Semarang (ANTARA) - Gejolak ekonomi global menjadi tantangan baru yang harus dihadapi Indonesia seiring dengan terus melandainya kasus aktif COVID-19.
Di tingkat global, pertumbuhan ekonomi banyak negara mengalami penurunan atau stagnan yang diikuti dengan peningkatan inflasi.
Bank sentral di berbagai negara juga mulai menaikkan suku bunga.
Peningkatan inflasi di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa akibat kenaikan harga energi dan pangan serta kesulitan sistem logistik rantai pasok, antara lain, dipicu oleh perang Rusia-Ukraina serta kondisi geopolitik.
Adanya disrupsi pada sisi pasokan memicu kenaikan harga dan inflasi, selain pengetatan likuiditas di sejumlah negara.
Di Indonesia sendiri, pertumbuhan ekonomi mencapai angka 5,44 persen pada triwulan II-2002 dengan tren terus naik.
Inflasi yang juga ikut mengalami kenaikan masih dapat terkontrol dengan besaran masih di bawah 5 persen.
Pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,44 persen dengan tingkat inflasi yang masih terkendali merupakan kondisi yang harus disyukuri.
Menghadapi situasi global yang masih bergejolak tersebut, Indonesia tidak perlu ikut perlu ikut campur terlalu jauh di dalamnya, harus lebih fokus mengurus kepentingan nasional.
"Jangan ikut-ikutan jadi pengamat badai global yang terjadi. Urusan kita di sini," kata Kepala Otoritas Jasa Keuangan Mehendra Siregar dalam sebuah seminar.
Sesungguhnya kondisi Indonesia saat ini jauh lebih sehat dan prospektif dibanding saat puncak pandemi pada tahun lalu.
Situasi tersebut didukung pula dengan kondisi kinerja pasar modal, pasar uang, serta perbankan yang juga membaik.
Perbankan yang makin kuat terlihat dari kredit yang direstrukturisasi telah berkurang tajam. OJK mencatat sampai dengan Juni 2022, nilai outstanding restrukturisasi kredit sebesar Rp576,17 triliun, menurut dibanding posisi Mei 2020 sebesar Rp596,17 triliun.
Begitu pula dengan jumlah debitur yang mendapatkan fasilitas restrukturisasi COVID-19, dari 3,13 juta debitur pada Mei 2022, berkurang menjadi 2,99 juta debitur pada Juni 2022.
Persentase kredit bermasalah (non-performing loan-NPL) juga dilaporkan masih dalam ambang aman, di bawah 5 persen.
Efisiensi pembiayaan pemerintah yang didukung kinerja eksternal yang baik serta neraca perdagangan yang selalu surplus menjadi modal Indonesia menghadapi krisis ekonomi global.
Neraca perdagangan Indonesia pada semester I-2022 (Januari-Juni) juga mencatat kinerja membanggakan, surplus 24,89 miliar dolar AS, tertinggi sepanjang sejarah.
Selain itu, mendorong konsumsi dalam negeri serta menguatkan ekonomi daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, juga menjadi kekuatan dalam menghadapi badai dunia.
Peran APBN
Berbagai kebijakan fiskal yang telah disiapkan tentunya tidak bisa bekerja sendiri sehingga harus didukung bersama yang lain.
Kegiatan ekonomi yang mulai pulih pascapandemi harus dibayar dengan ikut meningkatnya konsumsi energi. Oleh karena itu, APBN berusaha menjaga stabilitas inflasi melalui alokasi anggaran untuk BBM bersubsidi, agar inflasi tetap terkendali dan daya beli masyarakat terjaga.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menggarisbawahi pentingnya menjaga momentum pemulihan ekonomi ini, agar bisa berlanjut selama mungkin.
Alokasi anggaran subsidi BBM telah ditambah dari sebelumnya Rp152 triliun menjadi Rp502 triliun.
Peningkatan alokasi hingga tiga kali lipat lebih itu bertujuan agar harga BBM yang seharusnya ikut naik saat harga minyak internasional ikut naik, tidak naik terlalu cepat.
Pemerintah sendiri sedang menghitung kemampuan alokasi subsidi BBM tersebut mengingat volume konsumsi naik pesat.
Karena harga yang stabil tersebut maka pemulihan ekonomi juga berjalan stabil.
Kerja sama antardaerah
Mendorong konsumsi dalam negeri serta potensi kekuatan ekonomi di daerah menjadi modal menghadapi badai perekonomian dunia.
Solusi lain untuk mengendalikan inflasi yakni melalui kerja sama antardaerah. Dunia saat ini memang sedang mengalami risiko stagnasi. Perlambatan ekonomi serta stagnasi yang disertai dengan inflasi tinggi.
Oleh karena itu dalam upaya pengendalian harga perlu dilakukan kebijakan yang back to basic.
Dalam bidang ketersediaan pangan, khususnya beras, produksi secara nasional saat ini lebih dari cukup. Indonesia dalam 4 tahun terakhir ini berhasil surplus beras sehingga tidak lagi mengimpor kebutuhan pokok tersebut, kecuali beras super-premium untuk konsumsi restoran-restoran kelas atas.
Namun, terdapat surplus dan defisit pangan di dua wilayah yang berbeda.
Oleh karena itu dibutuhkan kerja sama antardaerah untuk mengatasi kebutuhan pangan tersebut.
Strategi tersebut dinilai juga manjur untuk membangun struktur pasar yang lebih kokoh dan dinamis agar tidak mudah terdampak dari gejolak eksternal.
Dalam menghadapi gonjang-ganjing situasi global yang tidak mungkin dihindari tersebut, memerlukan daya tahan untuk menguatkan pijakan dalam menghadapinya.
Optimisme dan kewaspadaan merupakan dua kata kunci yang menjadi kombinasi untuk menghadapi kondisi tidak pasti, khususnya menyongsong tahun 2023.
Oleh karena itu, perlu segenap upaya dan daya untuk selalu memelihara optimisme pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19.
Pada waktu yang sama, waspadai pula risiko tinggi ketidakpastian yang terjadi saat ini dan pada masa yang akan datang.
Pertumbuhan ekonomi tahun ini diharapkan tetap berada di atas 5 persen, sedangkan tingkat inflasi tetap terjaga pada kisaran 4,5 sampai 4,8 persen hingga akhir tahun.