Semarang (ANTARA) - Rumah merupakan kebutuhan dasar bagi suatu keluarga, bahkan setiap keluarga mendambakan hunian yang aman, nyaman, dan sehat. Namun, selama ini belum semua rakyat Indonesia mendapatkan akses kebutuhan dasar tersebut.
Salah satu faktornya, sebagaimana dikatakan oleh pakar perumahan dari Universitas Diponegoro (Undip) Dr. Ing. Asnawi Manaf, S.T., adalah permasalahan lahan yang selalu menjadi momok bagi penyedia perumahan. Bahkan, sekitar 70 persen rakyat Indonesia harus menyediakan hunian secara swadaya.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, asa untuk menyediakan perumahan untuk masyarakat luas lebih terbuka. Apalagi, ada ketentuan bahwa ketersediaan tanah untuk reforma agraria paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang diperuntukkan bank tanah.
Dari sinilah, pentingnya melakukan kolaborasi antara akademisi (academic), bisnis (business), komunitas (community), dan pemerintah (government) atau ABCG, dalam mewujudkan impian rakyat Indonesia. Kolaborasi empat aktor utama ini suatu keniscayaan dalam pembangunan perumahan dan perkotaan inklusif.
Empat aktor utama ini terjalin secara heterarkis (sederajat) yang mampu meminimalkan sekat komunikasi di antara para pihak terkait sehingga muncul komunikasi yang autentik yang merupakan prasyarat dari terjalinnya kolaborasi yang efektif.
"Ini merupakan inti dari spirit atau ruh inklusivitas yang dikembangkan Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC) sesuai dengan slogannya 'Bersama Membangun Sesama'," kata Kepala Pusat Riset Teknologi IHUDRC Undip Asnawi Manaf.
Undip melalui Pusat Riset Teknologi IHUDRC berperan mengembangkan kerangka kerja kolaborasi di antara lembaga terkait dengan inovasi-inovasi penelitian yang mendukung terwujudnya rumah yang layak dan terjangkau bagi keluarga kurang mampu.
Hingga kini, Undip sebagai universitas riset telah memupuk lahirnya pusat-pusat kajian unggulan di berbagai sektor. Sejak embrio Pusat Riset Teknologi IHUDRC didirikan di Fakultas Teknik Undip pada tahun 2016, telah melakukan berbagai upaya untuk merespons tantangan dan permasalahan penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Salah satunya adalah inovasi pengembangan skema pembangunan perumahan untuk keluarga kurang mampu di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, yang mendapatkan penghargaan sebagai The Best Infrastructure Innovation 2018 dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Apa yang telah dilakukan oleh Undip ini juga dirasakan keluarga Agus Prayitno (27), warga Desa Curug Sewu, Kecamatan Patean, Kabupaten Kendal. Karyawan honorer ini akhirnya mewujudkan impiannya memiliki rumah yang layak huni dengan lingkungan yang tertata.
Berkat bantuan dari Kementerian PUPR lewat Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) ini, Agus Prayitno telah mempunyai rumah dengan luas bangunan 6 x 6 meter persegi di atas tanah seluas 14 x 6 meter persegi dengan kredit selama 10 tahun yang angsurannya Rp571 ribu per bulan. Program ini berbasis komunitas, Bank BTN berperan membantu menyediakan lahan untuk membangun rumah impiannya.
"Komunitas (penerima) mencari lahan ini, kemudian biaya sertifikat, biaya pemecahan, dan biaya lainnya dibantu oleh Bank BTN," kata Agus.
Respons Positif
Keberhasilan ini, menurut Asnawi yang juga anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Undip, kemudian direspons oleh Kementerian PUPR untuk direplikasi di seluruh daerah di Indonesia.
Guna mendukung hal tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN RI Nomor 12 Tahun 2019 tentang Konsolidasi Tanah.
Hal itu menunjukkan bahwa tingkat kesiapan teknologi sudah berada di level 8. Artinya, kata Asnawi, tingkat kesiapan saintifik sosial (TKSS) untuk rekayasa sosial (social engineering) berbasis pendekatan kualitatif telah dapat menjadi rujukan kebijakan.
Bahkan, beberapa inovasi yang telah dihasilkan oleh IHUDRC sehingga skema kolaborasi ABCG sudah dapat diujicobakan di dalam kehidupan nyata, antara lain kebijakan konsolidasi tanah yang menjadi dasar di dalam Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2019. Berikutnya, pembiayaan mikrokredit perumahan (KPR BTN mikro) yang saat ini akan dikembangkan menjadi kredit mikro kepemilikan lahan Bank Jateng.
Inti dari skema ini, lanjut Asnawi, adalah penyelesaian permasalah inklusi sosial, ekonomi, dan spatial atau spasial (berkenaan dengan ruang atau tempat) di dalam penyediaan perumahan dan pembangunan kota melalui kolaborasi dari empat aktor utama pembangunan perumahan dan perkotaan yang dinamai "Skema Kolaborasi ABCG" (academic, business, community, and government).
Dengan kegiatan-kegiatan riset, IHUDRC telah menjadi mitra kerja, baik bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun entitas bisnis dan keuangan, seperti Bank BTN dan Bank Jateng.
Sejumlah nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara Undip sebagai lembaga induk yang menaunginya dan pihak-pihak terkait, seperti Kementerian PUPR, ATR/BPN, kabupaten/kota di Jawa Tengah, Bank BTN, telah ditandatangani.
Selain MoU dan kerja sama bersifat formal dan kerja sama secara informal, juga telah banyak berjalan, seperti dengan World Bank, UN Habitat serta University of Science Malaysia (USM), dan lembaga-lembaga terkait lainnya.
Salah satu peran yang sangat strategis dimainkan oleh IHUDRC, kata Asnawi, adalah sebagai integrator dari berbagai pemangku kepentingan yang selama ini memiliki berbagai sumber daya.
Akan tetapi, pemanfaatannya tidak bisa optimal dan lebih efektif serta membawa daya ungkit (leverage) yang lebih besar dalam rangka upaya perwujudan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya New Urban Agenda (NUA).
Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil (dua dari kanan) bersama Kepala Pusat Riset Teknologi IHUDRC Undip Asnawi Manaf (tiga dari kanan) meninjau calon lokasi perumahan berbasis komunitas di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. ANTARA/HO-IHUDRC Undip
Konsep 5C
Bank sebagai lembaga keuangan dalam kolaborasi ABCG merupakan salah satu kunci dalam mewujudkan impian masyarakat untuk mendapatkan rumah murah dan layak huni serta lingkungan tertata.
Namun, dalam memberikan pinjaman kredit, bank menerapkan konsep 5C (collateral, character, capacity, capital, and condition). Konsep ini perlu diketahui masyarakat agar permohonannya tidak ditolak oleh lembaga keuangan.
Terkait dengan collateral, dibutuhkan peran akademikus agar masyarakat berpenghasilan rendah memenuhi syarat untuk mendapat pinjaman dari bank dengan memfasilitasi lahan berupa kaveling yang sudah bersertifikat dan memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Hal ini, menurut Asnawi, akan menjadi penjamin atau pelindung bagi pihak bank apabila kelak nasabah tidak dapat membayar angsuran.
Bank sebelum memberikan pinjaman terlebih dahulu melihat bagaimana karakter (character) dan latar belakang calon nasabah yang akan mengajukan kredit. Pihak bank akan mewawancarai calon peminjam untuk mengetahui reputasi yang bersangkutan apakah termasuk orang bermasalah atau tidak.
Selanjutnya, kata lulusan doktor Universitas Kassel Jerman ini, kemampuan calon pemohon dalam membayar kreditnya juga menjadi bahan pertimbangan bank dalam menyetujui permintaan kredit dari nasabah.
Sebelum menyalurkan kreditnya, lembaga keuangan ini akan melihat sejauh mana nasabah tersebut menjalankan usahanya atau seberapa besar penghasilan per bulan.
Agar bisa mengakses tempat tinggal yang layak huni, calon pemilik rumah harus memenuhi kriteria berupa capital (modal), khususnya bagi pelaku usaha. Biasanya pihak bank melihat bagaimana laporan keuangan dari usaha calon nasabah, kemudian menjadikannya acuan untuk memberi kredit atau sebaliknya.
Hal lain yang menjadi bahan pertimbangan pihak bank memberikan pinjaman kepada calon pemilik rumah yang akan mendapatkan bantuan Rp40 juta melalui program BP2BT Swadaya ini adalah kondisi perekonomian calon nasabah, baik yang bersifat umum maupun khusus. Apabila kondisi perekonomian baik atau sektor usaha nasabah menjanjikan, biasanya bank memberikan kredit.
Community (komunitas) adalah kelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu. Ketika mereka berkelompok, memiliki posisi tawar dengan developer ketimbang perorangan.
Developer ini mengembangkan suatu kawasan punya modal besar. Modal ini dihimpun dari orang yang berbasis komunitas tadi. Orang-orang ini satu sama lain harus bergandeng tangan, berbeda dengan sendiri-sendiri.
Selama ini, kata Asnawi yang pernah sebagai Wakil Dekan Fakultas Teknik Undip, mereka terpencar-pencar bangun di kampung-kampung hingga membuat kota semrawut.
Di sinilah Undip memberikan perspektif. Begitu mereka punya anak, sudah ada tempat bermainnya. Selain itu, saluran air di perumahan berbasis komunitas ini menggunakan sistem komunal. Dengan demikian, tidak sekadar rumah yang layak huni dan lingkungan yang tertata, tetapi juga ikut membangun peradaban.
Salah satu faktornya, sebagaimana dikatakan oleh pakar perumahan dari Universitas Diponegoro (Undip) Dr. Ing. Asnawi Manaf, S.T., adalah permasalahan lahan yang selalu menjadi momok bagi penyedia perumahan. Bahkan, sekitar 70 persen rakyat Indonesia harus menyediakan hunian secara swadaya.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, asa untuk menyediakan perumahan untuk masyarakat luas lebih terbuka. Apalagi, ada ketentuan bahwa ketersediaan tanah untuk reforma agraria paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang diperuntukkan bank tanah.
Dari sinilah, pentingnya melakukan kolaborasi antara akademisi (academic), bisnis (business), komunitas (community), dan pemerintah (government) atau ABCG, dalam mewujudkan impian rakyat Indonesia. Kolaborasi empat aktor utama ini suatu keniscayaan dalam pembangunan perumahan dan perkotaan inklusif.
Empat aktor utama ini terjalin secara heterarkis (sederajat) yang mampu meminimalkan sekat komunikasi di antara para pihak terkait sehingga muncul komunikasi yang autentik yang merupakan prasyarat dari terjalinnya kolaborasi yang efektif.
"Ini merupakan inti dari spirit atau ruh inklusivitas yang dikembangkan Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC) sesuai dengan slogannya 'Bersama Membangun Sesama'," kata Kepala Pusat Riset Teknologi IHUDRC Undip Asnawi Manaf.
Undip melalui Pusat Riset Teknologi IHUDRC berperan mengembangkan kerangka kerja kolaborasi di antara lembaga terkait dengan inovasi-inovasi penelitian yang mendukung terwujudnya rumah yang layak dan terjangkau bagi keluarga kurang mampu.
Hingga kini, Undip sebagai universitas riset telah memupuk lahirnya pusat-pusat kajian unggulan di berbagai sektor. Sejak embrio Pusat Riset Teknologi IHUDRC didirikan di Fakultas Teknik Undip pada tahun 2016, telah melakukan berbagai upaya untuk merespons tantangan dan permasalahan penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Salah satunya adalah inovasi pengembangan skema pembangunan perumahan untuk keluarga kurang mampu di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, yang mendapatkan penghargaan sebagai The Best Infrastructure Innovation 2018 dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Apa yang telah dilakukan oleh Undip ini juga dirasakan keluarga Agus Prayitno (27), warga Desa Curug Sewu, Kecamatan Patean, Kabupaten Kendal. Karyawan honorer ini akhirnya mewujudkan impiannya memiliki rumah yang layak huni dengan lingkungan yang tertata.
Berkat bantuan dari Kementerian PUPR lewat Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) ini, Agus Prayitno telah mempunyai rumah dengan luas bangunan 6 x 6 meter persegi di atas tanah seluas 14 x 6 meter persegi dengan kredit selama 10 tahun yang angsurannya Rp571 ribu per bulan. Program ini berbasis komunitas, Bank BTN berperan membantu menyediakan lahan untuk membangun rumah impiannya.
"Komunitas (penerima) mencari lahan ini, kemudian biaya sertifikat, biaya pemecahan, dan biaya lainnya dibantu oleh Bank BTN," kata Agus.
Respons Positif
Keberhasilan ini, menurut Asnawi yang juga anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Undip, kemudian direspons oleh Kementerian PUPR untuk direplikasi di seluruh daerah di Indonesia.
Guna mendukung hal tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menerbitkan Peraturan Menteri ATR/BPN RI Nomor 12 Tahun 2019 tentang Konsolidasi Tanah.
Hal itu menunjukkan bahwa tingkat kesiapan teknologi sudah berada di level 8. Artinya, kata Asnawi, tingkat kesiapan saintifik sosial (TKSS) untuk rekayasa sosial (social engineering) berbasis pendekatan kualitatif telah dapat menjadi rujukan kebijakan.
Bahkan, beberapa inovasi yang telah dihasilkan oleh IHUDRC sehingga skema kolaborasi ABCG sudah dapat diujicobakan di dalam kehidupan nyata, antara lain kebijakan konsolidasi tanah yang menjadi dasar di dalam Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2019. Berikutnya, pembiayaan mikrokredit perumahan (KPR BTN mikro) yang saat ini akan dikembangkan menjadi kredit mikro kepemilikan lahan Bank Jateng.
Inti dari skema ini, lanjut Asnawi, adalah penyelesaian permasalah inklusi sosial, ekonomi, dan spatial atau spasial (berkenaan dengan ruang atau tempat) di dalam penyediaan perumahan dan pembangunan kota melalui kolaborasi dari empat aktor utama pembangunan perumahan dan perkotaan yang dinamai "Skema Kolaborasi ABCG" (academic, business, community, and government).
Dengan kegiatan-kegiatan riset, IHUDRC telah menjadi mitra kerja, baik bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun entitas bisnis dan keuangan, seperti Bank BTN dan Bank Jateng.
Sejumlah nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara Undip sebagai lembaga induk yang menaunginya dan pihak-pihak terkait, seperti Kementerian PUPR, ATR/BPN, kabupaten/kota di Jawa Tengah, Bank BTN, telah ditandatangani.
Selain MoU dan kerja sama bersifat formal dan kerja sama secara informal, juga telah banyak berjalan, seperti dengan World Bank, UN Habitat serta University of Science Malaysia (USM), dan lembaga-lembaga terkait lainnya.
Salah satu peran yang sangat strategis dimainkan oleh IHUDRC, kata Asnawi, adalah sebagai integrator dari berbagai pemangku kepentingan yang selama ini memiliki berbagai sumber daya.
Akan tetapi, pemanfaatannya tidak bisa optimal dan lebih efektif serta membawa daya ungkit (leverage) yang lebih besar dalam rangka upaya perwujudan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya New Urban Agenda (NUA).
Konsep 5C
Bank sebagai lembaga keuangan dalam kolaborasi ABCG merupakan salah satu kunci dalam mewujudkan impian masyarakat untuk mendapatkan rumah murah dan layak huni serta lingkungan tertata.
Namun, dalam memberikan pinjaman kredit, bank menerapkan konsep 5C (collateral, character, capacity, capital, and condition). Konsep ini perlu diketahui masyarakat agar permohonannya tidak ditolak oleh lembaga keuangan.
Terkait dengan collateral, dibutuhkan peran akademikus agar masyarakat berpenghasilan rendah memenuhi syarat untuk mendapat pinjaman dari bank dengan memfasilitasi lahan berupa kaveling yang sudah bersertifikat dan memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Hal ini, menurut Asnawi, akan menjadi penjamin atau pelindung bagi pihak bank apabila kelak nasabah tidak dapat membayar angsuran.
Bank sebelum memberikan pinjaman terlebih dahulu melihat bagaimana karakter (character) dan latar belakang calon nasabah yang akan mengajukan kredit. Pihak bank akan mewawancarai calon peminjam untuk mengetahui reputasi yang bersangkutan apakah termasuk orang bermasalah atau tidak.
Selanjutnya, kata lulusan doktor Universitas Kassel Jerman ini, kemampuan calon pemohon dalam membayar kreditnya juga menjadi bahan pertimbangan bank dalam menyetujui permintaan kredit dari nasabah.
Sebelum menyalurkan kreditnya, lembaga keuangan ini akan melihat sejauh mana nasabah tersebut menjalankan usahanya atau seberapa besar penghasilan per bulan.
Agar bisa mengakses tempat tinggal yang layak huni, calon pemilik rumah harus memenuhi kriteria berupa capital (modal), khususnya bagi pelaku usaha. Biasanya pihak bank melihat bagaimana laporan keuangan dari usaha calon nasabah, kemudian menjadikannya acuan untuk memberi kredit atau sebaliknya.
Hal lain yang menjadi bahan pertimbangan pihak bank memberikan pinjaman kepada calon pemilik rumah yang akan mendapatkan bantuan Rp40 juta melalui program BP2BT Swadaya ini adalah kondisi perekonomian calon nasabah, baik yang bersifat umum maupun khusus. Apabila kondisi perekonomian baik atau sektor usaha nasabah menjanjikan, biasanya bank memberikan kredit.
Community (komunitas) adalah kelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu. Ketika mereka berkelompok, memiliki posisi tawar dengan developer ketimbang perorangan.
Developer ini mengembangkan suatu kawasan punya modal besar. Modal ini dihimpun dari orang yang berbasis komunitas tadi. Orang-orang ini satu sama lain harus bergandeng tangan, berbeda dengan sendiri-sendiri.
Selama ini, kata Asnawi yang pernah sebagai Wakil Dekan Fakultas Teknik Undip, mereka terpencar-pencar bangun di kampung-kampung hingga membuat kota semrawut.
Di sinilah Undip memberikan perspektif. Begitu mereka punya anak, sudah ada tempat bermainnya. Selain itu, saluran air di perumahan berbasis komunitas ini menggunakan sistem komunal. Dengan demikian, tidak sekadar rumah yang layak huni dan lingkungan yang tertata, tetapi juga ikut membangun peradaban.