Saat ini, salah satu pembicaraan publik yang menarik adalah soal pencalonan sejumlah tokoh dalam perebutan "Jakarta 1".
"Jakarte punye siape?", begitulah logat khas Betawi yang menjadi perbincangan untuk memprediksikan siapa yang akan memimpin ke depan di DKI Jakarta, Ibu Kota Republik Indonesia.
Apakah masih milik petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang baru dua tahun ini menjadi Gubernur DKI Jakarta setelah dalam posisinya sebagai Wakil Gubernur, menggantikan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo 2012-2017 yang menjadi Presiden RI periode 2014-2019?
Atau milik salah satu dari sejumlah tokoh yang digadang-gadang bakal menjadi calon seperti Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka yang juga mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, Ketua Umum Partai Bulan Bintang yang juga mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, pengusaha Sandiaga Uno, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, atau bahkan pemusik Ahmad Dhani.
Hasil survei dari Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia pada Februari atas sekitar 400 responden menunjukkan bahwa Ahok tetap memperoleh tingkat popularitas tertinggi (98,5 persen) dan tingkat elektabilitas tertinggi (43,5 persen) tetapi masyarakat Jakarta ternyata lebih menyukai gubernur yang datang dari kaum muda, usia di bawah 45 tahun (50,8 persen).
Urutan nama lainnya adalah Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, Hidayat Nur Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Bambang Widjojanto, Sandiaga Uno, Adhyaksa Dault, Desi Ratnasari, Djarot Saiful Hidayat, Nachrowi Ramli, Nur Mahmudi Ismail, Muhammad Idrus, Marco Kusumawijaya, dan Abraham Lunggana alias Haji Lulung.
Indonesia Indicator (I2), perusahaan intelijen media, analisis data, dan kajian strategis dengan menggunakan piranti lunak Artificial Intelligence mencatat lima nama top person atau orang yang paling banyak dibicarakan menjadi calon gubernur mendatang yakni Basuki Tjahaja Purnama, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Ahmad Dhani, dan Yusril Ihza Mahendra.
Nama-nama lain yang masuk Adhyaksa Dault, Abraham Lunggana, dan Desy Ratnasari, meskipun ekspos di media tidak seketat lima nama sebelumnya.
Hal yang juga menarik pada masa elus jago ini juga ternyata sudah ada yang mundur, seperti Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Kang Emil, panggilan akrabnya, pada 29 Februari lalu memutuskan tidak maju pada Pilkada DKI Jakarta setelah beragam masukan yang dia terima melalui media sosial dan hasil silaturahim dengan berbagai tokoh nasional serta organisasi kemasyarakatan dan pimpinan partai politik.
"Dan yang menarik di luar ekspektasi saya, saya dipanggil dan diberi masukan oleh sejumlah tokoh mulai dari Pak Presiden Jokowi, Pak Prabowo, Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD dan ada tiga-empat menteri menyampaikan," kata Kang Emil.
Bagi pengamat politik dari Universitas Nasional, Jakarta, Mohammad Hailuki polarisasi pilihan masyarakat dalam Pilkada 2017 mendatang diperkirakan tajam menyusul keputusan Ridwan Kamil yang tak akan maju dalam pertarungan DKI 1.
"Dengan tidak adanya Ridwan Kamil maka sosok yang tersedia hanya Ahok dan non-Ahok. Karena sosok Ridwan Kamil diprediksi akan memecah kekuatan dan mencegah polarisasi tajam," kata Luki.
Kompetitor Ahok akan memposisikan diri sebagai representasi kelompok santri modernis. Partai-partai berbasis santri akan melakukan konsolidasi untuk berkoalisi dengan partai nasional religius seperti Demokrat dan Gerindra. PKB yang memiliki kekhasan Islam tradisional berpeluang merapat mendukung Ahok bila tidak memiliki calon sendiri yang kuat, sedangkan, Golkar dan PPP masih dirundung persoalan internal.
"Akibatnya, sangat mungkin Pilkada hanya diikuti oleh dua pasang calon kandidat antara nasionalis melawan santri modernis," katanya.
Prediksi Hailuki bisa saja benar bila melihat dua kali pengalaman pilkada secara langsung oleh rakyat di DKI Jakarta.
Pada Pilkada 8 Agustus 2007 memang hanya muncul dua pasangan calon yakni Fauzi Bowo yang saat itu menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Prijanto yang saat itu menjabat Asisten Teritorial Kepala Staf TNI Angkatan Darat, melawan pasangan calon dari Partai Keadilan Sejahtera yakni Wakil Kepala Polri Adang Daradjatun dan Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Dani Anwar. Pilkada itu dimenangkan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto.
Pada Pilkada 2012 ternyata harus berlangsung dua putaran. Putaran pertama berlangsung pada 11 Juli 2012, diikuti oleh enam pasangan calon yakni Fauzi Bowo (petahana) dan Nachrowi Ramli, Hendardji Soepandji (mantan Komandam Pusat POM TNI) dan Ahmad Riza Patria (tokoh pemuda) dari jalur perorangan, Joko Widodo (Wali Kota Surakarta) dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (politisi Gerindra) didukung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra, Hidayat Nurwahid (mantan Ketua MPR) dan Didik J Rachbini (ekonom) yang didukung PKS, Faisal Basri (ekonom) dan Biem Triani Benyamin (tokoh Betawi) dari jalur perorangan, serta Alex Noerdin (Gubernur Sumsel) dan Nono Sampono (mantan Kepala Basarnas).
Lantaran tidak ada salah satu pasangan dari enam pasangan itu yang meraih 50 persen plus satu suara maka pilkada masuk ke putaran kedua pada 20 September 2012. Dua pasangan calon yang meraih suara terbesar yakni Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (sekitar 42,60 persen) dan Fauzi Bowo-Nachrowi (sekitar 34,05 persen). Pilkada putaran kedua itu dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama.
Pada Pilpres 2014, Joko Widodo terpilih menjadi Presiden dan Basuki Tjahaja Purnama menggantikan Joko Widodo, menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Persyaratan ketentuan undang-undang yang mengharuskan pemenang pilkada minimal harus meraih 50 persen plus satu suara membuat pasangan calon memang sangat selektif. Kalaupun terulang kejadian pada Pilkada 2012 maka bakal berlangsung dua putaran.
Lawan dan Teman Ahok
Para ulama, habib dan tokoh yang tergabung dalam Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah meluncurkan Konvensi Calon Gubernur Muslim guna menghadapi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada pilkada mendatang.
Konvensi Gubernur Muslim dimaksudkan untuk mengikhtiarkan sepasang calon gubernur dan wakil gubernur Muslim untuk berlaga "head to head" melawan Ahok, kata Ketua Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah Habib Rizieq.
Manakala ada beberapa calon yang akan maju maka tugas Majelis Tinggi untuk melakukan pendekatan dan mengajak musyawarah supaya hanya satu pasangan saja yang maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Pendukung Djarot membuat "Sahabat Djarot", Ada pula " Relawan Suka Haji Lulung", Adhyaksa sudah dideklarasikan sebagai gubernur oleh pendukungnya.
Sejumlah tokoh yang disebut-sebut akan maju sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta, berkumpul di Kantor DPW PKB DKI Jakarta di Jalan Pramuka, Jakarta, pada 3 Maret lalu untuk menghadiri Musyawarah Kerja Wilayah DPW PKB DKI Jakarta yakni Abraham Lunggana, Ahmad Dhani, Biem Benyamin, Mischa Hasnaeni Moein, Mohamad Sanusi, dan Yusril Ihza Mahendra.
"Semuanya bagus, dikenal masyarakat, tinggal melihat elektabilitasnya saja," ujar Ketua DPW PKB DKI Jakarta Hasbiallah Ilyas.
PKB akan melihat survei terhadap seluruh bakal calon yang ada. PKB tidak harus mencalonkan gubernur dari kader. Siapa pun yang bagus dan baik untuk Jakarta akan didukung. PKB juga akan bekerja sama dengan partai lain dalam mendukung calon.
Ahok merupakan kandidat terkuat dalam posisinya sebagai petahana saat ini. Ahok memilih Kepala Pengelola Keuangan dan Aset Daerah DKI Jakarta Heru Budi Hartono sebagai calon Wakil Gubernur.
Ahok juga telah didukung oleh Partai NasDem dan Partai Hanura namun dukungan partai itu saja belum cukup untuk mengantarkannya menjadi calon resmi.
Ahok bersama para pendukung dan relawan yang menyebut diri Teman Ahok dan bermarkas di kawasan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sedang mengumpulkan satu juta dukungan disertai bukti kartu tanda penduduk (KTP), agar bisa menjadi calon gubernur dari jalur perseorangan.
Teman Ahok membuka 164 posko di berbagai wilayah ibu kota dan membuka anjungan di sejumlah mall atau pusat perbelanjaan.
Dari portal resminya hingga 18 Maret Teman Ahok telah mengumpulkan 117.373 dukungan untuk pasangan Ahok-Heru.
Ahok menyatakan dukungan yang diberikan Partai NasDem dan Partai Hanura terhadap dirinya untuk maju dalam Pemilihan Gubernur DKI 2017 adalah tanpa syarat.
Yang jelas setiap calon harus memperhitungkan peluang dan memenuhi syarat pencalonan sesuai ketentuan undang-undang dan aturan main dari Komisi Pemilihan Umum.