Kota Semarang sejak lima tahun terakhir ini disesaki kafe atau resto yang setiap malam menjadi tempat nongkrong remaja, anak muda, dan kaum profesional. Di kawasan atas Kota Semarang saat ini terus tumbuh kafe, resto, apartemen, dan hotel yang juga didesain untuk tempat nongkrong.
   Selepas maghrib hingga dini hari kafe-kafe yang menjajakan aneka minuman beragam rasa itu nyaris tidak pernah sepi. Soal harga, anak muda tidak terlalu cerewet sehingga segelas kopi yang dibanderol Rp40.000 masih dianggap wajar. Harga sebotol "wine" yang lebih dari sejuta rupiah pun bukan sesuatu yang mengagetkan.
   Anak-anak muda yang sering nongkrong di kafe, hotel, atau resto tidak semuanya hanya sekadar menghabiskan waktu untuk ngobrol bersama teman selepas bekerja. Banyak di antara mereka yang menyelesaikan pekerjaan di kafe atau membahas bisnis dengan mitra kerja. Di zaman internet, semuanya lebih mudah untuk berkomunikasi sekaligus presentasi.
   "Negosiasi bisnis di kafe bersama partner rasanya lebih rileks, namun tak kalah efektif dibandingkan ketika kita di dalam kantor," kata Setiawan Rudianto, anak muda yang menjalankan bisnis peralatan kantor.
    Di kalangan anak muda zaman sekarang ini mulai tumbuh kesadaran pentingnya menjadi pengusaha. Mereka menyadari menjadi pegusaha jauh lebih leluasa untuk mendapatkan penghasilan sesuai dengan yang diinginkan. Etos kerja keras juga kian melekat pada generasi sekarang. Tanpa kerja keras yang menjanjikan penghasilan memadai, mereka tidak akan bisa menikmati hidup sambil bersenang-senang.
    Lihatlah setiap pameran mobil atau perumahan termasuk apartemen, pengunjung dan pembelinya  didominasi oleh kaum muda degan usia di bawah 40 tahun. Mereka bukan hanya dari kalangan profesional atau pegawai, namun banyak yang murni menjalankan bisnis sendiri.
    Kelompok ini bukanlah tipe generasi kelahiran 1950-an yang bekerja tekun, hidup hemat, lalu menyimpan penghasilannya dalam bentuk tabungan dan asuransi hari tua.Â
    Anak muda zaman multimedia ini tak sayang membelanjakan uangnya untuk memenuhi keinginannya atau sekadar bersenang-senang. Bahkan kalau perlu membeli barang dengan cara berutang. Bagi mereka, berutang bukanlah kebodohan karena mereka melihat masa depan jauh lebih optimistis ketimbang generasi tua atau anak muda yang berpikiran kolot.
    Oleh karena itu, mereka rela menghabiskan banyak waktu untuk meraup banyak fulus. Namun di saat sama mereka juga tidak sayang mengeluarkan duit untuk pelesiran, beli mobil, perabot rumah yang mahal, atau berkumpul dengan teman-temannya di restoran kelas atas.
   Gaya hidup produktif sekaligus konsumtif itu memang sudah melanda kalangan muda perkotaan. Bagi mereka, menikmati hidup sama pentingnya dengan bekerja keras.Â
   Ya bekerja, ya bersenang-senang. ***
   Â
  Â
   Â
   Â