Magelang (ANTARA) - Street Level Bureaucracy (SLB) merupakan birokrasi tingkat bawah yang berhubungan langsung dengan masyarakat, khususnya dalam hal pelayanan kepada masyarakat.
Reformasi birokrasi yang digaungkan di Indonesia melalui Perpres Nomor 81 Tahun 2010 membutuhkan konsekuensi logis, yaitu mendudukkan kembali birokrat sebagai pelayan masyarakat, bukan seorang tuan.
Menilik kembali yang disampaikan ahli administrasi publik D. Osborne dan T. Gaebler dalam topik Reinventing Government pada 1990 bahwa birokrasi harus memiliki sifat "community owned", yaitu milik masyarakat.
Dengan hak tersebut SLB seyogyanya mampu melakukan diskresi. Diskresi yang dimaksud adalah suatu terobosan inovasi untuk mewujudkan "good governance" (tata pemerintahan yang baik), demi tercapainya akuntabilitas, efektivitas, serta efisiensi.
Sebagai contoh diskresi level SLB adalah inovasi mempercepat antrean dalam suatu pelayanan publik. Pembuatan loket baru atau penggunaan mesin antrean serta inovasi sistem dalam jaringan dalam suatu pendaftaran layanan publik, seperti pendaftaran pasien rawat jalan.
Diskresi berupa terobosan baru bersifat inovatif sangat diperlukan bagi SLB guna mendukung reformasi birokrasi. Reformasi yang digaungkan tidak sekadar wacana, namun tindakan nyata melalui tindakan tersebut.
Menilik perkembangan kinerja birokrasi menuju era industri 4.0, maka berbagai lini dalam birokrasi mestinya mampu menumbuhkan budaya inovasi sebagai terobosan dalam mewujudkan rangkaian dalam suatu sistem "good governance".
Terlebih bagi SLB sebagai birokrasi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, diskresi sebagai terobosan inovasi mutlak dilakukan guna mewujudkan birokrat sebagai pelayan masyarakat, bukan sebagai tuan.
Kesadaran sebagai pelayan masyarakat perlu ditekankan dan digaungkan sebagai suatu sikap bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), sebagai birokrat.
Sikap yang positif ini diharapkan menjadi pembuka bagi iklim dan budaya kerja produktif dan mampu mendorong suatu diskresi di berbagai lini birokrasi, terlebih bagi SLB.
Sumber daya manusia yang produktif dan berkualitas serta terpilih merupakan kriteria mutlak bagi ASN sehingga mampu menciptakan inovasi, sebagai terobosan baru dalam pelayanan masyarakat.
Publik merupakan arena untuk mengeksekusi suatu kebijakan yang diambil oleh elite politik dan dilaksanakan oleh para birokrat di level paling bawah (SLB).
Pelayanan publik menjadi hal penting mengingat melalui pelayananlah masyarakat akan merasakan langsung dampak dari suatu kebijakan yang dibuat oleh pejabat. Pelayanan publik memang tidak bisa terlepas dari dari konsep birokrasi dan istilah "good governance".
Selanjutnya, ada beberapa alasan mendasar yang membuat pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan "good governance" di Indonesia seperti yang disampaikan Agus Dwiyanto, pakar kebijakan publik UGM, bahwa pertama, pelayanan publik bisa dijadikan arena di mana negara berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah.
Kedua, pelayanan publik menjadi arena mengimplementasikan nilai-nilai "good governance" secara nyata (efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan transparansi). Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur "governance" (negara, pasar, dan masyarakat).
Pelayanan publik juga tidak bisa terlepas dari orientasi otonomi daerah yang secara ideal daerah melaksanakan fungsi pemerintahan (pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan) secara tepat dan sedekat mungkin dengan masyarakat.
Pelayanan publik merupakan arena yang biasanya digunakan masyarakat untuk menilai sudah sebaik apakah kebijakan yang dibuat oleh elite politik.
Hal yang menjadi permasalahan ketika para birokrat yang berada di level bawah tidak bisa menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.
Ketika elite politik mengatakan suatu perintah, namun para birokrat tingkat bawah tidak melaksanakan perkataan elite politik, dari hal itulah kemudian masyarakat menilai kualitas dari suatu pelayanan publik.
Erat Kaitan
Seperti dijelaskan di atas bahwa birokrasi sangat erat kaitannya dengan pelayanan publik. Street Level Bureaucracy merupakan birokrasi pada tingkat bawah yang berhubungan langsung dengan masyarakat, khususnya dalam hal pelayanan kepada masyarakat.
Di area ini, tentu para birokrat harus bisa menjaga profesionalisme untuk melayani masyarakat. Di dalam konsep SLB tentu dikenal istilah diskresi.
Diskresi bisa didefinisikan sebagai suatu inovasi baru yang dibuat birokrat kalangan bawah untuk mereformulasikan kebijakan yang ditetapkan pejabat atau elite politik dengan tujuan yang baik. Hal ini pada dasarnya sama seperti pembuatan peraturan perundang-undangan.
Misalnya di dalam UU dikatakan bahwa setiap daerah wajib melaksanakan pelayanan kesehatan secara tepat dan murah. Selanjutnya, birokrat yang berada di daerah bisa melakukan diskresi yang sebelumnya tidak diatur secara detail dalam UU.
Diskresi ini biasanya dilakukan oleh para birokrat yang berada di level paling bawah, yaitu SLB.
Salah satu contoh diskresi yang bisa dilakukan SLB, yaitu membuka loket baru untuk membuat KTP misalnya. Elite politik hanya membuat kebijakan bahwa pelayanan KTP harus dilakukan secara cepat, murah, dan praktis.
Dengan demikian, SLB dapat mereformulasikan kebijakan tersebut dengan cara membuka loket baru supaya masyarakat yang ingin membuat KTP tidak terlalu lama mengantre dan tentunya membuat masyarakat menjadi nyaman.
"Good governance" dan reformasi birokrasi tanggung jawab bersama dalam suatu sistem yang harus didukung oleh berbagai unsur yang akan membawa negara kita semakin maju dan siap menghadapi tantangan global.
Semangat dan sikap sebagai pelayan masyarakat wajib digaungkan sebagai budaya dan mental positif birokrat.
Tak lepas dari itu semua, perlunya penguatan mental dan moral untuk mewujudkan ASN yang tangguh dan andal sebagai pilar birokrasi.
Bersentuhan Langsung
Pelayanan masyarakat di bidang pendidikan, seperti sekolah, di bidang kesehatan, seperti layanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit umum, kecamatan dan kelurahan merupakan SLB yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Salah satu contoh SLB di bidang pendidikan, adalah sekolah. Pentingnya diskresi dalam hal ini sebagai contoh adalah adanya aturan baru terkait dengan pemberlakuan zonasi untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jenjang SD dan SMP.
Dengan adanya aturan baru, tak pelak lagi euforia dan animo masyarakat dalam melakukan pendaftaran menyebabkan membeludak pendaftar di sekolah-sekolah favorit.
Diskresi dapat dilakukan dengan pemberlakuan nomer antrean bagi pembagian formulir atau bahkan sudah saatnya "paperless", menggunakan "google form" dan terhubung langsung dengan peladen untuk PPDB.
Diskresi berupa inovasi sangat dibutuhkan dalam hal ini. Pada PPDB 2019 ini, salah satu SLB yang telah melaksanakan diskresi adalah SMP Negeri 1 Kota Magelang.
Sekolah itu berinovasi dengan membuat nomor antrean untuk pengambilan formulir, dan membuat alur pendaftaran serta pengelompokan sesuai dengan kriteria.
Langkah-langkah diskresi positif seyogyanya bisa diterapkan di berbagai lini di SLB di Kota Magelang sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat langsung serta mendapatkan kemudahan dalam pelayanan.
*) Yetty Setiyaningsih, Kandidat Doktor Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, 2018, ASN Pemerintah Kota Magelang