Mereka yang menjalani ritual itu terdiri atas tiga kelompok kesenian tradisional Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bagian dari anggota komunitas Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing.
Sejumlah pemimpin prosesi seperti Harjito dan Heri Surachman terlihat sudah paham tentang maksud para perempuan dan laki-laki dengan anak-anak mereka di gendongan berdiri menunggu di tepi jalan prosesi kecil kesenian tradisional itu.
Harjito yang sore itu mengenakan pakaian serba warna hitam dan bertutup kepala peci dan Heri yang berselempang kain warna hitam itu, masing-masing meletakkan telunjuk ke lindahnya dan kemudian jari mereka yang telah basah oleh ludah itu ditempelkan sejenak ke dahi setiap anak-anak tersebut.
"Supaya anak-anak tidak kena 'sawan' (maksudnya beroleh keselamatan, red.)," kata Heri yang juga salah satu pemimpin Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing di dusun dengan ketinggian sekitar 1.600 meter dari permukaan air laut itu. Puncak Gunung Sumbing sekitar 3.700 mdpl.
Sore itu, sekitar 1,5 jam sebelum azan magrib berkumandang dari masjid dusun setempat di tepi satu mata air dekat cungkup petilasan dengan penunggu yang oleh warga setempat disebut Nyai Gadung Mlati itu, bulan berbentuk separo telah terlihat. Apalagi langit di atas dusun itu cerah berwarna biru.
Mereka memulai prosesi "Ngundang Roh Gunung" dengan sowan ke petilasan cikal bakal dusun bernama Kiai Dipodrono di satu tebing, di atas gedung sangar milik seniman petani setempat dan kemudian dilanjutkan ke petilasan Nyai Gadung Mlati. Prosesi itu sebagai ritual pembuka Festival Lima Gunung XI di Gunung Sumbing, 30 Juni-1Juli 2012.
Festival tahunan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) pada 2012 digelar di dua tempat. Satu lokasi lainnya di Gunung Merbabu, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, 4-15 Juli 2012.
Harjito memimpin doa para peserta prosesi itu di petilasan Kiai Dipodrono, sedangkan pemuka warga setempat lainnya bernama Warsidi memimpin doa di petilasan Nyai Gadung Mlati.
Dua seniman petani masing-masing berpakaian warok putra telah kesurupan. Mereka adalah Kirun kesurupan dayang kawasan setempat bernama Raden Joyono, sedangkan Nasihin kesurupan dayang Raden Kuncoro. Tiga lainnya yang juga kesurupan adalah Suwal, Ikhwan, dan Walidi.
"Raden Joyono dari kali dusun ini, kalau Raden Kuncoro dari Gunung Sumbing," kata Heri.
Mereka berlima yang telah kesurupan itu berjalan di urutan terdepan rombongan peserta prosesi, melewati jalan dusun setempat.
Nasihin dan Kirun yang dalam kondisi kesurupan terlihat sempat berteriak tanda bentakan, ketika satu seniman petani berpakaian kuda lumping berjalan terlalu cepat sehingga keluar dari rombongan penari tradisional itu.
Ketika mereka melewati jalan menanjak, ada pengendara sepeda motor berboncengan hendak mendahului rombongan prosesi tanpa tabuhan musik pengiring itu. Dalam keadaan kesurupan, dua orang itu juga melarang rombongan prosesi itu didahului pengendara sepeda motor tersebut.
Harjito bergegas menjelaskan maksud itu kepada warga yang mengendarai kendaraan itu.
Sementara itu, ratusan warga baik tua, muda, laki-laki, perempuan, anak-anak, maupun orang dewasa telah berkumpul mengelilingi halaman sanggar untuk menyaksikan pementasan tiga kesenian tradisional setempat yakni warok putri, warok putra, dan kuda lumping. Sesekali kabut berarak hingga seakan menyelimuti dusun setempat.
Tabuhan gamelan bertalu-talu mengiring pementasan tarian tersebut. Sejumlah penari kesurupan dengan dijaga para tokoh kesenian tradisional setempat. Mereka yang kesurupan terlihat meminta kepada para penjaga itu antara lain air putih, rokok keretek, dan kemenyan.
Pemimpin lainnya Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing, Sumarno, mengatakan, prosesi itu sebagai agenda pembuka atas festival tahunan seniman petani lima gunung.
"Pertanda bahwa para dayang pun bergembira bahwa dusun kami ini menjadi lokasi festival. Mereka hadir untuk melihat juga festival dan turut berfestival," kata Sumarno yang selama 42 tahun pernah menjadi kepala dusun setempat dengan jumlah warga saat ini sekitar 400 kepala keluarga atau sekitar 1.500 jiwa tersebar di 23 rukun tetangga.
Puncak festival secara mandiri itu pada Minggu (1/7) dengan berbagai pementasan kesenian tradisional, kontemporer gunung, dan kolaborasi kelompok-kelompok seniman petani lainnya yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, sejak pagi hingga tengah malam.
Para petinggi Komunitas Lima Gunung Magelang pada Sabtu (30/6) malam juga menggelar pentas ketoprak dengan lakon "Kabut di Bukit Tidar" di panggung Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing dengan sutradara Sitras Anjilin.
Pada Minggu (1/7) pagi, masyarakat setempat menjalani ritual "Nyadran Bayu" di petilasan Kiai Dipodrono. Ritual itu bertepatan dengan tradisi tahunan warga setempat "Nyadran", yang berdasarkan kalender Jawa mereka jalani setiap Hari Minggu Legi, Bulan Ruwah.
Festival tahunan yang juga ajang silaturahim antarseniman petani lima gunung itu momentum istimewa mereka. Selain itu, tentunya sebagai agenda hiburan bagi masyarakat desa-desa khususnya di sekitar lokasi festival.
Berbagai tamu berasal dari luar daerah setempat seperti kalangan seniman, pemerhati seni, dan budayawan telah mengonfirmasi kepada panitia Festival Lima Gunung XI untuk tidak melewatkan peristiwa kebudayaan gunung-gunung di Magelang.
Prosesi sesaji "Ngudang Roh Gunung" di Gunung Sumbing telah mereka jalani, pertanda festival seniman petani lima gunung tahun ini dimulai.