Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia Dr. Abdillah Ahsan mengatakan agar tujuan pengendalian konsumsi rokok dan peningkatan penerimaan negara efektif maka kenaikan tertinggi cukai rokok harus dikenakan kepada jenis rokok yang memiliki pangsa pasar terbesar, yaitu sigaret kretek mesin (SKM).
Dia mengatakan SKM golongan 1 memiliki nilai produksi di atas Rp3 miliar batang per tahun, dengan pangsa pasar SKM 1 sebesar 63 persen.
"Jika pemerintah ingin menurunkan konsumsi rokok di kalangan anak-anak di mana produk SKM 1 populer di kalangan mereka, maka pemerintah harus menaikkan tarif cukai dan harga eceran SKM 1 tertinggi di antara yang lainnya," kata dia di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Tarif cukai rokok naik 23 persen, harga eceran melonjak 35 persen
Selain kretek mesin, sigaret putih mesin juga harus dinaikkan tarif cukainya dengan sama tingginya karena mereka menggunakan mesin yang padat modal, bukan berdasarkan padat karya.
"Untuk sigaret kretek tangan (SKT) yang menggunakan padat karya, saya menilai wajar diberikan kenaikan tarif cukai yang lebih rendah," kata dia.
Harga rokok per bungkus saat ini antara 5 ribu - 25 ribu, menurut dia harga itu masih jauh dari harga yang dianggap perokok akan bisa menurunkan konsumsi atau menghentikan kebiasaan merokoknya.
Baca juga: Cukai melonjak, saham perusahaan rokok diwarnai ketidakpastian
Survei dari PKJS UI menunjukkan bahwa harga yang dapat menurunkan konsumsi rokok adalah Rp60-70 ribu per bungkus.
Bahkan harga rokok termahal pun masih jauh dari harga tersebut. Setelah kenaikan cukai rokok, dia memprediksikan harga termahal setelah kenaikan cukai ini akan berada di kisaran Rp35 rb per bungkus.
" Ini masih setengah dari harga yang menurunkan konsumsi. Kami berharap pemerintah fokus pada harga rokok SKM 1 agar mendekati Rp60 ribu per bungkus. Kami yakin Presiden Jokowi melindungi anak-anak dari terkaman industri rokok," kata dia.