Kudus (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menggagas upaya melestarikan kerajinan caping kalo yang saat ini menjadi identitas Kota Kudus agar tidak punah dengan memasukkannya ke pelajaran muatan lokal.
"Apalagi di Kementerian Pendidikan dahulu ada istilah belajar kepada sang maestro. Saya kira ini menarik juga sehingga bisa diinisiasi di Kabupaten Kudus," kata Penjabat Bupati Kudus M. Hasan Chabibie ditemui di sela-sela gelar pameran lukisan potret khazanah budaya dan seni khas Kudus di Pendopo Kabupaten Kudus, Jumat.
Selain menampilkan karya seni lukis dan lainnya, juga dihadirkan dua perajin caping kalo yang usianya cukup tua dan hingga sekarang belum juga ada generasi penerus.
Hasan menambahkan bahwa kurikulum merdeka juga cukup fleksibel, sehingga nantinya perlu dikoordinasikan peluang dimasukkan ke dalam pelajaran muatan lokal. Setidaknya ketika ada pelajaran seni dengan menghadirkan langsung perajinnya ada siswa yang tertarik karena basis sumber daya manusia yang melimpah tentu di sekolah.
Ia mengakui belajar seni memang tidak seperti belajar di sekolah, melainkan dalam konteks seni memang harus ada yang mau nyantrik atau berguru kepada perajinnya.
Nantinya, kata dia, harus mengikuti sang maestro, sehingga secara pengetahuan bisa ditransfer, kemudian konteks persoalan bisa diceritakan, dan secara filosofis akhirnya melekat. Namun, membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Ia juga mengapresiasi dua perajin caping kalo yang siap menularkan ilmunya kepada siapapun yang mau belajar, karena proses pembuatan caping kalo tidak mudah dan butuh kesabaran tinggi.
Kedua perajin caping kalo dari Desa Gulang, Kecamatan Mejobo itu, bernama Rudipah dan Kamto, sama-sama usianya cukup tua, namun masih gesit membuat caping kalo yang cukup rumit.
Proses awal mempersiapkan serat bambu yang berukuran seperti benang hingga yang berukuran besar untuk dianyam bersama daun.
Semua proses tersebut dipraktikkan langsung di Pendapa Kabupaten Kudus disaksikan langsung Penjabat Bupati Kudus M. Hasan Chabibie.
Kamto mengakui dirinya merupakan generasi keempat dan kemungkinan setelahnya tidak ada penerusnya karena belum ada keluarganya yang mengikuti jejaknya.
"Saya juga diundang memberikan pelatihan kepada anggota karang taruna di Desa Gulang, namun hingga saat ini belum ada kelanjutannya. Memang ada yang bisa tetapi hasil anyamannya kurang sempurna karena butuh proses dengan waktu yang tidak singkat. Saya saja belajar sejak usia anak-anak," ujarnya.*
Baca juga: Nyalanesia ambil bagian peningkatan literasi sekolah terpadu di Solo