"Kondisi ekonomi di AS memang saat ini sedang dalam tahap pemulihan, artinya dolar masih menjadi salah satu mata uang yang banyak diminati investor asing," kata Branch Manajer PT Danareksa Sekuritas Cabang Semarang Melcy RS Makarawung di Semarang, Jumat.
Meski demikian, seiring dengan pulihnya kondisi perekonomian di AS maka kondisi rupiah pun berangsur membaik. Diharapkan, rupiah bisa kembali ke level normal yaitu di kisaran Rp11.000/dolar AS dalam kurun waktu 2-3 bulan ke depan.
Menurutnya, hal tersebut tidak sulit tercapai mengingat kebijakan Pemerintah yang menurunkan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI rate sebesar 0,25 basis poin yaitu dari 7,75 persen menjadi 7,5 persen.
"Penurunan suku bunga menjadi salah satu faktor yang menarik para investor untuk berinvestasi di suatu negara. Harapan kami BI bisa kembali menurunkan suku bunga secara bertahap," katanya.
Penurunan suku bunga tersebut juga berpotensi memberikan dampak positif bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di pasar saham Indonesia. Bahkan, Danareksa memprediksikan hingga akhir tahun mendatang IHSG bisa mencapai level 5.900.
"Bagi sebagian besar investor asing, Indonesia merupakan pasar yang potensial bagi mereka. Industri di negara ini sangat maju dan Indonesia juga menawarkan iklim investasi yang baik bagi mereka," katanya.
Sementara itu, Melcy mengatakan pelemahan nilai mata uang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di banyak negara berkembang yang masih menjadikan AS sebagai salah satu pasar terbesar bagi mereka. Bagi Indonesia, selama ini AS berkontribusi besar pada penjualan komoditas ekspor di antaranya mebel, tekstil, dan barang pabrikan.
"Tidak bisa dipungkiri bahwa industri di Indonesia sangat bergantung pada pasar AS, bukan hanya untuk penjualannya tetapi juga impor bahan baku," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya berharap agar pelaku usaha lebih mengoptimalkan bahan baku di Indonesia sehingga ketergantungan pada impor barang bisa diminimalisasi.