"Dengan adanya otomatisasi di sejumlah alat berat di lapangan penumpukan kontainer maka dapat menekan biaya logistik," kata Ketua Umum GINSI Rofiek Natahadibrata di Semarang, Jumat.
Menurut dia, saat ini biaya logistik di Indonesia mencapai 27-28 persen dari produk domestik bruto (PDB).
"Mungkin bisa dikatakan terbesar di kawasan ASEAN, bahkan mungkin terbesar di belahan bumi selatan. Dengan dimulainya proses otomatisasi di Jawa tengah merupakan revolusi yang sangat baik," katanya.
Terkait dengan "dweeling time", dengan adanya otomatisasi alat berat tersebut "dweeling time" tidak lagi menjadi masalah.
"Begitu semua beres, dokumen impor beres, dan seluruh proses di TPKS bisa jalan dengan baik maka 'dweeling time' tidak lagi menjadi isu yang menarik," katanya.
Selanjutnya, sisi yang perlu dibenahi adalah infrastruktur lain di antaranya jalan raya dan akses dari satu daerah ke daerah lain serta proses reaktivasi rel kereta api.
Sementara itu, General Manager Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) Erry Akbar Panggabean menyatakan dengan adanya penambahan sejumlah alat berat, perpanjangan dermaga, dan perluasan lapangan penumpukan diharapkan arus bongkar muat untuk ekspor maupun impor dapat berjalan lebih lancar.
"Dengan selesainya perpanjangan dermaga dari 495 meter menjadi 600 meter ini, tiga kapal sudah bisa sandar secara bersamaan. Ini dapat mempercepat proses bongkar muat," katanya.
Selain itu, dengan adanya peningkatan infrastruktur tersebut diharapkan "dweeling time" di TPKS dapat terus meningkat dari saat ini yang rata-rata mencapai 3-4 hari.