Di Kudus, buruh pasang 40 spanduk penolakan terhadap UU Cipta Kerja
Kudus (ANTARA) - Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, tidak menggelar aksi mogok kerja, melainkan cukup memasang spanduk penolakan Omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja di 40 titik.
"Sesuai kesepakatan bersama, kami memprioritaskan untuk menjaga kondisi Kabupaten Kudus tetap kondusif sehingga tidak perlu menggelar aksi," kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) KSPSI Kabupaten Kudus Andreas Hua di Kudus, Selasa.
Penolakan RUU Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang kini disahkan menjadi UU, kata dia, tidak perlu dilakukan dengan cara mogok atau unjuk rasa, melainkan dengan membuat spanduk yang bertuliskan "DPC KSPSI Kudus menolak RUU Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan".
Ia mengungkapkan penolakan dilakukan lantaran regulasi tersebut dianggap semakin melemahkan posisi pekerja dan hanya menguntungkan investor.
Dirinya menyebut kultur pekerja di Kota Keretek tidak terlalu sering menggunakan cara-cara tersebut, namun jika ada individu pekerja yang ingin melakukannya tidak melarang.
Sebelumnya, dia mengakui, mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak, seperti Ketua Apindo Kudus Bambang Sumadiyono dan Pelaksana tugas Kepala Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, Koperasi UKM Kudus Marti serta Kapolres Kudus maupun Komandan Kodim 0722 Kudus terkait menjaga situasi wilayah tetap kondusif.
Menurut dia di dalam RUU Cipta Kerja tersebut terdapat beberapa pasal yang dianggap bakal merugikan posisi tawar pekerja.
Di antaranya, lanjut dia, upah minimum dihilangkan digantikan kesepakatan pekerja dan pemberi kerja.
Kemudian pemberian upah yang didasarkan atas jam kerja, serta pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT) tidak ada batas waktunya sehingga pekerja kontrak tidak punya peluang menjadi pekerja tetap, serta di dalam aturan terbaru tidak menyebut teknis pekerja tertentu, seperti sebelumnya hanya untuk pengamanan dan kebersihan.
Pasal lain yang dipermasalahkan, yakni soal dihilangkannya sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar kesepakatan kerja serta nilai pesangon yang semakin kecil.
"Jika sebelumnya pesangon diberikan 32,5 kali gaji, maka sesuai aturan yang baru hanya 15 kali gaji," ujarnya.
RUU Cipta Kerja Omnibus Law telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada Senin (5/10).
"Sesuai kesepakatan bersama, kami memprioritaskan untuk menjaga kondisi Kabupaten Kudus tetap kondusif sehingga tidak perlu menggelar aksi," kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) KSPSI Kabupaten Kudus Andreas Hua di Kudus, Selasa.
Penolakan RUU Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang kini disahkan menjadi UU, kata dia, tidak perlu dilakukan dengan cara mogok atau unjuk rasa, melainkan dengan membuat spanduk yang bertuliskan "DPC KSPSI Kudus menolak RUU Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan".
Ia mengungkapkan penolakan dilakukan lantaran regulasi tersebut dianggap semakin melemahkan posisi pekerja dan hanya menguntungkan investor.
Dirinya menyebut kultur pekerja di Kota Keretek tidak terlalu sering menggunakan cara-cara tersebut, namun jika ada individu pekerja yang ingin melakukannya tidak melarang.
Sebelumnya, dia mengakui, mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak, seperti Ketua Apindo Kudus Bambang Sumadiyono dan Pelaksana tugas Kepala Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, Koperasi UKM Kudus Marti serta Kapolres Kudus maupun Komandan Kodim 0722 Kudus terkait menjaga situasi wilayah tetap kondusif.
Menurut dia di dalam RUU Cipta Kerja tersebut terdapat beberapa pasal yang dianggap bakal merugikan posisi tawar pekerja.
Di antaranya, lanjut dia, upah minimum dihilangkan digantikan kesepakatan pekerja dan pemberi kerja.
Kemudian pemberian upah yang didasarkan atas jam kerja, serta pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT) tidak ada batas waktunya sehingga pekerja kontrak tidak punya peluang menjadi pekerja tetap, serta di dalam aturan terbaru tidak menyebut teknis pekerja tertentu, seperti sebelumnya hanya untuk pengamanan dan kebersihan.
Pasal lain yang dipermasalahkan, yakni soal dihilangkannya sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar kesepakatan kerja serta nilai pesangon yang semakin kecil.
"Jika sebelumnya pesangon diberikan 32,5 kali gaji, maka sesuai aturan yang baru hanya 15 kali gaji," ujarnya.
RUU Cipta Kerja Omnibus Law telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada Senin (5/10).