Magelang, Jateng (ANTARA) - Sejumlah seniman seniwati dengan penuh semangat dan kompak melakukan gerakan tari mengikuti irama gamelan yang mengiri mereka di Marga Utama Candi Borobudur.
Sajian seni tari oleh 108 penari itu berasal dari tiga daerah di sekitar Borobudur, yakni Kabupaten Magelang, Kabupaten Purworejo di Jawa Tengah dan Kabupaten Kulon Progo, yang masuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Para seniman itu menari Soledo Gelang Projo, yang merupakan kolaborasi tiga tarian dari tiga kabupaten tersebut, yakni soreng, lengger tapeng, dan dolalak.
Tarian yang digagas Badan Otorita Borobudur (BOB) ini diresmikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno.
Tari Soledo Gelang Projo sebagai upaya menggeliatkan seni budaya untuk pemersatu dan simbol kekompakan di tiga kabupaten dalam dua provinsi, yakni Jawa Tengah dan DIY.
Menparekraf Sandiaga Uno menyampaikan kekompakan dari tiga kabupaten ini adalah bentuk sinergi yang patut dicontoh yang merupakan implementasi gerak bersama, stakeholder dan berkolaborasi dalam meningkatkan atraksi daya tarik wisata di destinasi super prioritas Borobudur Jateng dan DIY.
"Tarian ini diharapkan mampu menambah keragaman atraksi dan daya tarik untuk kemajuan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif di kawasan Perbukitan Menoreh dan menunjukkan keharmonisan budaya di kawasan Borobudur dan sekitarnya," katanya.
Menurut dia hal penting dalam pengembangan pariwisata ke depan adalah menjaga kepercayaan wisatawan melalui pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan secara budaya dan lingkungan sehingga berdampak pada tingkat kunjungan baik nusantara maupun mancanegara di masa yang akan datang.
Menparekraf berharap tari Soledo Gelang Projo menjadi atraksi yang diselenggarakan secara rutin sehingga menimbulkan efek berganda bagi para pelaku seni budaya dan industri parekraf.
Dirut Badan Otorita Borobudur (BOB) Indah Juanita meminta karya tari Soledo Gelang Projo nantinya bisa diajarkan kepada anak-anak sekolah maupun penari profesional supaya bisa menjadi tari penyambutan atau tari kolosal bagi wisatawan yang akan masuk.
Seperti diketahui ada dua infrastruktur besar di kawasan Borobudur, yakni tol dan Yogyakarta International Airport di mana dua infrastruktur tersebut mempunyai kapasitas yang cukup besar hampir 40 juta orang per tahun sehingga bisa dibayangkan satu bulan itu bisa hampir empat juta orang yang akan masuk di wilayah DIY dan Jateng.
Menurut dia hal ini tentu harus bisa dimanfaatkan, diserap semuanya dan harus bisa memproduksi sesuatu yang baru.
Salah satu karya ini sesuatu yang baru yang bisa dikumandangkan kepada dunia internasional bahwa di sini selalu ada yang baru. Datang ke Yogyakarta, Magelang dan sekitarnya ada yang baru, ada titik-titik baru yang bisa dipasarkan dengan sebaik mungkin sehingga kedatangan tamu dari mancanegara maupun domestik bisa memberikan dampak ganda kepada masyarakat di wilayah DIY dan Jateng.
Identitas baru
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kulon Progo Joko Mursito menyampaikan kegiatan ini lebih semacam mengemas lokalitas menjadi identitas. Jadi ada identitas baru di wilayah Magelang, Kulon Progo dan Purworejo.
Sejak awal ketiga daerah sudah sepakat tidak boleh ada yang mengklaim tarian ini sebagai karya seseorang atau karya kelompok tertentu. Jadi Soledo Gelang Projo ini karya kolektif dengan melibatkan seniman seniwati di tiga kabupaten.
Guna menguatkan karya tersebut menjadi berkualitas maka didatangkan tiga kurator, yakni kurator gerak tari, kurator musik dan kurator rias busana.
Joko menuturkan di Kulon Progo pada 2013 ada surat keputusan bupati yang menetapkan kesenian unggulan, Lengger Tapeng ini merupakan kesenian unggulan di Kecamatan Samigaluh yang berbatasan dengan Magelang dan Purworejo.
Nama soledo ini mencerminkan keadilan dan merata yang diambil dari suku kata terdepan tarian tiga daerah, yakni so dari soreng, le itu lengger tapeng dan do itu dolalak. Keadilan itu termasuk unsur tarinya harus imbang, kemudian musiknya juga imbang.
Melalui soledo ini akan muncul identitas baru, jadi geraknya baru hasil adopsi dari tiga karya budaya itu, gamelan atau musiknya juga khusus diciptakan untuk Soledo Gelang Projo.
Tari soledo ini kostumnya belum pernah ada sebelumnya, alat musiknya pun belum ada yang komposisi seperti itu. Alat musik perkusi yang keras, kemudian posisinya tidak duduk di bawah, secara etika nabuh gamelan itu memang di bawah, tetapi karena ini gamelannya sudah bukan gamelan pakem maka penabuhnya berdiri dan duduk di kursi.
Hal ini mengandung maksud kalau tarian ini menjadi tari penyambutan tamu di wilayah tiga kabupaten maka jika suatu ketika ada kunjungan menteri sedangkan tempatnya tidak ada yang representatif, tidak ada panggungnya, tidak ada sound system dan hanya tersedia trotoar maka tetap bisa main karena alat musiknya sudah keras.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kulon Progo, DIY menyampaikan juga tidak perlu panggung karena penabuh gamelan sudah berdiri dan duduk di kursi pemusiknya.
Secara teknik, musik yang untuk mengiringi tarian ini tanpa tarian pun sudah bisa dinikmati. Hal ini merupakan ciri karya yang matang atau berkualitas.
Menurut dia salah satu upaya untuk menumbuhkan rasa kebanggaan daerah itu harus ada sesuatu yang unik dan berbeda dengan yang lain, belum dimilki daerah lain sehingga menimbulkan kebanggaan.
Kepala Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Magelang Slamet Ahmad Husein menuturkan Kabupaten Megelang memilih tari soreng untuk dipadukan dengan dua tarian daerah yang lain karena tari soreng berkembang baik setelah tampil di Istana Negara tahun 2019.
Soreng ini semula merupakan tari keprajuritan, namun sejak era 1960an kemudian menjadi sebuah tari keprajuritan ditambah semacam sendratari sehingga ada cerita di dalamnya.
Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Purworejo Stepanus Aan Isa Nugroho menuturkan Purworejo menyumbangkan dalam tari Soledo ini adalah seni dolalak yang merupakan salah satu kekayaan di Purworejo sebagai warisan budaya tak benda.
Dolalak ini cukup tenar di Purworejo bahkan tahun 1930 pernah ada festival besar dolalak di Alun-Alun Purworejo yang tercatat dalam surat kabar Belanda.
Menurut dia melalui Soledo ini merupakan ikhtiar bersama tiga kabupaten untuk menyatukan spirit membangun bersama kawasan Borobudur.
Semangat tersebut yang ingin dibangun sehingga perbedaan politik, perbedaan sosial, dan perbedaan lainnya itu bisa dileburkan menjadi satu melalui semangat lewat budaya, karena budaya itu akan mengakar dan tidak lekang oleh waktu.
Keunikan inilah yang dimunculkan dalam sebuah karya budaya dan harapannya nanti tidak hanya menggaung di Borobudur saja tetapi sampai nasional dan internasional.