Menjadi tua bukanlah masalah, melainkan berkah. Meski tidak muda lagi, tetaplah berkarya, jangan lantas berpangku tangan, tidak berbuat apa-apa.
Mereka telah melewati fase demi fase dalam kehidupannya di dunia fana ini. Begitu pun perjalanan hidup Bambang Sadono, tidak beda dengan khalikah di muka bumi ini.
Namun, tidak semua makhluk sosial mampu mencatat perjalanan hidupnya ketika berinteraksi dengan manusia lainnya. Apalagi, yang menyampaikan adalah orang lain dalam bentuk tulisan. Bahkan, tidak hanya seorang, tetapi 60 orang yang usianya di bawah pria kelahiran Blora, 30 Januari 1957, itu.
Atas tulisan merekalah lahir buku berjudul "60 Tahun Bambang Sadono: Menjadi Tua Tetap Berkarya Masih Bergaya" berukuran 16 sentimeter x 21 cm dengan ketebalan buku 274 halaman plus xviii yang berisi 60 tulisan plus satu catatan awal Prof. Dr. Mohammad Mahfud Md. yang berjudul "Lihai Bicara, Lincah Menulis".
Buku yang diterbitkan PT Citra Almamater Baru Semarang pada bulan Januari 2017, terkuak penggunaan singkatan SY (Soeradi Yoga) di belakang nama pemberian orang tuanya, pasangan Soeradi Sosrohardjono dan Trusmiadji.
Kenapa sejak Bambang Sadono mencalonkan diri sebagai gubernur pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2008, singkatan itu hilang? Hal ini juga sempat dipertanyakan juniornya dalam buku ini (vide halaman 106).
Setiap embel-embel, baik di depan maupun di belakang namanya (Dr.H. Bambang Sadono S.Y., S.H., M.H.), bak pintu masuk untuk mengetahui lebih dalam sosok Ketua Badan Pengkajian MPR RI yang notabene anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah ini.
Misalnya, tulisan Hasyim Asy`ari, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, berjudul "Kartunya Tidak Pernah Mati". Dia mengutarakan bahwa Bambang Sadono menempuh jalur pendidikan tidak hanya puas sampai tingkat sarjana, tetapi hingga jenjang magister dan doktoral, semuanya dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
Dalam meniti kariernya, sebagian koleganya ada yang memanggilnya Bamsad. Namun, ada pula yang menyapanya BS. Bahkan, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip Semarang Dr. Sunarto, M.Si. enggan menyebut akronim (Bamsad). Dia lebih memilih singkatan BS dalam tulisannya berjudul "Mengelola Media sejak Mahasiswa".
"Saya tidak tahu dengan pasti mengapa saat itu ada senior di koran kampus Manunggal (Undip Semarang) yang lebih senang menyebut BS dengan panggilan namanya berakronim negatif apabila dalam sebuah diskusi menyinggung keberadaannya. Yang saya rasakan saat itu, sebutan itu jauh dari konotasi positif dan apresiatif," kata Sunarto.
Untuk mengetahui siapa saja kolega dan sepak terjang BS, tidak hanya dari akronim, singkatan, atau gelar strata satu (S-1) hingga S-3, tetapi juga sederet jabatan yang pernah dalam genggamannya, baik di dunia kewartawanan, lembaga legislatif, maupun di dunia pendidikan.
Bidan UU Pers
Tidak begitu banyak yang mengetahui bahwa BS merupakan salah satu orang pers dan politikus yang tidak hanya terlibat langsung dalam pembuatan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tetapi juga orang yang sangat berperan dan berpengaruh dalam kelahiran UU Pers tersebut.
Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Wina Armada Sukardi dalam tulisannya berjudul "Petarung dengan Strategi Cerdik" mencatat sekurang-kurangnya ada tiga peranan BS dalam pembentukan UU Pers.
Pertama, dalam hal pertanggungjawaban pidana pers. BS berusaha keras agar dalam UU Pers juga diterapkan sistem pertanggungjawaban pidana murni, yakni siapa berbuat dialah yang harus bertanggung jawab.
"Pandangan ini wajar saja. Walaupun BS wartawan, latar belakang pendidikannya bidang hukum sehingga pola pikirnya sangat dipengaruhi oleh teori-teori dan asas-asas hukum," kata Wina yang pernah sebagai Sekretaris Jenderal PWI Pusat.
Kontribusi kedua, adalah menghilangkan keinginan dari pihak pemerintah. BS dan anggota DPR RI lainnya kala itu kompak mengkhawatirkan kewajiban pendaftaran diri bagi perusahaan pers bakal menjadi alat pemerintah untuk memberedel kembali pers dengan alasan tidak ada atau tidak memenuhi syarat pendaftaran.
Muncul pula kekhawatiran bahwa pendaftaran itu bakal menjadi alat oleh penguasa untuk mengekang kemerdekaan pers dengan mengubah kewajiban pendaftaran itu menjadi semacam lisensi wajib bagi pers.
Upaya BS dan kawan-kawan berhasil, tidak ada izin dan pendaftaran untuk perusahaan pers dalam UU. Itulah kelahiran salah satu anak dari rahim Reformasi yang kemudian tumbuh menjadi kemerdekaan pers.
Peranan BS yang ketiga yang menurut dia signifikan dalam proses UU Pers adalah dalam problematik penyiaran iklan rokok. Kala itu ada dua kutub besar yang saling berhadapan. Di satu pihak, ada gerakan yang sangat kuat agar iklan rokok dilarang total. Berbagai dampak negatif rokok menjadi alasan kubu ini untuk melenyapkan iklan rokok dari ranah media.
Pada pihak lain, ada industri rokok yang juga ngotot agar iklan rokok harus tetap diperbolehkan. Selain alasan ekonomi, juga bakal mematikan industri rokok terkait dengan larangan itu.
"Ini dilema yang tidak ringan. Memilih salah satu pihak dapat merugikan pihak lain dan sebaliknya. Jadi, bak buah simalakama," kata Wina dalam tulisannya.
Di sinilah BS memiliki peranan menonjol. Dia mengambil jalan tengah, yakni iklan rokok tetap boleh, tetapi dengan syarat tidak boleh ada peragaan bentuk rokok apa pun dalam iklan itu. Usulan pilihan inilah yang diterima dalam UU Pers.
"Kalau kita perhatikan iklan-iklan rokok dewasa ini, konsep itulah yang dipakai. Suatu jalan keluar yang brilian bagi kedua kubu yang antirokok dan industri rokok. Itu berkat kontribusi BS yang signifikan," kata Wina.
Ketaatasasan
Dengan moto "menjadi tua, masih berguna, tetap berkarya, dan bisa bergaya", BS tampaknya bermaksud menyemangati generasinya, bahkan generasi yang lebih senior.
Namun, sayangnya penggunaan konjungtor (karena) dalam judul menggunakan huruf kapital pada huruf pertama (k). Di samping itu, terdapat tanda baca koma (,) sebelum kata penghubung itu. Seharunya berjudul "Saya Ada karena Berkarya".
Begitu pula, penulisan singkatan nama orang. Misalnya, Mahfud Md. (vide halaman xiv), pada catatan kaki menggunakan menggunakan huruf kapital semua (MD)
Meski publik lebih sering menulis nama Mahfud MD, sebenarnya penulisan singkatan itu kurang tepat atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia karena berasal dari satu kata (Mahmodin).
Selain itu, dalam kata pengantar terdapat pula singkatan yang tanpa tanda baca titik (.). Misalnya, Zaenal Abidin M.K., Handry T.M., dan Prie G.S. Singkatan dari ketiga nama penulis dalam buku tersebut tanpa tanda titik.
Untuk lebih detailnya mengenai tata cara penulisan singkatan nama orang dan gelar akademis vide Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Jika buku ini akan dicetak ulang, tampaknya yang perlu diperhatikan adalah penerapan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, termasuk penulisan S-2 (strata dua) tanpa tanda hubung (-). Masih ditemukan pula lema yang penulisannya tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Misalnya, "praktek" (vide halaman 219), seharusnya praktik.
Kendati demikian, buku karya jurnalis, dosen, dan politikus ini menginspirasi siapa saja untuk tetap bersemangat meski usia kian bertambah.
"Berkarya tentu urusan komitmen kreativitas kita masing-masing. Akan tetapi, berguna untuk siapa? Menurut saya kalau bisa berguna bagi generasi berikutnya. Bergaya, bergaul, banyak komunikasi, dan silaturahmi," kata BS.
Buku BS itu belum tampak di sejumlah toko buku di Kota Semarang. Namun, bagi pembaca yang berminat memiliki buku tersebut, kata Direktur PT Citra Almamater Baru Eko Laksanto, bisa mendatangi percetakan tersebut di Jalan Hanilo No. 8 Krapyak Kota Semarang, Jawa Tengah.