Jakarta, Antara Jateng - Pratama Persadha, sosoknya mulai dikenal seiring dengan makin banyaknya kasus keamanan siber di Tanah Air, mulai dari kejahatan perbankan, Google Loon, hingga Pokemon Go yang sangat kontroversial. Penjelasannya yang gamblang lewat media cukup mencerahkan publik.
Mantan petinggi Lembaga Sandi Negara ini memang fokus pada isu-isu keamanan siber. Bahkan, pada tahun 2014 Pratama mendirikan lembaga riset keamanan siber bernama CISSReC (Communication and Information System Security Research Center).
Sebelum aktif lewat CISSReC, Pratama sempat menjabat sebagai Plt. Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara. Pratama juga sempat mendapatkan penghargaan kenaikan pangkat luar biasa atas prestasinya mengembangkan gagasan pembangunan infrastruktur jaring komunikasi sandi nasional dalam rangka peningkatan pengamanan informasi guna mendukung stabilitas keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, Pratama memilih resign dan fokus pada kegiatan edukasi keamanan siber.
"Saya coba fokus untuk berbisnis dan melakukan edukasi keamanan siber. Kurang pas rasanya kalau menomorduakan pekerjaan di kantor. Jadi, pilihan 'resign' ini sudah bulat saya ambil saat itu," jelasnya.
Besar dari keluarga guru membuat Pratama terbiasa disiplin dan membaca. Hal inilah yang membuatnya tertarik masuk ke Sekolah Tinggi Sandi Negara.
Pada tahun 1996, Pratama berhasil lolos masuk Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN), termasuk dalam 19 anak terpilih dari 1.500 pendaftar. Didikan disiplin sang ayah membuatnya tak kaget dengan model semimiliter di STSN.
"Karena ayah dan ibu saya guru, jadi membuat saya terbiasa membaca juga. Mungkin inilah modal penting yang diberikan orang tua saya, disiplin dan membaca buku," terangnya.
Kepakarannya di bidang keamanan siber makin terasah dengan berbagai pelatihan khusus di luar negeri. Menimba ilmu di Selandia Baru, Swiss, dan Amerika, Pratama banyak mendapatkan ilmu terkait enkripsi dan keamanan jaringan.
"Cikal bakal CISSReC sebenarnya sudah dimulai sejak 2001. Ketika saya mengikuti training dan pelatihan masalah kriptografi di Swiss. Selanjutnya, mengambil beberapa sertifikasi tentang keamanan informasi, antara lain, EC-Council Certified Computer Hacking Forensic Investigator," jelasnya.
Setelah itu, secara informal Pratama banyak melakukan "sharing" pengetahuan dan edukasi kepada masyarakat dengan tulisan, seminar atau mengajar. Akhirnya, pada bulan Oktober 2014 resmi didirikan lembaga riset keamanan informasi dan siber, CISSReC. Beberapa kali Pratama juga dipercaya untuk menjadi dosen tamu di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
Membangun Bisnis
Nyatanya Pratama tidak hanya pandai di kelas. Dia juga gemar berbisnis. Sejak masa SMA, dirinya sudah coba berbisnis ala kadarnya. Kebiasaan berbisnis berlanjut setelah menjadi PNS di Lembaga Sandi Negara, mulai dari properti sampai saham sudah digelutinya.
"Lewat beberapa teman, saya mempelajari properti dan saham, yang penting bisnis tidak mengganggu tugas sebagai PNS. Hasilnya lumayan, bisnis yang saya bangun sudah sampai ke Eropa, pusatnya di Inggris," jelas ayah dua anak ini.
Kesuksesan bisnis inilah yang membuat Pratama takragu untuk "resign" dari PNS dan fokus pada edukasi keamanan siber kepada masyarakat. Dia pun menekankan lembaga risetnya CISSReC untuk tak menerima dana sepeser pun dari luar.
"Saya hanya ingin masyarakat melek teknologi. Artinya, tidak hanya sebagai pengguna dan pembeli. Lebih jauh nantinya SDM kita semakin mumpuni sebagai produsen, dan juga tahu bahaya apa saja yang mengintai mereka di dunia siber," katanya.
Di sela-sela aktivitasnya, Pratama juga menulis buku yang berkaitan dengan keamanan siber, Kode untuk Republik. Buku tersebut berkisah tentang awal-awal usaha mempertahankan kemerdekaan. Peran telik sandi sangat krusial dalam mengabarkan eksistensi Indonesia ke luar negeri.