Siaran pers KPI yang diterima di Jakarta, Selasa malam, menyatakan selain sering menyengsarakan pelaut, kapal-kapal Taiwan itu juga merusak citra Indonesia karena sering berganti nama dan menggunakan bendera Indonesia di tengah laut tanpa melalui prosedur yang legal.
"Pemerintah Indonesia harus segera melakukan moratorium untuk menghentikan kasus-kasus perbudakan pelaut Indonesia di kapal-kapal perikanan Taiwan," kata Presiden KPI Hanafi Rustandi, menanggapi pemulangan 74 pelaut yang bekerja di kapal-kapal perikanan Taiwan.
Pelaut yang dipulangkan dari Cape Town, Afrika Selatan, itu menambah panjang kasus penelantaran pelaut Indonesia yang bekerja di kapal Taiwan.
Sebelumnya, terjadi kasus penelantaran 163 ABK Indonesia yang bekerja di kapal-kapal perikanan Taiwan di Trinidad & Tobago, dan sampai saat ini tidak ada penyelesaian atas hak-hak mereka.
Kedatangan pelaut dari Cape Town disambut oleh Sekretaris Pimpinan Pusat KPI Sonny Pattiselanno, staf Protokol dan Konsuler KBRI di Pretroria-Afsel, Risa WS Wardhani, Konsul RI di Cape Town, Adhi Wibowo, serta Direktur Mediasi dan Advokasi Badan Nasional Penempatan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Teguh Hendro Cahyono.
Ke-74 pelaut itu bekerja di tujuh kapal "longline" Taiwan yang beroperasi di penangkapan internasional, termasuk di Afrika Selatan. Mereka yang sebagian besar berasal dari wilayah pantai utara Jawa Barat dan Jawa Tengah itu mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma (18/2) dengan pesawat carteran atas bantuan pemerintah Afrika Selatan dan dokumen perjalanannya difasilitasi oleh Konjen RI di Cape Town, Afsel.
Mereka direkrut oleh 12 agen perekrutan di Indonesia, umumnya di Jakarta dan diterbangkan ke beberapa pelabuhan yang disinggahi kapal di luar negeri, bahkan ada yang melalui beberapa pelabuhan transit sebelum ditempatkan di kapal atau dipindah-pindahkan ke kapal lain di laut.
Salah seorang ABK mengaku awalnya diberangkatkan dari Jakarta ke Medan, kemudian diberangkatkan lagi ke Penang, Malaysia, untuk naik kapal. Para agen di Indonesia ini mendapat order perekrutan dari lima broker pencari tenaga kerja di Taiwan dan satu di Malaysia.
Mereka bekerja di tujuh kapal perikanan dengan kontrak kerja rata-rata tiga tahun, tapi ada yang sudah bekerja sampai 5-7 tahun. Gajinya antara USD170-350 per bulan, tergantung pekerjaannya. Namun, mereka rata-rata hanya menerima gaji selama empat bulan pertama, selebihnya sampai saat dipulangkan ke Tanah Air, belum dibayar.
"Yang sangat menyedihkan, selama beberapa bulan mereka ditelantarkan setelah kapalnya ditangkap dan ditahan di Cape Town karena melakukan penangkapan ikan ilegal lalu ditahan Imigrasi setempat sejak 1 Desember 2013," kata Sonny Pattiselanno yang juga sebagai Wakil Ketua International Transport Workers Federation Asia Pafisik Seksi Perikanan.
Menurut keterangan Konsul RI di Cape Town, Adhi Wibowo, terungkapnya kasus ini setelah ada laporan dari Imigrasi Cape Town, yang dalam pemeriksaannya ternyata ditemukan lima ABK yang tidak memiliki paspor. Setelah diinterogasi, ternyata mereka dipindahkan ke kapal lain setelah kapalnya terbakar dan tenggelam, sehingga paspornya juga hilang.
Menurut Sonny, praktik perekrutan dan penempatan serta pengerjaan pelaut di kapal-kapal ikan Taiwan dilaksanakan tanpa memenuhi prosedur pengawakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BNP2TKI No. Per.03/KA/I/2013 tentang Tata Cara Perekrutan, Penempatan dan Perlindungan Pelaut Perikanan, maupun peraturan-peraturan nasional lainnya.
Para ABK yang direkrut dan ditempatkan di kapal, buku pelautnya tidak disijil atau diregister dan tanpa Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang disahkan oleh pejabat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
"Praktik semacam ini sudah berlangsung lama. Namun tidak ada tindakan nyata dan tegas dari pemerintah terhadap agen-agen perekrutan yang terlibat. Padahal dari modus operandi yang mereka lakukan dengan menabrak dan mengabaikan berbagai peraturan sudah mengarah ke praktik human trafficking," kata Sonny.