terpengaruh dengan rokok dengan banderol harga lebih murah," ujarnya.
Ia berharap operasi di daerah yang ditengarai marak rokok ilegal harus digalakkan, agar pelaku usaha rokok ilegal seperti dirinya masih bisa bertahan.
Abdul Ghofur, pemilik PR Ghofur Jaya Putra mengakui peredaran rokok ilegal memang bisa berdampak terhadap pangsa pasarnya, mengingat dirinya juga menyasar konsumen di daerah pinggiran dengan daya beli yang terbatas.
"Jika ada rokok ilegal masuk dijual dengan harga separuh dari harga jual eceran (HEJ) rokok resmi, tentunya produk kami kalah bersaing sehingga bisa gulung tikar," ujarnya.
Belum lagi, kata dia, harga berbagai bahan baku, mulai dari tembakau, cengkih, hingga kertas mengalami kenaikan secara bervariasi.
Misal, cengkeh awalnya hanya Rp40.000/kilogram, kini melonjak menjadi Rp160.000/kg, kemudian tembakau dari harga semula Rp45.000/kg naik menjadi Rp70.000/kg. Sedangkan kertas untuk pembungkus rokok juga naik hingga 25 persen per rimnya.
"Saat ini, kondisi perekonomian memang sedang bangkit dari sebelumnya terdampak pandemi. Sehingga harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksinya," kata Pemilik Pabrik Rokok Rajan Nabadi Kudus Sutrisno di Kudus, Minggu.
Ia mengakui selama masa pandemi kapasitas produksinya hanya 42 bal per harinya, sedangkan saat ini meningkat menjadi 60 bal per harinya.
Untuk wilayah pemasarannya, kata dia, mulai dari daerah di Jawa Barat, Sumatera hingga wilayah Jawa Timur.
Akan tetapi, dia mengaku, mengkhawatirkan dengan maraknya peredaran rokok ilegal, karena di beberapa wilayah pemasarannya memang bersaing dengan rokok ilegal yang dijual dengan harga Rp10.000 per bungkus dengan isi 20 batang. Sedangkan rokok miliknya dijual Rp8.000 per bungkus dengan isi 12 batang dan saat ini hampir semua bahan baku naik.
"Karena pangsa pasar kami merupakan konsumen kelas bawah, tentunya mudah terpengaruh dengan rokok dengan banderol harga lebih murah," ujarnya.
Ia berharap operasi di daerah yang ditengarai marak rokok ilegal harus digalakkan, agar pelaku usaha rokok ilegal seperti dirinya masih bisa bertahan.
Abdul Ghofur, pemilik PR Ghofur Jaya Putra mengakui peredaran rokok ilegal memang bisa berdampak terhadap pangsa pasarnya, mengingat dirinya juga menyasar konsumen di daerah pinggiran dengan daya beli yang terbatas.
"Jika ada rokok ilegal masuk dijual dengan harga separuh dari harga jual eceran (HEJ) rokok resmi, tentunya produk kami kalah bersaing sehingga bisa gulung tikar," ujarnya.
Belum lagi, kata dia, harga berbagai bahan baku, mulai dari tembakau, cengkih, hingga kertas mengalami kenaikan secara bervariasi.
Misal, cengkeh awalnya hanya Rp40.000/kilogram, kini melonjak menjadi Rp160.000/kg, kemudian tembakau dari harga semula Rp45.000/kg naik menjadi Rp70.000/kg. Sedangkan kertas untuk pembungkus rokok juga naik hingga 25 persen per rimnya.