AJI: Kekerasan terhadap jurnalis melesat hingga capai 90 kasus
Jakarta (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyebutkan kekerasan terhadap jurnalis sepanjang setahun terakhir atau periode Mei 2020 sampai Mei 2021 meningkat hingga mencapai 90 kasus.
"Dari periode 2020-2021, catatan kami ada 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Ini meningkat jauh dari periode sebelumnya, yang sebanyak 57 kasus," kata Ketua Divisi Advokasi AJI Erick Tanjung dalam "Peluncuran Catatan AJI atas Situasi Kebebasan Pers Indonesia 2021" yang dilaksanakan secara daring, di Jakarta, Senin.
Pelaku kekerasan terhadap jurnalis ini beragam, mulai dari jaksa, advokat, pejabat, polisi, hingga satpol PP atau aparat pemerintah daerah.
"Pelaku kekerasan beragam, mulai dari advokat, jaksa, pejabat, polisi, satpol PP/aparat pemda, lainnya tidak dikenal," ucap Erick.
Beberapa kasus kekerasan yang jadi perhatian AJI setahun terakhir ini adalah kekerasan yang dialami jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi.
Baca juga: AJI Kediri minta penegakan hukum tak tebang pilih
"Beliau dipukuli, penganiayaan, dan mendapatkan intimidasi saat melakukan peliputan untuk konfirmasi kepada salah satu mantan pejabat di Kemenkeu. Saat ini sudah naik ke tahap penyidikan di Polda Jatim, namun belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka," ungkap Erick.
AJI pun sudah melaporkan kasus penganiyaan terhadap Nurhadi itu kepada Propam Mabes Polri lantaran pelaku penganiayaan itu diduga dari aparat kepolisian terkait pelanggaran kode etik.
Kemudian, AJI juga menyoroti vonis terhadap jurnalis Banjarhits.id/Kumparan di Kalimantan Selatan, Diananta Sumedi.
Baca juga: AJI: Omnibus Law rugikan pekerja serta ancam demokratisasi penyiaran
Dalam kesempatan itu, Erick menambahkan, indeks kebebasan pers di Indonesia masih dalam zona merah atau kondisi buruk.
Hal itu berdasarkan hasil laporan Reporters Without Borders (RSF) tahun 2021. Disebutkan, indeks kebebasan pers di Indonesia berada di rangking 113 dari 180 negara.
"Meski naik enam tingkat, namun RSF masih menempatkan kebebasan pers di Indonesia dalam zona merah atau buruk," ujar Erick.
"Dari periode 2020-2021, catatan kami ada 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Ini meningkat jauh dari periode sebelumnya, yang sebanyak 57 kasus," kata Ketua Divisi Advokasi AJI Erick Tanjung dalam "Peluncuran Catatan AJI atas Situasi Kebebasan Pers Indonesia 2021" yang dilaksanakan secara daring, di Jakarta, Senin.
Pelaku kekerasan terhadap jurnalis ini beragam, mulai dari jaksa, advokat, pejabat, polisi, hingga satpol PP atau aparat pemerintah daerah.
"Pelaku kekerasan beragam, mulai dari advokat, jaksa, pejabat, polisi, satpol PP/aparat pemda, lainnya tidak dikenal," ucap Erick.
Beberapa kasus kekerasan yang jadi perhatian AJI setahun terakhir ini adalah kekerasan yang dialami jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi.
Baca juga: AJI Kediri minta penegakan hukum tak tebang pilih
"Beliau dipukuli, penganiayaan, dan mendapatkan intimidasi saat melakukan peliputan untuk konfirmasi kepada salah satu mantan pejabat di Kemenkeu. Saat ini sudah naik ke tahap penyidikan di Polda Jatim, namun belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka," ungkap Erick.
AJI pun sudah melaporkan kasus penganiyaan terhadap Nurhadi itu kepada Propam Mabes Polri lantaran pelaku penganiayaan itu diduga dari aparat kepolisian terkait pelanggaran kode etik.
Kemudian, AJI juga menyoroti vonis terhadap jurnalis Banjarhits.id/Kumparan di Kalimantan Selatan, Diananta Sumedi.
Baca juga: AJI: Omnibus Law rugikan pekerja serta ancam demokratisasi penyiaran
Dalam kesempatan itu, Erick menambahkan, indeks kebebasan pers di Indonesia masih dalam zona merah atau kondisi buruk.
Hal itu berdasarkan hasil laporan Reporters Without Borders (RSF) tahun 2021. Disebutkan, indeks kebebasan pers di Indonesia berada di rangking 113 dari 180 negara.
"Meski naik enam tingkat, namun RSF masih menempatkan kebebasan pers di Indonesia dalam zona merah atau buruk," ujar Erick.