DPR diminta segera bahas dan sahkan UU Perlindungan PRT
Semarang (ANTARA) - Perlu dibangun kesadaran bersama bahwa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) layak mendapat perhatian setiap elemen bangsa.
"Perlu kejelasan dan pemahaman bersama untuk desak kawan-kawan di Senayan agar segera menindaklanjuti pembahasan RUU PRT ini dan mengesahkannya menjadi undang-undang," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tarik Ulur Nasib RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu.
Hadir dalam diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, S.H., L.LM (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu, Willy Aditya (DPR RI Periode 2019 – 2024, Wakil Ketua Baleg DPR RI), Theresia Iswarini - (Komisioner Komnas Perempuan Periode 2020 – 2024), Lita Anggraini - JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga) sebagai narasumber.
Selain itu Dewi Savitri (jurnalis senior, Standard & Practices CNN Indonesia Group) dan Dr. Atang Irawan, SH., M.Hum (pakar Hukum Tata Negara, dosen Universitas Pasundan) hadir sebagai panelis.
Menurut Lestari, yang juga anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, semakin lama menunda pembahasan RUU PRT sama saja mengabaikan hak asasi manusia yang secara mendasar menjadi tanggung jawab kita bersama.
"Ini sudah menyangkut masalah kemanusiaan," ujar Rerie, sapaan akrab Lestari.
Menurut Rerie, hak warga negara sama di mata hukum sehingga terkait pembahasan aturan bagi pekerja rumah tangga prinsip keadilan wajib dikedepankan.
Pakar hukum tata negara Universitas Pasundan, Bandung Atang Irawan berpendapat perlu kewarasan berpikir dalam melanjutkan pembahasan RUU PRT ini.
Karena, jelas Atang, sejumlah pihak menganggap PRT sudah diatur dalam UU Tenaga Kerja, tetapi kenyataan yang diatur dalam UU Tenaga Kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerjanya, sedangkan pemberi kerja bagi PRT, menurut Atang, tidak bisa disebut sebagai pengusaha.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja no 2 tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, menurut Atang, secara hierarki hukum juga tidak jelas asal usulnya, karena tidak ada undang-undang yang memerintahkan lahirnya peraturan menteri tersebut.
Atang menilai UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga harus segera ditetapkan karena di dalam undang-undang tersebut ada aspek-aspek fundamental yang merupakan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya.
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Willy Aditya mengakui pembahasan RUU PRT di Badan Legislasi DPR sudah selesai, tinggal diajukan ke sidang Paripurna sebagai hak inisiatif DPR.
Pada pekan kedua Maret 2021, jelas Willy, dijadwalkan akan diadakan rapat kerja untuk membahas RUU PRT sebelum diajukan ke Sidang Paripurna DPR. Posisi ini, menurut dia, masih rawan bagi keberlanjutan pembahasan RUU PRT.
Padahal, tegasnya, salah satu tujuan RUU PRT ini adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat para pekerja rumah tangga.
Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini memgungkapkan pekerja rumah tangga adalah pekerjaan tertua yang ada di dunia dan dibutuhkan masyarakat.
Sangat disayangkan, tambah Theresia, pada praktiknya penyikapan kita terhadap para pekerja rumah tangga menghasilkan ketidakadilan gender yang berpotensi pada munculnya kekerasan terhadap perempuan.
Menurut Theresia, Komnas Perempuan sudah mencoba untuk berupaya melobi sejumlah fraksi seperti seperti Gerindra, Golkar dan PKB agar RUU PRT ini tetap bisa diajukan sebagai RUU inisiatif DPR.
Aktivis Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga Lita Anggraini mengungkapkan hingga saat ini banyak kasus-kasus ketidakadilan terhadap PRT yang terkesan dibiarkan terus menerus.
Pekerja rumah tangga, menurut Lita, adalah pekerja yang dekat di mata, namun jauh dari pikir. Terpenting, tegasnya, negara harus hadir untuk melindungi hak-hak lebih dari 5 juta pekerja rumah tangga.
Di akhir diskusi, jurnalis senior Saur Hutabarat menilai berlarut-larutnya pembahasan RUU PRT sejak puluhan tahun lalu memperlihatkan super-kebangetannya kinerja parlemen.
"Tidakkah DPR bosan terhadap dirinya yang hampir 20 tahun membiarkan RUU PRT keluar masuk pembahasan tanpa menghasilkan produk legislasi?" tanya Saur.***
"Perlu kejelasan dan pemahaman bersama untuk desak kawan-kawan di Senayan agar segera menindaklanjuti pembahasan RUU PRT ini dan mengesahkannya menjadi undang-undang," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tarik Ulur Nasib RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu.
Hadir dalam diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, S.H., L.LM (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu, Willy Aditya (DPR RI Periode 2019 – 2024, Wakil Ketua Baleg DPR RI), Theresia Iswarini - (Komisioner Komnas Perempuan Periode 2020 – 2024), Lita Anggraini - JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga) sebagai narasumber.
Selain itu Dewi Savitri (jurnalis senior, Standard & Practices CNN Indonesia Group) dan Dr. Atang Irawan, SH., M.Hum (pakar Hukum Tata Negara, dosen Universitas Pasundan) hadir sebagai panelis.
Menurut Lestari, yang juga anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, semakin lama menunda pembahasan RUU PRT sama saja mengabaikan hak asasi manusia yang secara mendasar menjadi tanggung jawab kita bersama.
"Ini sudah menyangkut masalah kemanusiaan," ujar Rerie, sapaan akrab Lestari.
Menurut Rerie, hak warga negara sama di mata hukum sehingga terkait pembahasan aturan bagi pekerja rumah tangga prinsip keadilan wajib dikedepankan.
Pakar hukum tata negara Universitas Pasundan, Bandung Atang Irawan berpendapat perlu kewarasan berpikir dalam melanjutkan pembahasan RUU PRT ini.
Karena, jelas Atang, sejumlah pihak menganggap PRT sudah diatur dalam UU Tenaga Kerja, tetapi kenyataan yang diatur dalam UU Tenaga Kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerjanya, sedangkan pemberi kerja bagi PRT, menurut Atang, tidak bisa disebut sebagai pengusaha.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja no 2 tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, menurut Atang, secara hierarki hukum juga tidak jelas asal usulnya, karena tidak ada undang-undang yang memerintahkan lahirnya peraturan menteri tersebut.
Atang menilai UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga harus segera ditetapkan karena di dalam undang-undang tersebut ada aspek-aspek fundamental yang merupakan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya.
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Willy Aditya mengakui pembahasan RUU PRT di Badan Legislasi DPR sudah selesai, tinggal diajukan ke sidang Paripurna sebagai hak inisiatif DPR.
Pada pekan kedua Maret 2021, jelas Willy, dijadwalkan akan diadakan rapat kerja untuk membahas RUU PRT sebelum diajukan ke Sidang Paripurna DPR. Posisi ini, menurut dia, masih rawan bagi keberlanjutan pembahasan RUU PRT.
Padahal, tegasnya, salah satu tujuan RUU PRT ini adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat para pekerja rumah tangga.
Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini memgungkapkan pekerja rumah tangga adalah pekerjaan tertua yang ada di dunia dan dibutuhkan masyarakat.
Sangat disayangkan, tambah Theresia, pada praktiknya penyikapan kita terhadap para pekerja rumah tangga menghasilkan ketidakadilan gender yang berpotensi pada munculnya kekerasan terhadap perempuan.
Menurut Theresia, Komnas Perempuan sudah mencoba untuk berupaya melobi sejumlah fraksi seperti seperti Gerindra, Golkar dan PKB agar RUU PRT ini tetap bisa diajukan sebagai RUU inisiatif DPR.
Aktivis Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga Lita Anggraini mengungkapkan hingga saat ini banyak kasus-kasus ketidakadilan terhadap PRT yang terkesan dibiarkan terus menerus.
Pekerja rumah tangga, menurut Lita, adalah pekerja yang dekat di mata, namun jauh dari pikir. Terpenting, tegasnya, negara harus hadir untuk melindungi hak-hak lebih dari 5 juta pekerja rumah tangga.
Di akhir diskusi, jurnalis senior Saur Hutabarat menilai berlarut-larutnya pembahasan RUU PRT sejak puluhan tahun lalu memperlihatkan super-kebangetannya kinerja parlemen.
"Tidakkah DPR bosan terhadap dirinya yang hampir 20 tahun membiarkan RUU PRT keluar masuk pembahasan tanpa menghasilkan produk legislasi?" tanya Saur.***