"Terutama untuk BPR skala kecil tentu kondisinya tidak seperti BPR besar yang mampu menjaring SDM dengan kualitas lebih baik," kata Ketua OJK Kantor Regional Jateng-DIY Panca Hadi Suryatno di Semarang, Rabu.
Menurut dia, OJK sendiri secara internal sudah melakukan analisis pada BPR-BPR tersebut kaitannya dengan kondisi kesehatan.
"Memang OJK kan ada ketentuan untuk tingkat kesehatan BPR. Dengan berjalannya waktu kami punya alat analisis lain, kami bisa klasifikasikan BPR yang punya tingkat risiko yang relatif tinggi atau 'highrisk'," katanya.
Menurut dia, dengan adanya klasifikasi tersebut dapat menjadi bahan analisis utama oleh pengawas. Panca mengatakan, pemeriksaan dan pengawasan yang dilakukan salah satunya dari sisi regulasi.
"Dalam hal ini kami mengeluarkan ketentuan tentang tata kelola, tetapi baru diterapkan pada 2018 mendatang. Meski demikian ini pondasi ke depan bahwa BPR harus dikelola dengan aturan tata kelola yang baik," katanya.
Selain itu, pemeriksaan juga dilakukan dari sisi penilaian. Salah satu yang diterapkan adalah manajemen risiko. Dalam hal ini, pihaknya berharap ada komisaris independen di setiap BPR sehingga jika ada penyimpangan dapat langsung teridentifikasi.
Menurut dia, peraturan OJK mengatur tentang keberadaan komisaris tersebut, salah satunya harus memiliki sertifikasi sehingga memiliki kemampuan yang cukup baik. Selain itu, ada pula peraturan OJK yang mengatur tentang klasifikasi komisaris untuk BPS dari skala kecil hingga besar.
"Dengan adanya sertifikasi profesi ini kami bedakan Direktur untuk BPR yang memiliki total aset Rp300 miliar ke atas harus punya sertifikasi level 1 dan 2. Pada dasarnya dengan aturan-aturan ini kami hanya ingin menciptakan BPR yang lebih sehat," katanya.