Sangat jarang petani garam bisa menikmati hasil seperti sekarang ini. Di tengah kekurangan pasokan di pasar domestik, harga garam melambung. Dari Rp500-Rp800/kg menjadi Rp3.000-Rp4.000/kg atau mengalami kenaikan hingga delapan kali lipat.
Ihwal harga garam, selama ini konsumen rumah tangga nyaris tidak pernah protes. Meski harga di tingkat petani di bawah Rp1.000/kg dan ketika sudah dikemas, beryodium, dan diberi merek lalu dibanderol dengan harga Rp17.000/kg, konsumen rumah tangga bisa menerima. Itu disebabkan pengeluaran rupiah untuk belanja garam memang tidak seberapa.
Sebuah usaha akan lestari bila insentif yang diterima oleh petani memang layak. Apakah dengan harga garam Rp500-Rp800/kg selama ini cukup layak? Sangat mungkin masih kurang. Buktinya hanya sedikit orang yang mau menekuni usaha tersebut.
Sebaliknya, ketika harga garam melambung belakangan ini, sejumlah nelayan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, banting setir menjadi petani garam. Itu membuktikan insentif yang memadai sehingga orang mau alih profesi.
Eksodus seperti ini tentu lebih didasari oleh adanya imbalan atau keuntungan yang diperoleh dari budi daya garam dibandingkan mencari ikan di laut.
Kebijakan pemerintah atas komoditas strategis, misalnya, sembako, selama ini adalah mengambil jalan tengah. Artinya, harga komoditas tersebut tidak boleh terlalu mahal agar tetap terjangkau masyarakat banyak. Dalam kasus beras, misalnya, model pengendaliannya ada pada subsidi input, melalui pupuk, benih, dan lainnya. Begitu pula gula pasir. Intinya, petani harus mendapatkan margin keuntungan layak, namun harga komoditas tersebut harus terjangkau banyak orang.
Mungkin tata niaga garam tidak perlu serumit itu. Namun, pemerintah harus bisa menjamin bahwa petani garam memperoleh "margin" yang layak disertai jaminan produksinya diserap pasar.
Melambungnya harga garam memang lebih banyak diderita oleh industri pengolahan, misalnya, pengasinan ikan, telur asin, serta pengolahan makanan dan minuman yang memang menggunakan banyak garam.Karena, ini menyebabkan biaya produksi naik.
Sebagai negara maritim, Indonesia seharusnya berlimpah ruah dengan garam sehingga tidak sulit memenuhi kebutuhan sekitar 4,3 juta ton/tahun. Apalagi dari sisi produksi tidak membutuhkan teknologi canggih. Bahkan, sebagian besar produksi dihasilkan dari tambak rakyat.
Namun, karena cuaca berpengaruh besar terhadap produksi garam, pada musim kemarau saat ini yang masih diwarnai hujan di sejumlah daerah, menyebabkan produksi garam rakyat menurun.
Akhirnya, pemerintah menyetujui mengimpor garam sebanyak 226.124 ton pada 2017.
Kita berharap masuknya garam impor tidak sampai menyebabkan harga garam anjlok, namun hanya mengoreksi harga garam yang saat ini dinilai sudah kelewat tinggi.
Petani garam tentu menginginkan insentif yang memadai agar mereka tetap semangat berbudi daya garam. Tanpa imbalan atau keuntungan yang layak, sektor ini dikhawatirkan semakin ditinggalkan.
Oleh karena itu, masuknya garam impor harus dipastikan tidak akan sampai menyebabkan pasar kelebihan pasokan sehingga memaksa harga garam anjlok.
Betapa pun, negara memiliki kewajiban untuk menyelamatkan petani garam dengan tetap memberi insentif yang layak kepada petani. ***