KSBN: Festival Lima Gunung tumbuh dari masyarakat
Kalau ingin maju, manusia harus berkesenian
Magelang (Antaranews Jateng) - Ketua Umum Komite Seni Budaya Nusantara Hendardji Soepandji mengatakan Festival Lima Gunung di Kabupaten Magelang, Jateng yang pada 2018 sebagai penyelenggaraan tahun ke-17 tumbuh dan berkembang dari masyarakat desa sehingga memberikan inspirasi kepada masyarakat luas.
"Tumbuh dari masyarakat, dilakukan masyarakat, dan dihadiri masyarakat. Kegiatan ini atas inisiatif masyarakat yang dimotori Pak Tanto (Budayawan Sutanto Mendut, red.)," katanya dalam pidato di "Panggung Kampung" Festival Lima Gunung XVII/2018 di Dusun Wonolelo, Desa Bandongan, Kabupaten Magelang, Sabtu (11/8) malam.
Festival Lima Gunung XVII berlangsung selama 10-12 Agustus 2018 dengan sekitar 80 agenda pementasan, performa seni, pameran seni rupa, kirab budaya. pidato kebudayaan, dan peluncuran buku. Festival itu diselenggarakan secara swadaya atau tanpa sponsor oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).
Selain membangun tempat pertunjukan di tengah permukiman warga dusun setempat yang diberi nama "Panggung Kampung", masyarakat juga membuat tempat lainnya untuk pementasan di tengah areal persawahan yang kemudian diberi nama "Panggung Sawah" Panggung dibuat dengan instalasi seni menggunakan bahan-bahan alam, seperti jerami, bambu, dan kelaras.
Ia memberikan apresiasi atas penyelenggaraan festival yang selain menghadirkan para seniman Komunitas Lima Gunung, juga beberapa kelompok kesenian dari sekitar Magelang, sejumlah lainnya dari beberapa kota di Indonesia, dan tamu dari luar negeri. Sutanto Mendut berkedudukan sebagai pemimpin tertinggi komunitas tersebut dengan sebutan "Presiden Lima Gunung".
Hendardji mengatakan seni dibutuhkan untuk berbagai lapangan kehidupan apa pun.
"Semua ilmu pengetahuan membutuhkan seni. Kalau ingin maju, manusia harus berkesenian. (Festival, red.) ini tentang bagaimana cara mengekspresikan seni. Artinya anda semua ingin maju menatap masa depan. Festival ini dimaknai secara positif," katanya. Festival Lima Gunung XVII/2018 bertema "Masih Goblok Bareng".
Ia mengaku baru kali ini melihat acara seni yang mendorong spontanitas banyak orang untuk hadir, tanpa diundang.
Lokasi festival tersebut setiap tahun di dusun-dusun di Kabupaten Magelang yang kelompok kesenian rakyatnya tergabung dalam Komunitas Lima Gunung.
"Yang tampil dari masyarakat berbagai daerah. Saya dengar ini dilakukan pindah-pindah tempat di Kabupaten Magelang," kata dia.
Ia mengemukakan bahwa festival tersebut sebagai sarana untuk membangun kemajuan kehidupan masyarakat.
"Kami mengharapkan terus tumbuh dan berkembang, menjadi salah satu jalan untuk maju ke depan. Ekonomi bergerak, kreativitas bergerak," kata dia.
Budayawan Sutanto Mendut menyatakan para pemimpin atau tokoh-tokoh Komunitas Lima Gunung pernah bersumpah untuk menyelenggarakan festival secara swadaya dan mandiri, atau tanpa bantuan penguasa maupun pengusaha.
Namun, ia juga selalu mengingatkan kepada pegiat komunitas untuk mengedepankan sikap rendah hati sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.
"Kita bangga dengan yang rendah hati," kata dia.
"Tumbuh dari masyarakat, dilakukan masyarakat, dan dihadiri masyarakat. Kegiatan ini atas inisiatif masyarakat yang dimotori Pak Tanto (Budayawan Sutanto Mendut, red.)," katanya dalam pidato di "Panggung Kampung" Festival Lima Gunung XVII/2018 di Dusun Wonolelo, Desa Bandongan, Kabupaten Magelang, Sabtu (11/8) malam.
Festival Lima Gunung XVII berlangsung selama 10-12 Agustus 2018 dengan sekitar 80 agenda pementasan, performa seni, pameran seni rupa, kirab budaya. pidato kebudayaan, dan peluncuran buku. Festival itu diselenggarakan secara swadaya atau tanpa sponsor oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).
Selain membangun tempat pertunjukan di tengah permukiman warga dusun setempat yang diberi nama "Panggung Kampung", masyarakat juga membuat tempat lainnya untuk pementasan di tengah areal persawahan yang kemudian diberi nama "Panggung Sawah" Panggung dibuat dengan instalasi seni menggunakan bahan-bahan alam, seperti jerami, bambu, dan kelaras.
Ia memberikan apresiasi atas penyelenggaraan festival yang selain menghadirkan para seniman Komunitas Lima Gunung, juga beberapa kelompok kesenian dari sekitar Magelang, sejumlah lainnya dari beberapa kota di Indonesia, dan tamu dari luar negeri. Sutanto Mendut berkedudukan sebagai pemimpin tertinggi komunitas tersebut dengan sebutan "Presiden Lima Gunung".
Hendardji mengatakan seni dibutuhkan untuk berbagai lapangan kehidupan apa pun.
"Semua ilmu pengetahuan membutuhkan seni. Kalau ingin maju, manusia harus berkesenian. (Festival, red.) ini tentang bagaimana cara mengekspresikan seni. Artinya anda semua ingin maju menatap masa depan. Festival ini dimaknai secara positif," katanya. Festival Lima Gunung XVII/2018 bertema "Masih Goblok Bareng".
Ia mengaku baru kali ini melihat acara seni yang mendorong spontanitas banyak orang untuk hadir, tanpa diundang.
Lokasi festival tersebut setiap tahun di dusun-dusun di Kabupaten Magelang yang kelompok kesenian rakyatnya tergabung dalam Komunitas Lima Gunung.
"Yang tampil dari masyarakat berbagai daerah. Saya dengar ini dilakukan pindah-pindah tempat di Kabupaten Magelang," kata dia.
Ia mengemukakan bahwa festival tersebut sebagai sarana untuk membangun kemajuan kehidupan masyarakat.
"Kami mengharapkan terus tumbuh dan berkembang, menjadi salah satu jalan untuk maju ke depan. Ekonomi bergerak, kreativitas bergerak," kata dia.
Budayawan Sutanto Mendut menyatakan para pemimpin atau tokoh-tokoh Komunitas Lima Gunung pernah bersumpah untuk menyelenggarakan festival secara swadaya dan mandiri, atau tanpa bantuan penguasa maupun pengusaha.
Namun, ia juga selalu mengingatkan kepada pegiat komunitas untuk mengedepankan sikap rendah hati sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.
"Kita bangga dengan yang rendah hati," kata dia.