Purwokerto (ANTARA) - Sejak terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 03 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perijinan Rumah Sakit, jagat dunia kefarmasian menjadi heboh.
Mulai dari guru besar, praktisi farmasi, dan pengurus Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) geram dengan terbitnya PMK tersebut.
Ada beragam ekspresi dalam menyikapi penolakan PMK tersebut. Sebut saja IAI Purbalingga, mereka menggelar aksi dengan mengenakan pita hitam saat mereka melakukan pelayan kefarmasian di tempat praktik masing-masing.
Di Banyumas dan di Jawa Timur dilakukan aksi damai turun ke jalan dengan alat peraga spanduk dan poster #save apoteker, sedangkan Rakerda PD IAI Jawa Tengah 8-9 Februari 2020 yang digelar di Solo juga ramai dengan poster penolakan PMK Nomor 3 Tahun 2020.
Masalahnya adalah PMK Nomor 3 Tahun 2020 memosisikan farmasi dalam kategori pelayanan nonmedis. Konsekuensinya, terjadilah penyempitan makna pelayanan kefarmasian di rumah sakit, yaitu pelayanan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai saja.
Makna ini dipertegas dalam pasal 25 ayat 1 dan 2 yang hanya menjelaskan aspek perbekalan farmasi dan pelayanan di instalasi farmasi saja.
Baca juga: Apoteker Banyumas tolak Permenkes Perizinan Rumah Sakit
Sementara pelayanan farmasi klinik sebagai salah satu kompetensi apoteker tidak terakomodir dalam PMK tersebut.
Aturan tersebut tidak bersesuaian dengan PMK Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Pada Pasal 3 Ayat 1 PMK Nomor 72 Tahun 2016, diatur bahwa standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi: pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; dan pelayanan farmasi klinik yang meliputi pengkajian dan pelayanan resep.
Selain itu, penelusuran riwayat penggunaan obat; rekonsiliasi obat; pelayanan informasi obat (PIO); konseling; visite; pemantauan terapi obat (PTO); monitoring efek samping obat (MESO); evaluasi penggunaan obat (EPO); dispensing sediaan steril; dan pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD).
Jadi, semangat PMK Nomor 72 Tahun 2016 sebenarnya sudah tepat, yakni bertujuan memberikan keamanan dan keselamatan kepada pasien.
Walhasil, yang dirugikan dari terbitnya PMK Nomor 3 Tahun 2020 ini tidak hanya apoteker yang dikebiri kompetensi profesinya, tetapi juga masyarakat karena akan kehilangan haknya untuk mendapatkan pelayanan farmasi klinik sebagai bagian dari "pasien safety".
Siapa yang peduli dengan ketersediaan obat? Siapa yang kompeten menjelaskan tentang pentingnya minum obat tepat waktu? Bagaimana cara penggunaan obat? Siapa yang memiliki kompetensi untuk memahami potensial efek samping obat? Secara akademis kompetensi itu ada pada apoteker.
Baca juga: UMP ciptakan apoteker yang siap bersaing di kancah nasional-internasional
Boleh jadi tenaga kesehatan lain tidak memperhatikan detail dengan keamanan penyimpanan obat di bangsal-bangsal. Karena itu memang tugasnya farmasis. Sementara, salah suhu saja obat berisiko rusak.
Dalam asuhan kefarmasian, ada pemantauan terapi obat. Sederhana saja, apoteker rumah sakit harus memeriksa pasien untuk dipantau reaksi obat yang tidak diharapkan selama pasien mengonsumsi obat.
Lebih lanjut dilakukan cek apakah ada alergi obat tertentu?
Apakah ada potensial interaksi obat? Kompetensi itu semua ada di tangan profesi apoteker.
Dalam pembiayaan kesehatan biaya obat merupakan komponen terbesar. Hampir mencapai 70 persen dari total biaya. Untuk menekan biaya tersebut maka perlu kajian farmakoekonomi. Dan, hampir tidak mungkin kajian farmakoekonomi mengabaikan apoteker.
Tulisan ini tentu tidak cukup untuk menjelaskan tentang pentingnya farmasi klinik di rumah sakit. Penulis hanya ingin memberikan gambaran sederhana bahwa posisi apoteker adalah sama pentingnya dalam upaya terapi penyembuhan pasien.
Pasien adalah pusatnya. Apoteker, dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga kesehatan lain berkolaborasi membantu pasien untuk sembuh dari sakitnya.
Yang membuat miris adalah seolah-olah yang menyusun PMK Nomor 3 Tahun 2020 ini tidak paham tentang pelayanan kefarmasian di rumah sakit.
Untuk menjamin kepastian hukum pimpinan rumah sakit mendukung profesi apoteker dalam menjalankan praktik kefarmasian.
Hemat penulis, dalam Pasal 7 PMK Nomor 3 Tahun 2020 selain mencantumkan pelayanan medis dan penunjang medis, pelayanan keperawatan dan pelayanan nonmedis, juga dimuat pelayanan kefarmasian.
Sehingga semua tenaga kesehatan terakomodir sesuai dengan kompetensinya.
*) Heri Susanto, S.Farm., Apt. alumnus Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Kabupaten Banyumas, dan pengurus IAI Kabupaten Purbalingga.
Baca juga: Rektor: apoteker lulusan UMP harus mampu tanggulangi peredaran obat ilegal