Siang itu, mereka yang berjumlah sekitar 30 orang tergabung dalam kelompok Orchide Papua Teater memainkan lakon "Suara Angganetha" di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur. Orchide yang berarti anggrek dipakai mereka sebagai simbol pelestarian budaya dan alam Papua.
Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, salah satu di antara tiga tempat pementasan lakon mereka. Dua tempat lainnya yakni di Salihara Jakarta (11-12 Mei 2012) dan Universitas Duta Wacana Yogyakarta, pada Rabu (16/5).
General Manajer PT TWCB Pujo Suwarno menyambut positif pemilihan Candi Borobudur sebagai tempat pementasan "Suara Angganetha" oleh para perempuan Papua itu, Selasa (15/5).
"Ini memberikan warna baru untuk Candi Borobudur. Ini pertama kali saudara-saudara kita dari Indonesia Timur pentas di Candi Borobudur. Tentunya membantu promosi Candi Borobudur menjadi lebih luas sebagai ikon pariwisata Indonesia," katanya.
Pementasan teater di Candi Borobudur oleh kelompok perempuan Papua itu tidak lepas dari peranan Lembaga Keadilan Perdamaian bagi Perempuan (LKPP) "Nur" Jakarta dengan ketua Dorothea Rosa Herliany.
Mereka yang terlibat dalam pementasan itu sebagian besar para perempuan ibu rumah tangga bahkan beberapa di antaranya sudah berusia nenek-nenek, sedangkan lainnya pegiat lembaga swadaya masyarakat dan aktivis gereja di Biak, Papua.
Hanya sejumlah laki-laki yang ikut dalam pementasan lakon tersebut untuk memainkan beberapa alat musik pengiring seperti tifa, gitar, bas gitar, alat musik tiup dari kerang ukuran besar, dan alat tradisional lainnya.
Para pelakon mengenakan pakaian adat Papua dengan torehan lukisan tubuh yang khas dan berbagai properti daerah setempat seperti anak panah dengan busur, tas anyaman, kain rumbai-rumbai, ikat kepala dari bulu, dan rajutan kerang untuk penghias kaki.
Di atas panggung ukuran kecil berproperti beberapa pelepah daun kelapa dan tatanan jerami bergalah bambu dengan latar belakang kemegahan Candi Borobudur itu, Yosina Rumbiak yang memerankan Angganetha melanjutkan dengan lantang penuturannya tentang Tanah Papua.
"Gendang suara aliran sungai yang dulu membuat rumput-rumput dan bunga-bunga liar tersenyum, kini menjadi alam yang mengerikan karena menampung isi perut gunung yang terkoyak akibat dinamit," katanya dalam pementasan dengan pimpinan produksi yang juga Ketua Orchide Papua Teater Agusthina Klorway dan sutradara Lena Simanjuntak-Mertes itu.
Selama pementasan berdurasi sekitar satu jam itu, mereka juga mengemas lakon tersebut dalam paduan gerak tarian adat Papua dan nyanyian berbahasa daerah setempat.
Wisatawan baik nusantara maupun mancanegara yang mengalir hendak naik ke Candi Borobudur, menyempatkan waktu sejenak untuk menyimak pementasan tersebut.
Mereka lainnya yang turut menyaksikan antara lain General Manajer PT TWCB Pujo Suwarno dengan para pejabat instansi itu, Koordinator Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) Umar Chusaeni, pengelola Galeri Unik dan Seni Borobudur (Gusbi) Siswantoro Hadi.
Selain itu, seniman patung dari Muntilan Cipto Purnomo, Direktur Utama Museum Haji Widayat Kota Mungkid Fajar Purnomosidi, dan sejumlah petinggi seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) seperti Riyadi, Ismanto, Pangadi, dan Endah Pertiwi.
"Ampuni aku, ampuni aku. Biarlah keadilan dan perdamaian mengalir bagaikan sungai di Tanah Papua. Anggrekku, o Orchide, Papuaku, sahabatku. Kau saksi setia sebagaimana cintaku pada rakyat Papua. Bila aku telah tiada, kau akan menjadi saksi zaman. Bungamu tumbuh dan mekar di hati rakyatku Papua, terutama di hati kaumku perempuan," demikian penggalan kalimat lain yang disuarakan pemeran Angganetha.
Angganetha, tokoh pejuang perempuan Papua pada zaman penjajahan Jepang. Konon, dia mengidap kusta dan dikucilkan ke Pulau Rani. Di pengasingan itu dia berdoa, memohon sembuh kepada Tuhan. Ternyata doanya terkabul. Setelah sembuh Angganetha menjadi perempuan pahlawan dan melawan penjajahan Jepang hingga mati dibunuh dengan dipenggal kepalanya.
"Kisah tokoh ini terkenal di kalangan perempuan Papua. Dia tokoh perempuan pada 1942 yang melawan penjajahan Jepang di Papua," kata Agusthina yang juga Ketua Yayasan Beatrik Biak, Papua itu.
Lakon teater "Suara Angganetha" bukan lagi mengeksplorasi kisah perjuangan perempuan Papua itu melawan penjajahan.
Akan tetapi, di panggung Taman Lumbini Candi Borobudur itu "Suara Angganetha" menuturkan kondisi alam Papua, berbagai aspek kehidupan masyarakat Papua saat ini seperti pendidikan, kesehatan, perekonomian, ketimpangan, dan kerinduan akan hadirnya perdamaian.
Pementasan itu juga menjadi wahana mereka untuk menyerukan tentang pelestarian alam dan hutan, penghormatan terhadap bumi ciptaan Tuhan, serta penghentian kekerasan dalam rumah tangga.
"Pentas 'Suara Angganetha' menjadi cara kami, perempuan Papua menyampaikan suara hati untuk pembangunan manusia Papua," kata Agusthina Klorway.