Purwokerto (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Indaru Setyo Nurprojo menilai wacana penundaan pemilu lebih memungkinkan dilakukan daripada wacana perpanjangan masa jabatan presiden.
"Saya pikir ini momentum bahwa ketika partai politik tidak punya alasan apa pun untuk kemudian mendorong untuk bergeser ke arah apa yang diinginkan sekarang itu kan alasannya enggak ada. Alasan yang paling rasional adalah pandemi, pemulihan ekonomi, dan sebagainya," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.
Akan tetapi, kata dia, satu hal yang menjadi penting adalah wacana tentang perpanjangan masa jabatan presiden karena memiliki risiko yang cukup besar, yakni harus mengubah aturan main yang lebih tinggi.
Kendati demikian, dia mengakui wacana perpanjangan masa jabatan presiden sangat bisa dilakukan ketika semua partai politik sepakat terhadap hal itu.
"Nah, ada dua momentum yang mendorong, satu situasi COVID-19 seperti ini, yang kedua juga konsolidasi partai ketika masa seperti sekarang, itu juga menjadi sesuatu yang sangat repot ya, butuh energi yang cukup besar. Belum lagi partai-partai baru yang juga membutuhkan ruang yang lebih luas kaitannya dengan persiapan mereka," kata Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Ia mengaku melihat permasalahan tersebut nantinya akan bergulir menjadi kesepakatan bersama dengan segala kompensasi politik yang ingin mereka capai.
"Yang jelas, kesiapan-kesiapan proses partai itu menjadi siap. Tapi menurut saya sih, saya lebih cenderung kekuatan untuk menunda (pemilu) iya, wacana menunda iya, tetapi untuk tiga masa jabatan (perpanjangan masa jabatan presiden, red.) ini kok agak alot ya," tuturnya.
Baca juga: SG dukung Ganjar Pranowo maju Pilpres 20242
Menurut dia, perpanjangan masa jabatan presiden berkaitan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga butuh dinamika bukan hanya dengan para fraksi dan DPD yang ada di DPR/MPR RI juga pergulatan dengan eksternal berupa kelompok-kelompok sipil lainnya.
Menurut dia, hal itu karena masa jabatan presiden sudah disepakati dua periode sebagai upaya mengurangi model kepemimpinan semasa Presiden Soeharto.
"Negosiasi yang sangat mungkin dilakukan adalah tentang penundaan pemilu karena kaitannya dengan kondisi ekonomi, kondisi COVID-19 sekarang, dan sebagainya, mungkin itu akan lebih mencuat dan lebih diterima. Kalau soal perpanjangan masa jabatan, saya pikir perdebatannya akan sangat rumit," ujarnya.
Terkait dengan masa jabatan presiden jika terjadi penundaan pemilu, Indaru mengatakan hal itu sesuai dengan mekanisme yang telah diatur dalam UUD 1945, khususnya Pasal 7 yang menyebutkan "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan".
Menurut dia, untuk mengisi kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden sebenarnya dapat dilakukan dengan membentuk triumvirat menteri sebagai pelaksana tugas kepresidenan yang terdiri atas Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan.
Selain itu, kata dia, dapat juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1957 tentang Pejabat yang Menjalankan Pekerjaan Jabatan Presiden, Jika Presiden Mangkat, Berhenti atau Berhalangan, Sedang Wakil Presiden Tidak Ada atau Berhalangan.
Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1957 disebutkan "Dalam hal Wakil Presiden tidak ada, maka jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajiban nya dalam masa jabatannya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan pekerjaan jabatan Presiden hingga ada Presiden".
"Akan tetapi permasalahannya menteri adalah pembantu presiden yang ditunjuk untuk membantu pekerjaannya hingga masa jabatannya berakhir, sedangkan kekosongan jabatan presiden itu karena adanya penundaan pemilu. Kita belum pernah mengalami ini, sehingga para ahli hukum semestinya melihat konteks tata negara ketika tidak ada presiden karena adanya penundaan pemilu, siapa yang kemudian memegang tampuk kekuasaan," demikian Indaru.
Baca juga: Ganjar enggan komentari elektabilitasnya pada Pilpres 2024