Magelang (ANTARA) - Kepala Unit Dalem Jayadipuran Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X Jateng-DIY Erna Purwaningsih mengatakan berbagai upaya untuk mengenalkan seni dan budaya tradisional disesuaikan dengan kebutuhan generasi muda pada zamannya.
"Dengan cara apa (mengenalkan budaya tradisional kepada generasi muda, red.), itulah yang kemudian harus disesuaikan dengan zamannya. Ketika harus seperti yang sudah baku, itu agak sulit juga. Jadi juga perlu kita mengerti apa kebutuhan dengan generasi muda, tapi tidak meninggalkan rohnya (budaya tradisional, red.)," katanya di Magelang, Minggu.
Ia mengatakan hal itu dalam rangkaian diskusi bertajuk Sejarah Kesenian Rakyat diselenggarakan Padepokan Wargo Budaya Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dengan dukungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui program Dana Keindonesiaan dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Ia mengemukakan bahwa kemajuan dan perkembangan zaman berpengaruh besar terhadap keberadaan kebudayaan tradisional.
Pewarisan kebudayaan tradisional dengan nilai-nilai di dalamnya, kata dia, langkah penting yang terus-menerus harus dilakukan agar kebudayaan bangsa tetap dikenal generasi muda.
"Inilah pentingnya untuk terus ada transfer 'knowledge' (pengetahuan), mewariskan dari generasi yang terdahulu kepada generasi muda," katanya.
Ia mengemukakan Indonesia dikenal kaya akan keunikan dan keragaman kebudayaan sehingga menjadi kebanggaan bangsa. Kebudayaan bangsa menjadi kekuatan Indonesia untuk ketahanan budaya di kancah internasional.
Ia menjelaskan tentang UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sebagai salah satu upaya pemerintah memberi penguatan terhadap pelestarian kebudayaan bangsa.
Ia mengemukakan pentingnya pengenalan kebudayaan tradisional kepada generasi muda agar mereka senang dan mencintai.
"Ketika sudah senang, baru kita berikan nilai-nilai apa sih yang ada di kesenian budaya itu. Budaya itu banyak nilai. (Nilai, red.) Itu untuk pembentukan karakter. Makanya penting budaya untuk pembentukan karakter," kata dia.
Ia mencontohkan tentang pengenalan seni karawitan kepada anak-anak, antara lain dari bunyi-bunyian gamelan, unsur-unsur perangkat gamelan yang beragam namun menghasilkan bunyi yang selaras, dan penghargaan terhadap nenek moyang bangsa.
"Anak-anak sudah kenal dulu dengan bunyi-bunyi (gamelan, red.), tapi di dalam situ kesenian karawitan itu banyak makna filosofi," katanya.
Narasumber kegiatan yang berlangsung di Sanggar Saujana Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang itu, budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut, Kapolres Magelang Kota AKBP Yolanda Evalyn Sebayang, pengajar Bahasa Jepang di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Yogyakarta Magelang Shuko Sastra Gending, dua komponis setempat Irta Amalia dan Ryan Ajayanto.
Rangkaian kegiatan juga ditandai dengan menembangkan sejumlah lagu tradisional Jawa secara bersama-sama oleh para peserta diskusi, pementasan tarian "Kipas Mega", musik kontemporer desa "Trunthung", serta penyajikan irama pengiring tarian rakyat "Kubrosiswa" yang oleh budayawan Sutanto Mendut dinilai berasal dari lagu rakyat Skotlandia, "Aung Lang Syne".
Tarian rakyat "Kubrosiswa" diciptakan warga sekitar Mendut, Kabupaten Magelang pada era 1960-an, sedangkan lagu "Aung Lang Syne" berasal dari puisi Skotlandia ditulis Robert Burns pada 1788.
"Rakyat dipengaruhi macam-macam, apa saja," kata Sutanto Mendut.