Di pengungsian, warga Tlogolele tetap tunaikan puasa
Boyolali (Antaranews Jateng) - Warga Desa Tlogolele, Kabupaten Boyolali, tetap menjalankan ibadah puasa di tempat penampungan pengungsian sementara (TPPS) akibat meletusnya Gunung Merapi yang terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Jumlah pengungsi kebanyakan dari Dukuh Stabelan dan Takeran Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, yang masih bertahan di TPPS dan mereka menjalankan ibadah puasa seperti biasa," kata Kepada Desa Tlogolele Widodo di Boyolali, Jawa Tengah, Minggu.
Ia menjelaskan jumlah pengungsi yang ditampung di TPPS di Desa Tlogolele setelah kejadian meletusnya Merapi, pada Jumat (1/6), mencapai 1.700 jiwa dan kemudian beransur-ansur turun menjadi 544 jiwa dan hingga Minggu siang tinggal 100 jiwa yang terdiri anak-anak dan lansia.
Menurut Widodo warga di pengungsian yang menjalankan puasa di tempat pengungsian tidak ada masalah, mereka dilayani kebutuhan untuk sahur dan buka puasanya setiap hari.
"Tim sukarelawan telah memasak berbagai kebutuhan makan untuk sahur dan buka puasa, sedangkan warga yang tidak puasa juga sudah terlayani jatah makannya dengan baik," kata Widodo.
Menurut Widodo jumlah pengungsi yang menjalankan ibadah puasa mencapai sekitar 50 persen, dan mereka sudah terlayani kebutuahn makan sahur dan buka puasanya.?
Menurut dia, dapur umum telah dibuka sejak Merapi meletus, beberawa waktu lalu, sedangkan logistik atau bahan makanan juga sudah mencukupi kebutuhan warga setiap hari yang bertahan di tempat pengungsian.
Bahkan, tim medis dari pemerintah daerah dan PMI juga siap memantau kondisi kesehatan masyarakat, terutama anak-anak dan lansia yang tidur di TPPS.?
Warga lansia dan anak-anak tidak kembali ke rumahnya atau kampungnya karena kondisi permukiman mereka letaknya sekitar 3 Km dari puncak Merapi atau kawasan rawan bencana (KRB), sehingga jika terjadi apa-apa tidak terlalu merepotkan bagi Tim Siaga Desa (TSD) yang memberikan pertolongan.
"Kami melihat kondisi pengungsi yang bertahan di TPPS kini 100 jiwa sehat-sehat. Suami mereka setelah aktivitas di rumahnya masing-masing sebagian berjaga-jaga di kampungnya, dan lainnya kembali ke?pengungsian," kata Widodo.
Mariyam (35), salah satu pengungsi asal Dukuh Stabelan, Desa Tlogolele, mengatakan dirinya meski di tempat pengungsian tetap menjalankan puasa, dan ada dapur umum yang telah menyiapakan kebutuhan makan sahur dan buka puasa.
"Kami bersama dua anak selama tiga hari mengungsi di TPPS karena trauma dengan kejadian-kejadian sebelumnya," kata Mariyam.
Menurut Mariyam di tempat pengungsian terasa aman dan tidak khawatir jika saat tidur malam karena jaraknya cukup jauh dari puncak Merapi. Sementara suaminya kalau pagi kembali ke rumah memberikan makan ternak dan berladang, tetapi sore hari kembali ke tempat pengungsian.
"Jumlah pengungsi kebanyakan dari Dukuh Stabelan dan Takeran Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, yang masih bertahan di TPPS dan mereka menjalankan ibadah puasa seperti biasa," kata Kepada Desa Tlogolele Widodo di Boyolali, Jawa Tengah, Minggu.
Ia menjelaskan jumlah pengungsi yang ditampung di TPPS di Desa Tlogolele setelah kejadian meletusnya Merapi, pada Jumat (1/6), mencapai 1.700 jiwa dan kemudian beransur-ansur turun menjadi 544 jiwa dan hingga Minggu siang tinggal 100 jiwa yang terdiri anak-anak dan lansia.
Menurut Widodo warga di pengungsian yang menjalankan puasa di tempat pengungsian tidak ada masalah, mereka dilayani kebutuhan untuk sahur dan buka puasanya setiap hari.
"Tim sukarelawan telah memasak berbagai kebutuhan makan untuk sahur dan buka puasa, sedangkan warga yang tidak puasa juga sudah terlayani jatah makannya dengan baik," kata Widodo.
Menurut Widodo jumlah pengungsi yang menjalankan ibadah puasa mencapai sekitar 50 persen, dan mereka sudah terlayani kebutuahn makan sahur dan buka puasanya.?
Menurut dia, dapur umum telah dibuka sejak Merapi meletus, beberawa waktu lalu, sedangkan logistik atau bahan makanan juga sudah mencukupi kebutuhan warga setiap hari yang bertahan di tempat pengungsian.
Bahkan, tim medis dari pemerintah daerah dan PMI juga siap memantau kondisi kesehatan masyarakat, terutama anak-anak dan lansia yang tidur di TPPS.?
Warga lansia dan anak-anak tidak kembali ke rumahnya atau kampungnya karena kondisi permukiman mereka letaknya sekitar 3 Km dari puncak Merapi atau kawasan rawan bencana (KRB), sehingga jika terjadi apa-apa tidak terlalu merepotkan bagi Tim Siaga Desa (TSD) yang memberikan pertolongan.
"Kami melihat kondisi pengungsi yang bertahan di TPPS kini 100 jiwa sehat-sehat. Suami mereka setelah aktivitas di rumahnya masing-masing sebagian berjaga-jaga di kampungnya, dan lainnya kembali ke?pengungsian," kata Widodo.
Mariyam (35), salah satu pengungsi asal Dukuh Stabelan, Desa Tlogolele, mengatakan dirinya meski di tempat pengungsian tetap menjalankan puasa, dan ada dapur umum yang telah menyiapakan kebutuhan makan sahur dan buka puasa.
"Kami bersama dua anak selama tiga hari mengungsi di TPPS karena trauma dengan kejadian-kejadian sebelumnya," kata Mariyam.
Menurut Mariyam di tempat pengungsian terasa aman dan tidak khawatir jika saat tidur malam karena jaraknya cukup jauh dari puncak Merapi. Sementara suaminya kalau pagi kembali ke rumah memberikan makan ternak dan berladang, tetapi sore hari kembali ke tempat pengungsian.