Semarang (ANTARA) - Pakar perumahan dari Universitas Diponegoro (Undip) Asnawi Manaf menilai tagline Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) "pembangunan properti dan konstruksi di Indonesia tanpa impor" sangat mendukung perumahan berbasis komunitas dengan skema Kolaborasi ABCG.

"Tagline tanpa impor ini terkait dengan bahan material lokal yang sudah dikenal dalam tradisi membangun di Tanah Air selama ini sehingga tenaga kerja lokal tidak perlu beradaptasi lagi," kata Dr.-Ing. Asnawi Manaf, S.T. di Semarang, Senin siang.

Selain membuka akses bagi tenaga kerja lokal, menurut Asnawi, dapat pula mendukung salah satu misi dari skema perumahan berbasis komunitas yang digagas Pusat Riset Teknologi Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC) Undip.

Satu sisi kolaborasi ABCG (academic, business, community, dan government) menekan cost, sementara di sisi lain kolaborasi ini dalam prespektif teknik dan teknologi menggunakan tenaga kerja lokal.

Baca juga: Kalangan kampus sentuh kebutuhan rakyat akan rumah murah

Ia mengutarakan bahwa penerapan skema Kolaborasi ABCG dalam pembangunan perumahan berbasis komunitas ini akan saling mendukung dan mengisi terkait dengan adanya larangan penggunaan barang impor untuk semua proyek properti dan konstruksi.

Apalagi, selain untuk mendorong percepatan pemulihan perekonomian nasional akibat imbas dari pandemik Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), juga akan menerapkan skema padat karya pada pembangunan konstruksi perumahan.

Asnawi selaku Kepala Pusat Riset Teknologi IHUDRC mengemukakan bahwa kolaborasi itu membuka penggunaan teknologi yang bisa digarap oleh industri kecil. Teknologi sederhana ini disebutnya sebagai teknologi tepat guna.

Ia berharap pekerjaan konstruksi rumah yang menggunakan material lokal ini juga tidak hanya memudahkan tenaga kerja lokal menerapkannya, tetapi membuka peluang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk mengelolanya.

Penggunaan bahan-bahan bangunan yang bisa dikerjakan oleh home industry, misalnya, sehingga membuka lapangan pekerjaan dari sisi pembuatan bahan bangunan. Sementara itu, di sisi lain pada saat pemasangan bahan-bahan tersebut juga menggunakan kemampuan orang bekerja yang sederhana saja.

Baca juga: Pakar sebut pemerintah perlu perhatikan kemampuan buruh beli rumah

Asnawi menekankan bahwa pembuatan bahan bangunan itu tidak membutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan tinggi (high skill labour) yang menggunakan teknologi tinggi, teknik otomasi, yakni penggunaan mesin, sistem kontrol, dan teknologi informasi untuk optimisasi produksi.

Dengan demikian, kata Asnawi, bisa dikerjakan oleh banyak orang sehingga di satu sisi cost ditekan, sementara di sisi lainnya membuka lapangan pekerjaan agar mereka dapat income.

Menjawab pertanyaan apakah kebijakan itu bakal menurunkan harga rumah, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), Asnawi menegaskan bahwa pembangunan properti dan konstruksi di Tanah Air tanpa impor ini lebih menekankan pada penyerapan tenaga kerja lokal agar mereka punya penghasilan di tengah pandemik sekarang ini.

Di sisi lain, kata dia, disyaratkan pula bahwa penggunaan barang impor diperbolehkan, asalkan perusahaan produk tersebut harus mendirikan pabriknya di Indonesia.

"Jadi, percuma punya barang murah tetapi MBR tidak punya uang sama sekali karena enggak ada pekerjaan. Bisa dikatakan, semurah apa pun rumah itu tidak bisa dibeli," katanya.

Baca juga: UU Cipta Kerja akselerasi perpaduan bank tanah dan "ABCG"

Menurut dia, sebetulnya tidak masalah harga rumah itu mahal selama orang berpenghasilan tinggi. Dengan demikian, prespektifnya jangan dilihat ke affordability (keterjangkauan membayar) karena harga rumah murah.

"Affordability di sini dilihat dengan kacamata bahwa mereka punya uang karena dia punya pekerjaan," kata Asnawi yang pernah sebagai Wakil Dekan Fakultas Teknik Undip Semarang.

Pewarta : Kliwon
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024