Ekspor Mebel Terbentur SVLK, Banyak Kontainer Tertahan
Solo, ANTARA JATENG - Komunitas Industri Mebel dan Kerajinan Kayu Soloraya (Kimkas) menyatakan hingga saat ini sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) masih menjadi kendala ekspor mebel di dalam negeri.
"Mengenai SVLK ini secara kasuistis masih banyak yang mengalami kontainer ditahan, tidak bisa keluar," kata Ketua Kimkas Biyp Mukhsen di Solo, Rabu.
Kasus yang banyak terjadi, dikatakannya, ada pembeli yang memesan mebel sebanyak 100 produk, selanjutnya produsen mencatat dalam dokumen SVLK sebanyak 100 produk. Dalam prosesnya ternyata produsen tidak mampu memenuhi 100 produk dan hanya 90 produk yang bisa dikirimkan.
"Di sini ada perbedaan antara realita pengiriman dengan data yang tertulis di dokumen SVLK. Kalau ini terjadi maka produk tidak bisa dikirimkan keluar," katanya.
Ia menilai hal itu tidak hanya merugikan produsen tetapi juga konsumen. Yang banyak terjadi adalah "buyer" mengajukan komplain terhadap produsen karena adanya keterlambatan barang sampai ke negara tujuan.
Mengenai penerapan SVLK sendiri, ia menganggap pemerintah kurang jeli. Pada saat Unieropa menerapkan peraturan SVLK, Indonesia adalah negara yang langsung menyanggupinya.
"Ternyata beberapa negara produsen yang lain tidak mau. Misalnya Tiongkok dan Vietnam, sampai sekarang mereka masih bebas ekspor produk mebel ke Eropa. Dan ternyata Eropa juga masih menerima produk dari negara-negara ini, padahal awalnya kalau tidak ada SVLK tidak bisa masuk, nyatanya peraturan itu tidak direalisasikan," katanya.
Selain merepotkan dari sisi prosedur, dikatakannya, biaya untuk pengurusan SVLK tersebut juga masih relatif besar. Biyp mengatakan untuk bisa mendapatkan SVLK, perusahaan harus membayar sebesar Rp25 juta/tahun.
"Kalau tidak membayar maka SVLK tidak keluar. Kalau saja biayanya hanya sekitar Rp2-3 juta masih terjangkau," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya berharap agar pemerintah bisa memberikan keringanan terkait SVLK tersebut agar industri mebel di dalam negeri dapat berkembang signifikan.
"Mengenai SVLK ini secara kasuistis masih banyak yang mengalami kontainer ditahan, tidak bisa keluar," kata Ketua Kimkas Biyp Mukhsen di Solo, Rabu.
Kasus yang banyak terjadi, dikatakannya, ada pembeli yang memesan mebel sebanyak 100 produk, selanjutnya produsen mencatat dalam dokumen SVLK sebanyak 100 produk. Dalam prosesnya ternyata produsen tidak mampu memenuhi 100 produk dan hanya 90 produk yang bisa dikirimkan.
"Di sini ada perbedaan antara realita pengiriman dengan data yang tertulis di dokumen SVLK. Kalau ini terjadi maka produk tidak bisa dikirimkan keluar," katanya.
Ia menilai hal itu tidak hanya merugikan produsen tetapi juga konsumen. Yang banyak terjadi adalah "buyer" mengajukan komplain terhadap produsen karena adanya keterlambatan barang sampai ke negara tujuan.
Mengenai penerapan SVLK sendiri, ia menganggap pemerintah kurang jeli. Pada saat Unieropa menerapkan peraturan SVLK, Indonesia adalah negara yang langsung menyanggupinya.
"Ternyata beberapa negara produsen yang lain tidak mau. Misalnya Tiongkok dan Vietnam, sampai sekarang mereka masih bebas ekspor produk mebel ke Eropa. Dan ternyata Eropa juga masih menerima produk dari negara-negara ini, padahal awalnya kalau tidak ada SVLK tidak bisa masuk, nyatanya peraturan itu tidak direalisasikan," katanya.
Selain merepotkan dari sisi prosedur, dikatakannya, biaya untuk pengurusan SVLK tersebut juga masih relatif besar. Biyp mengatakan untuk bisa mendapatkan SVLK, perusahaan harus membayar sebesar Rp25 juta/tahun.
"Kalau tidak membayar maka SVLK tidak keluar. Kalau saja biayanya hanya sekitar Rp2-3 juta masih terjangkau," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya berharap agar pemerintah bisa memberikan keringanan terkait SVLK tersebut agar industri mebel di dalam negeri dapat berkembang signifikan.