Semarang (ANTARA) - Rumah sebagai tempat tinggal atau hunian (dwelling) merupakan salah satu kebutuhan fisik dasar manusia.

Oleh karena itu, setiap keluarga harus mampu memenuhi kebutuhan tersebut, apalagi di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) seperti sekarang ini.

Tempat tinggal atau hunian yang layak (adequate housing), tentu mengandung asa tidak sekadar berfungsi sebagai tempat berlindung (shelter), tetapi juga dapat menjadi sarana pembinaan keluarga.

Baca juga: Pakar: Tagline Kementerian PUPR dukung perumahan berbasis komunitas

Menurut pakar perumahan dari Universitas Diponegoro (Undip) Dr.-Ing. Asnawi Manaf, S.T., tempat tinggal yang layak paling tidak memenuhi tiga kriteria utama, yaitu keamanan (safety), kecukupan luas, dan kesehatan.

Selain tiga kriteria itu, tempat tinggal yang layak hendaknya juga terjamin (secure tenure) dan berada di lokasi yang sesuai dengan peruntukan lahan atau zona tempat tinggal.

Ketika bicara tentang perumahan rakyat ini, perlu menjadi catatan dan perhatian semua pemangku kepentingan bahwa akses ke tempat tinggal atau hunian yang layak tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi.

Namun, pada kenyataannya sebanyak 70 persen keluarga Indonesia memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya secara mandiri atau swadaya. Hal ini menjadi salah satu cermin bahwa masih banyak keluarga Indonesia yang belum mampu mengakses hunian yang layak.

Secara ekonomi tingkat penghasilan mereka masuk dalam kelompok desil 1—4, yakni Desil 1 sebesar Rp1,2 juta per bulan; Desil 2 sebesar Rp1,8 juta/bulan; Desil 3 sebesar Rp2,1 juta/bulan; dan Desil 4 sebesar Rp2,6 juta/bulan.

Jika mengacu pada Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang, mereka termasuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), yakni masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah.

Setidaknya, menurut Asnawi, ada tiga segmen MBR jika mengacu pada kemampuan mereka mengakses kepemilikan rumah, yaitu: pertama, MBR yang telah memiliki tanah atau rumah namun tidak mampu membangun/memperbaiki rumahnya; kedua, MBR yang mampu membeli rumah namun kemampuan untuk mengangsur KPR masih rendah; ketiga, MBR yang sama sekali tidak mampu membeli rumah.

Karena keterbatasan penghasilan mereka, ditambah lagi sebagian besar untuk kebutuhan sehari-hari, makin jauh untuk mengejar impiannya mendapatkan rumah layak huni. Padahal, akses terhadap perumahan menjadi salah satu agenda penting bagi setiap negara di dunia.

Akses ini diwujudkan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang ke-11, yaitu menjadikan kota dan permukiman inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.

Ditekankan pula oleh Asnawi bahwa pengertian perumahan rakyat yang menjadi tanggung jawab pemerintah tersebut adalah perumahan yang dapat diakses oleh mayoritas keluarga Indonesia tersebut.

Hal ini pun dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Undang-undang ini mengamanatkan kepada pemerintah untuk memberikan akses kepada mereka agar mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan yang aman secara fisik, sehat, terjamin secara hukum, dan berkelanjutan.

  Foto aerial perumahan subsidi di Kelurahan Pesurungan, Tegal, Jawa Tengah, Jumat (7/2/2020). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bekerjasama dengan Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai penyalur KPR Subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), mengalokasikan anggaran untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada 2020 sebesar Rp11 triliun untuk memfasilitasi 102.500 unit rumah. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/pd.
Bantuan Perumahan

Di awal wabah Covid-19 meluas di dunia, web Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (www.pu.go.id) menginformasikan hingga Jumat (13 Maret 2020), kementerian ini menerima permohonan bantuan perumahan berbasis komunitas dari 32 kabupaten/kota di seluruh Indonesia untuk 9.000 unit bantuan perumahan berbasis komunitas.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, dalam laman tersebut, mengatakan bahwa pekerja nonformal yang selama ini kesulitan akses kredit pemilikan rumah (KPR) ke bank, kini tetap bisa mendapatkan subsidi rumah.

Kementerian PUPR akan melakukan pendataan dan monitoring ke sejumlah lokasi yang diusulkan guna melihat kesiapan lahan serta masyarakat yang menjadi target pembangunan perumahan tersebut.

Apalagi, masalah perumahan juga menjadi salah satu amanat UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 28H yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan

Pembangunan perumahan komunitas ini telah dilaksanakan di sejumlah lokasi, seperti di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Di daerah ini, Kementerian PUPR mendukung pembangunan rumah untuk komunitas tukang cukur yang tergabung dalam Persatuan Pangkas Rambut Garut (PPRG).

Sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo, yang menyatakan bahwa pembangunan rumah komunitas, seperti untuk PPRG, akan dilakukan untuk komunitas atau masyarakat di provinsi lain.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, peta sebaran usulan bantuan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) untuk komunitas masyarakat tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Sejumlah daerah yang mengajukan bantuan perumahan komunitas, yakni Lampung (4 kabupaten), Banten (1 kota), Jawa Barat (3 kabupaten), Sumatera Utara (3 kabupaten), Sumatera Selatan (4 kabupaten), Jawa Tengah (7 kabupaten), Sulawesi Tengah (1 kabupaten), Jawa Timur (4 kabupaten), Gorontalo (2 kabupaten), Sulawesi Utara (1 kabupaten), dan NTT (2 Kabupaten).

Untuk mendapatkan bantuan perumahan ini, masyarakat yang tergabung dalam komunitas dapat mengajukan bantuan perumahan terlebih dahulu ke pemerintah daerah setempat.

Selanjutnya, pemerintah daerah melakukan pemberdayaan dan perjanjian kesepahaman dengan komunitas serta menetapkan komunitas serta membantu dalam penyiapan lahan untuk lokasi pembangunan perumahan.

Apabila hal tersebut telah dilaksanakan, kemudian pemda dapat mengajukan usulan bantuan stimulan perumahan swadaya (BSPS) dan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) ke Kementerian PUPR.

Usulan tersebut akan diverifikasi, baik dari sisi administrasi maupun teknik serta lokasi pembangunan. Kementerian PUPR akan membantu mengalokasikan BSPS pembangunan baru rumah swadaya dan bantuan PSU berupa drainase, jalan lingkungan, sistem penyediaan air minum, dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal.

 

Bahan Lokal

Di penghujung tahun 2020, ada statement dari Kementerian PUPR bahwa pada tahun 2021 mengubah tagline pembangunan properti dan konstruksi di Indonesia semula pada tahun lalu memprioritaskan produksi dalam negeri menjadi tanpa impor.

Pelarangan penggunaan barang impor untuk semua proyek properti dan konstruksi mulai tahun ini, sebagaimana disiarkan sejumlah media, tidak lain dalam rangka pemulihan ekonomi di Tanah Air akibat imbas dari pandemik COVID-19.

Jika ingin menggunakan barang impor, disyaratkan perusahaan produk tersebut harus mendirikan pabriknya di Indonesia. Bahkan, belanja barang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun harus membeli produk-produk dalam negeri.

Pelarangan impor yang disampaikan Menteri PUPR Basuski Hadimuljono dalam diskusi bertajuk Mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional Melalui Sektor Perumahan di Jakarta, Senin (29 Desember 2020), menurut Asnawi, sangat mendukung perumahan berbasis komunitas dengan skema Kolaborasi ABCG.

"Tagline tanpa impor ini terkait dengan bahan material lokal yang sudah dikenal dalam tradisi membangun di Tanah Air selama ini sehingga tenaga kerja lokal tidak perlu beradaptasi lagi," kata Asnawi, Senin (25/1).

Selain membuka akses bagi tenaga kerja lokal, dapat pula mendukung salah satu misi dari skema perumahan berbasis komunitas yang digagas Pusat Riset Teknologi Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC) Undip.

Satu sisi kolaborasi ABCG (academic, business, community, dan government) menekan cost, sementara di sisi lain kolaborasi ini dalam prespektif teknik dan teknologi menggunakan tenaga kerja lokal.

Penerapan skema Kolaborasi ABCG dalam pembangunan perumahan berbasis komunitas ini akan saling mendukung dan mengisi terkait dengan adanya larangan penggunaan barang impor untuk semua proyek properti dan konstruksi.

Apalagi, selain untuk mendorong percepatan pemulihan perekonomian nasional akibat imbas dari pandemik COVID-19, juga akan menerapkan skema padat karya pada pembangunan konstruksi perumahan.

Asnawi selaku Kepala Pusat Riset Teknologi IHUDRC mengemukakan bahwa kolaborasi itu membuka penggunaan teknologi yang bisa digarap oleh industri kecil. Teknologi sederhana ini disebutnya sebagai teknologi tepat guna.

Ia berharap pekerjaan konstruksi rumah yang menggunakan material lokal ini juga tidak hanya memudahkan tenaga kerja lokal menerapkannya, tetapi membuka peluang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk mengelolanya.

Penggunaan bahan-bahan bangunan yang bisa dikerjakan oleh home industry, misalnya, akan membuka lapangan pekerjaan dari sisi pembuatan bahan bangunan. Sementara itu, di sisi lain pada saat pemasangan bahan-bahan tersebut juga menggunakan kemampuan orang bekerja yang sederhana saja.

Pembuatan bahan bangunan itu tidak membutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan tinggi (high skill labour) yang menggunakan teknologi tinggi, teknik otomasi, yakni penggunaan mesin, sistem kontrol, dan teknologi informasi untuk optimisasi produksi.

Dengan demikian, bisa dikerjakan oleh banyak orang sehingga di satu sisi cost ditekan, sementara di sisi lainnya membuka lapangan pekerjaan agar mereka dapat income.

Menjawab pertanyaan apakah kebijakan itu bakal menurunkan harga rumah, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), Asnawi menegaskan bahwa pembangunan properti dan konstruksi di Tanah Air tanpa impor ini lebih menekankan pada penyerapan tenaga kerja lokal agar mereka punya penghasilan di tengah pandemik sekarang ini.

"Jadi, percuma punya barang murah tetapi MBR tidak punya uang sama sekali karena enggak ada pekerjaan. Bisa dikatakan, semurah apa pun rumah itu tidak bisa dibeli," kata Asnawi.

Sebetulnya, menurut Asnawi yang pernah sebagai Wakil Dekan Fakultas Teknik Undip Semarang, tidak masalah harga rumah itu mahal selama orang berpenghasilan tinggi.

Dengan demikian, prespektifnya jangan dilihat pada affordability (keterjangkauan membayar) karena harga rumah murah. Affordability di sini dilihat dengan kacamata bahwa mereka punya uang karena punya pekerjaan.

Baca juga: Pakar perumahan: Negara harus hadir agar MBR jangkau rumah murah
Baca juga: 17 pengembang serahkan sertifikat PSU ke Pemkab Temanggung
Baca juga: Pakar: Skema perumahan berbasis komunintas relevan pada masa pandemi

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024