Semarang (ANTARA) - Rumah sebagai tempat tinggal atau hunian (dwelling) merupakan salah satu kebutuhan fisik dasar manusia. Oleh karena itu, setiap individu apalagi sebuah keluarga harus mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Tempat tinggal atau hunian yang layak (adequate housing) tidak sekadar berfungsi sebagai tempat berlindung, tetapi juga dapat menjadi sarana pembinaan keluarga.
Setidaknya tempat tinggal memenuhi kriteria utama, yaitu keamanan (safety) dari bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor, kemudian kecukupan luas dan kesehatan.
Bagi mereka yang berpenghasilan rendah tidaklah mudah mendapatkan rumah yang layak, sehat, serta lingkungan tertata rapi. Di sinilah perlu kehadiran pemerintah atau negara, mulai pengadaan lahan sampai pembangunannya.
Atas pertimbangan bahwa tanah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, lahirlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Dijelaskan pula dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018 bahwa reforma agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Jika dilihat dari sisi penataan pertanahan, redistribusi tanah yang dikelola melalui mekanisme konsolidasi tanah punya nilai tambah karena pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mendapat subsidi dari Kementerian PUPR. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pemerintah atau negara benar-benar hadir.
Baca juga: Legislator: Reforma agraria tekan konflik pertanahan
Ditambah lagi, regulasi terkait dengan perumahan untuk MBR, termasuk pekerja/buruh, memberi peluang kepada mereka untuk mendapatkan rumah murah, layak huni, serta lingkungan tertata rapi.
Apalagi, terkait dengan penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah serta perumahan untuk MBR dengan status sewa masuk kategori tanah untuk kepentingan umum.
Ketentuan itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Disebutkan dalam UU ini bahwa tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan pertahanan dan keamanan nasional; jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api.
Selain itu, waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandar udara, dan terminal; infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi.
Berikutnya, untuk pembangunan pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah; tempat pembuangan dan pengolahan sampah; rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah; fasilitas keselamatan umum; tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah.
Tanah untuk kepentingan umum lainnya, seperti fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik, kemudian untuk pembangunan cagar alam dan cagar budaya; kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa; prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah; prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah; dan pasar umum dan lapangan parkir umum.
Ketimpangan
Di tengah masyarakat berpenghasilan rendah membutuhkan lahan untuk tempat tinggal atau hunian yang layak, ada segelintir orang menguasai banyak lahan.
Bahkan, menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Semarang Dr. Arya Widya Wasista, S.T., M.Si. dalam channel YouTube IHUDRC, Jumat (11/3), beberapa waktu lalu ada segelintir orang menguasai sebagian besar lahan di Indonesia, sementara banyak orang yang tidak mempunyai lahan.
Hal ini jauh dari tujuan mulia reforma agraria, antara lain untuk mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan. Oleh karena itu, penataan ulang kepemilikan tanah ini perlu segera melaksanakannya agar tercipta suatu keadilan.
Baca juga: Kabupaten/kota didorong bentuk Gugus Tugas Reforma Agraria
Dalam acara bertajuk Reforma Agraria dan Konsolidasi Tanah untuk Perumahan Rakyat, Arya Widya lantas menyebutkan ada dua kegiatan besar dalam penerapan reforma agraria , yakni penataan aset dan penataan akses.
Jika bicara penataan aset, tentu tidak lepas dari aspek legalitas dalam pengelolaan aset tanah. Penataan aset ini merupakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan tanah.
Di samping penataan aset, dalam pengejawantahan reforma agraria perlu pula penataan akses. Penataan akses ini diberikan kepada subjek yang sudah terkena penataan aset atau penerima tanah objek reforma agraria (TORA).
Diterangkan dalam Perpres Reforma Agraria yang dimaksud dengan subjek reforma agraria adalah penerima TORA yang memenuhi persyaratan dan ditetapkan untuk menerima TORA.
Selanjutnya, akses untuk mendapatkan modal usaha atau modal peningkatan kepada subjek reforma agraria. Hal ini tidak lepas dari tujuan reforma agraria, antara lain untuk menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Kemampuan Mencicil
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan MBR, termasuk pekerja/buruh, untuk memenuhi kebutuhan pokok berupa rumah tinggal dengan selalu menaikkan upah minimum mereka setiap tahun.
Keterkaitan UMP/UMK dengan rumah tinggal merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memastikan warga negara Indonesia mendapat rumah layak huni serta lingkungan tertata rapi.
Oleh karena itu, dalam pemberian upah kepada pekerja/buruh janganlah berpatokan pada upah minimum provinsi meski UMP Jawa Tengah 2021, misalnya, mengalami penaikan 3,27 persen dari Rp1.742.015,00 menjadi Rp1.798.979,00.
Walau naik sebesar itu, pekerja/buruh akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan rumah murah karena biasanya pihak bank yang akan memberi pinjaman uang dengan cicilan sebesar 30 persen dari penghasilan pekerja/buruh.
Jika dipatok UMP Jateng sebesar Rp1.798.979,00, angsuran untuk rumah sebesar Rp539.693,70 per bulan. Dengan kemampuan mencicil sebesar itu, tidak memungkinkan pekerja/buruh menjangkau cicilan Rp800 ribu/bulan, sebagaimana program Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC) Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Penghasilan pekerja/buruh berasal dari upah minimum kabupaten/kota. Misalnya, Upah Minimum Kota (UMK) Semarang 2021 sebesar Rp2.810.025,00 per bulan, masih memungkinkan mencicil Rp800 ribu/bulan selama 15 tahun.
Baca juga: Kementerian Agraria: Batang penuhi kriteria kawasan industri
Pertimbangan lembaga keuangan apakah permohonan kredit rumah disetujui atau ditolak masih berpatokan pada Konsep 5C (collateral, character, capacity, capital, and condition).
Setelah collateral terpenuhi karena ada campur tangan kalangan akademikus, kata pakar perumahan dari Undip Dr. -Ing. Asnawi Manaf, S.T., pihak bank akan melihat sejauh mana kemampuan (capacity) calon pemohon dari kalangan pekerja/buruh dalam membayar kreditnya. Hal ini tentunya tidak lepas dari seberapa besar upah yang mereka terima setiap bulannya.
Dalam hal ini, pihak bank juga akan mempertimbangkan kondisi (condition) perusahaan, tempat pekerja/buruh bekerja, apakah ada jaminan dari perusahaan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) selama pekerja/buruh mengangsur kredit rumah dengan tenor 15 tahun.
Penerapan reforma agraria akan sia-sia manakala Pemerintah tidak memperhatikan kemampuan MBR, termasuk pekerja/buruh, untuk memenuhi kebutuhan pokok berupa rumah tinggal dengan selalu menaikkan upah minimum mereka setiap tahun.
Baca juga: Menteri Agraria Mendukung Penyertifikatan Kampung Pelangi Semarang