Penyair Sutardji: NKRI Adalah Harga Mati dan Hidup
.Semarang, ANTARA JATENG - Penyair Sutardji Calzoum Bachri menilai bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan hanya "harga mati", tetapi sekaligus "harga hidup" yang harus dipegang teguh oleh rakyat Indonesia
"NKRI bukan hanya harga mati, tetapi juga harga hidup. Kita yang harus mengisinya dengan kreativitas-kreativitas agar terus hidup," katanya, saat tampil pada ajang Sastra Pelataran Semarang, di Kantor PWI Jawa Tengah, Semarang, Jumat (5/5) malam.
Indonesia, kata penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941 itu, dulu dibangun dengan kreativitas-kreativitas, seperti Sumpah Pemuda pada 1928 meski pada saat itu Indonesia belum terbentuk sebagai negara kesatuan.
"Dulu, mulanya Indonesia dibuat dengan kreativitas, bukan dengan memasang dulu pancang dari Sabang sampai Merauke," kata penyair berjuluk Presiden Penyair Indonesia itu.
Bangsa, tegas dia, akan menjadi hidup kalau ada kreativitas-kreativitas di dalamnya di berbagai bidang, termasuk seni budaya, sebagaimana Korea Selatan yang kebudayaannya sekarang mendunia.
"Mempertahankan NKRI sebagai harga mati sangat sangat benar, tetapi harus diimbangi dengan harga hidup," kata penyair yang tahun ini akan berusia 76 tahun itu.
Yang jelas, kata dia, jangan sampai ada status quo yang bisa memandekkan kreativitas karena bangsa seperti halnya organisme yang hidup, ada saling dialog dan saling respons.
Sutardji juga berpesan kepada para generasi muda untuk terus kreatif, atau "bertelur", istilah yang dipakainya, sebab merekalah nantinya yang akan menjadi bapak-bapak bangsa.
"Harus menjadi orang yang berguna bagi bangsanya, apapun. Kalau jadi penyair, ya, harus kreatif," pungkasnya.
Pada kesempatan itu, Sutardji membacakan setidaknya 10 puisi, di antaranya "Laila Seribu Purnama" yang terinspirasi dari momentum malam Lailatul Qodar karena sebentar lagi masuk bulan Ramadhan.
Hadir pada panggung puisi itu, antara lain pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibien, Rembang, KH A. Mustofa Bisri, sastrawan Sitok Srengenge, dan Ketua PWI Jateng Amir Machmud.
"NKRI bukan hanya harga mati, tetapi juga harga hidup. Kita yang harus mengisinya dengan kreativitas-kreativitas agar terus hidup," katanya, saat tampil pada ajang Sastra Pelataran Semarang, di Kantor PWI Jawa Tengah, Semarang, Jumat (5/5) malam.
Indonesia, kata penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941 itu, dulu dibangun dengan kreativitas-kreativitas, seperti Sumpah Pemuda pada 1928 meski pada saat itu Indonesia belum terbentuk sebagai negara kesatuan.
"Dulu, mulanya Indonesia dibuat dengan kreativitas, bukan dengan memasang dulu pancang dari Sabang sampai Merauke," kata penyair berjuluk Presiden Penyair Indonesia itu.
Bangsa, tegas dia, akan menjadi hidup kalau ada kreativitas-kreativitas di dalamnya di berbagai bidang, termasuk seni budaya, sebagaimana Korea Selatan yang kebudayaannya sekarang mendunia.
"Mempertahankan NKRI sebagai harga mati sangat sangat benar, tetapi harus diimbangi dengan harga hidup," kata penyair yang tahun ini akan berusia 76 tahun itu.
Yang jelas, kata dia, jangan sampai ada status quo yang bisa memandekkan kreativitas karena bangsa seperti halnya organisme yang hidup, ada saling dialog dan saling respons.
Sutardji juga berpesan kepada para generasi muda untuk terus kreatif, atau "bertelur", istilah yang dipakainya, sebab merekalah nantinya yang akan menjadi bapak-bapak bangsa.
"Harus menjadi orang yang berguna bagi bangsanya, apapun. Kalau jadi penyair, ya, harus kreatif," pungkasnya.
Pada kesempatan itu, Sutardji membacakan setidaknya 10 puisi, di antaranya "Laila Seribu Purnama" yang terinspirasi dari momentum malam Lailatul Qodar karena sebentar lagi masuk bulan Ramadhan.
Hadir pada panggung puisi itu, antara lain pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibien, Rembang, KH A. Mustofa Bisri, sastrawan Sitok Srengenge, dan Ketua PWI Jateng Amir Machmud.