Investigasi perundungan mahasiswi PPDS Undip, Kemenkes-RSUP dr Kariadi ikut bertanggung jawab
Semarang (ANTARA) - Kementerian Kesehatan dan RSUP dr Kariadi Semarang dinilai ikut tanggung jawab terjadinya dugaan perundungan dalam peristiwa kematian mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Aulia Risma Lestari (ARL).
"Hukum menjadi rujukan, bukan spekulasi, 'prejudice', apalagi sakwangka subyektif," kata Ketua Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia Muhammad Joni, dalam pernyataan yang diterima di Semarang, Minggu.
Menurut dia, secara de facto dan de jure, mahasiswa peserta PPDS FK Undip itu dalam relasi pendidikan dan pelayanan di RSUP dr Kariadi.
Lalu, kata dia, untuk dugaan tempat (locus) perbuatan itu berada di lingkungan RS Pendidikan (RSP).
"Maka tidak lepas tanggungjawab hukum RS, Kemenkes, bahkan Menkes," katanya.
Andai benar dugaan perundungan terjadi, Joni mengatakan bahwa perbuatan dan atau dugaan "delictum"-nya harus diuji menurut hukum acara.
Meski demikian publik tetap diminta bersabar untuk mendapatkan kepastian apakah benar terjadi perundungan yang menjadi penyebab kematian Dokter Aulia.
Pada faktanya maupun tanggung jawab medisnya, kata dia, peserta PPDS melakukan layanan dan tindakan medis terhadap pasien pada fasilitas kesehatan (faskes) dengan status RSP yang secara hukum berada dalam pembinaan teknis dan administratif Kemenkes.
"Jadi, tipikal perbuatan dan peristiwanya bukan hanya kualifikasi perbuatan pendidikan dokter spesialis 'an sich' saja, namun dominan dalam kualifikasi pelayanan medis RS. Itu artinya berarsiran tebal dan turut serta bertanggung jawab secara hukum pihak Menkes, Kemenkes dan pimpinan RS," katanya.
Terkait persoalan hukum yang terjadi dalam masalah ini, Joni mengatakan obyektifitas investigasi dan penyelidikan harus merdeka dari opini dan "prejudice".
Termasuk juga, kata dia, tidak mengumbar fakta atau seakan fakta yang belum teruji secara saintifik, "evidance based", dan mematuhi hukum acara dengan prinsip presisi yang dapat membentuk opini publik.
Masih terkait dugaan perundungan, Joni menilai perlu diperiksa dan diuji apakah fakta, perbuatan, ataupun serangkaian perbuatan itu dalam konteks penyelenggaraan PPDS, relasi dan interrelasi personal-sosial di luar aras PPDS, atau perbuatan norma etika kedokteran sesama sejawat dokter, atau perbuatan pidana.
Dia menegaskan penyidik Polri jangan sampai keliru dan gagal mengidentifikasi norma etika dokter ataukah perbuatan hukum.
"Apapun metode dan hasil laporan investigasi, ataupun berkas penyelidikan dan penyidikan 'Pro Justisia', maka secara hukum tidak lepas dari wewenang dan tanggung jawab hukum Menkes dan Kemenkes, serta otoritas RS," katanya.
Selanjutnya, Joni mengatakan bahwa apapun hasil investigasi maupun penyelidikan maka penting dikawal agar tidak lepas dari tanggung jawab hukum pihak terkait.
"Hukum menjadi rujukan, bukan spekulasi, 'prejudice', apalagi sakwangka subyektif," kata Ketua Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia Muhammad Joni, dalam pernyataan yang diterima di Semarang, Minggu.
Menurut dia, secara de facto dan de jure, mahasiswa peserta PPDS FK Undip itu dalam relasi pendidikan dan pelayanan di RSUP dr Kariadi.
Lalu, kata dia, untuk dugaan tempat (locus) perbuatan itu berada di lingkungan RS Pendidikan (RSP).
"Maka tidak lepas tanggungjawab hukum RS, Kemenkes, bahkan Menkes," katanya.
Andai benar dugaan perundungan terjadi, Joni mengatakan bahwa perbuatan dan atau dugaan "delictum"-nya harus diuji menurut hukum acara.
Meski demikian publik tetap diminta bersabar untuk mendapatkan kepastian apakah benar terjadi perundungan yang menjadi penyebab kematian Dokter Aulia.
Pada faktanya maupun tanggung jawab medisnya, kata dia, peserta PPDS melakukan layanan dan tindakan medis terhadap pasien pada fasilitas kesehatan (faskes) dengan status RSP yang secara hukum berada dalam pembinaan teknis dan administratif Kemenkes.
"Jadi, tipikal perbuatan dan peristiwanya bukan hanya kualifikasi perbuatan pendidikan dokter spesialis 'an sich' saja, namun dominan dalam kualifikasi pelayanan medis RS. Itu artinya berarsiran tebal dan turut serta bertanggung jawab secara hukum pihak Menkes, Kemenkes dan pimpinan RS," katanya.
Terkait persoalan hukum yang terjadi dalam masalah ini, Joni mengatakan obyektifitas investigasi dan penyelidikan harus merdeka dari opini dan "prejudice".
Termasuk juga, kata dia, tidak mengumbar fakta atau seakan fakta yang belum teruji secara saintifik, "evidance based", dan mematuhi hukum acara dengan prinsip presisi yang dapat membentuk opini publik.
Masih terkait dugaan perundungan, Joni menilai perlu diperiksa dan diuji apakah fakta, perbuatan, ataupun serangkaian perbuatan itu dalam konteks penyelenggaraan PPDS, relasi dan interrelasi personal-sosial di luar aras PPDS, atau perbuatan norma etika kedokteran sesama sejawat dokter, atau perbuatan pidana.
Dia menegaskan penyidik Polri jangan sampai keliru dan gagal mengidentifikasi norma etika dokter ataukah perbuatan hukum.
"Apapun metode dan hasil laporan investigasi, ataupun berkas penyelidikan dan penyidikan 'Pro Justisia', maka secara hukum tidak lepas dari wewenang dan tanggung jawab hukum Menkes dan Kemenkes, serta otoritas RS," katanya.
Selanjutnya, Joni mengatakan bahwa apapun hasil investigasi maupun penyelidikan maka penting dikawal agar tidak lepas dari tanggung jawab hukum pihak terkait.