Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-72 Republik Indonesia ada nuansa lain jika dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bila kita cermati selain kemeriahan secara fisik, nuansa kebangsaan tampak menguat kembali, setidaknya dilihat dari pengorbanan mereka, baik secara finansial maupun moral. Nuansa yang ada di kalangan akar rumput ini kadang tampak bertentangan dengan yang kita saksikan di kalangan elite melalui media mainstream (pengarusutamaan), terutama via media sosial, yang seolah-olah memperlihatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu dalam kondisi yang menkhawatirkan.
Beberapa contoh yang bisa kita saksikan melalui media mulai dari benturan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga kritik elite politik dan elite lainnya yang menganggap pemerintahan Jokowi-JK otoriter hanya dengan melihat penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pandangan para elite dengan menggunakan pendekatan constructivist ala Berger dan Luckman ini, ternyata tidak berkorelasi dengan yang terjadi pada masyarakat akar rumput.
Mereka seolah abai dengan apa yang diributkan para elite di media, dan momentum peringatan hari kemerdekaan RI tahun ini lebih menjadi perhatian mereka. Namun, hal ini bukan berarti para elite sadar dan tetap terus saja asyik dengan diri serta kepentingan mereka sendiri dengan seolah-olah mengatasnamakan rakyat, padahal mereka ternyata tidak memedulikannya.
Ketidakpedulian akar rumput tersebut saat ini masih sangat positif dampaknya karena tidak akan menimbulkan kekacauan horizontal yang akan menimbulkan kekhawatiran. Namun, bila para elite tidak menyadari dan terus-menerus membingungkan masyarakat melalui penyampaian informasi yang tidak informatif (ingat Teori Enthrophy), suatu saat juga mungkin pula memengaruhi kalangan-kalangan tertentu.
Kita tentu ingat kejadian dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dengan nuansa politik identitasnya yang saat ini sedang diantisipasi oleh KPU bersama dengan Bawaslu ketika akan menggelar pilkada serentak pada tahun 2018 dan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang pelaksanaannya bersamaan dengan Pemilu Presiden 2019. Politik identitas yang bernuansa primordial paternalistik semacam itu, selain tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang kita anut, juga bisa membahayakan keutuhan NKRI.
Pertanyaannya, tidakkah pantas bila kita semua, terutama para elite, menjadikan peringatan HUT Ke-72 RI sebagai momentum merajut kembali nasionalisme demi kepentingan bangsa dengan melupakan kepentingan-kepentingan sektoral sesaat, dengan memberikan teladan dalam berkomunikasi, terutama melalui media? Seharusnya seperti itu 'kan?
Pancasila dan UUD 1945
Sejak sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah serta konstitusi NKRI maka seluruh rakyat Indonesia, termasuk berbagai organisasi, semua harus mencantumkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas.
Bagi organisasi yang tidak menganutnya, termasuk PKI yang telah dilarang berdasarkan TAP MPR Nomor 25 Tahun 1966, tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apa pun di NKRI. Terkait dengan itu, karena pemerintah memandang ada organisasi yang sudah sangat meresahkan dan membuat suasana genting, wajar bila pemerintah mengeluarkan perpu pembubaran HTI serta melakukan pengkajian terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) yang memiliki kecenderungan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Selanjutnya, diserahkan kepada pihak DPR apakah perpu tersebut akan disetujui menjadi undang-undang atau ditolak, kemudian kembali pada UU Ormas sebelumnya. Namun, bila kita mengingat antusiasnya masyarakat dalam menyambut peringatan HUT Ke-72 RI, tidakkah ini bisa dijadikan oleh para elite untuk mengingat kembali, baik mulai Sumpah Pemuda maupun penetapan kemerdekaan RI oleh para pendiri bangsa yang telah sepakat menjadikan Pancasila dan UUD 1945 alat pemersatu bangsa sesuai dengan kondisi masyarakat kita yang berbineka sehingga tunggal ika.
Kondisi pluralistik masyarakat kita yang sudah ada sejak dahulu kala, bahkan ketika Mahapatih Gajah Mada berupaya mempersatukan seluruh Nusantara pun, kondisi keanekaragaman, baik suku, ras, golongan, maupun agamanya, tidak dipersoalkan.
Melalui momentum peringatan HUT Ke-72 RI dengan melihat suasana kerukunan, toleransi, dan kekompakan yang ada di akar rumput, kita semua tentu berharap para elite dan cerdik cendekiawan saling menggunakan empatinya masing-masing sehingga ego mereka dapat dikendalikan dan menjelma menjadi kekompakan serta upaya bahu-membahu mewujudkan cita-cita yang dicanangkan para pendiri bangsa.
Komunikasi dan Teknologi
Mungkin di antara para elite dan cerdik cendikiawan ada yang berpendapat bahwa ketika para pendiri bangsa menentukan falsafah serta dasar NKRI, teknologi, khususnya media massa belum berkembang sepesat sekarang ini dengan segala pemanfaatan serta dampak yang timbul.
Oleh karena itu, yang tidak kalah penting saat ini adalah memelekkan masyarakat akan media serta informasi, antara lain, melalui literasi media serta informasi. Bahwa fungsi informasi yang informatif adalah menghilangkan ketidakpastian, serta media massa, termasuk media sosial (medsos), memiliki kekuatan mulai melipatgandakan pengetahuan hingga interaksi serta komunikasi pararasional (tidak rasional), perlu dimengerti serta dipahami, terutama oleh para pengguna dan penerimanya.
Melalui cara tersebut, pengguna akan lebih berhati-hati, sementara masyarakat sebagai penerima akan mampu memilih serta memilah, mana media dan informasi yang benar, serta mana media dan informasi yang abal-abal atau hoaks.
Akan tetapi, sembari menunggu masyarakat kita makin melek informasi dan media, alangkah baiknya para elite mulai memikirkan dan melakukan komunikasi, terutama komunikasi politik, yang empati. Hal ini bukan berarti menyampaikan kritik dan memberikan masukan sesuai dengan amanat konstitusi dilarang, melainkan semua pihak perlu mengingat bahwa sebelum melakukan produksi pesan (message production), dampak yang akan terjadi bila pesan tersebut dikomunikasikan (message communication) perlu diperhitungkan pula.
Singkatnya, kebebasan yang kita manfaatkan harus dibarengi dengan rasa tanggung jawab terhadap terhadap apa yang kita sampaikan. Ki Hajar Dewantara pun menyebut profesionalisme juga bercirikan adanya tanggung jawab terhadap apa yang kita kerjakan.
Akhirnya, kita semua tentu berharap kemeriahan peringatan HUT Ke-72 RI bisa menjadi momentum sekaligus sarana introspeksi para elite sehingga ke depan kebersamaan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar serta luhur mengalahkan kepentingan pribadi serta sektoral sesaat.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.