Setop Kekerasan di Dunia Pendidikan
Meninggalnya tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta setelah mengikuti pendidikan dasar organisasi pencinta alam kampus menambah daftar kekerasan di dunia pendidikan.
Ketiga mahasiswa tersebut, yakni Muhammad Fadhli (20) meninggal saat hendak dibawa ke Puskesmas Tawangmangu, Karanganyar karena Hipotermia, Jumat (20/1); Syaits Asyam (19) meninggal di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, Sabtu (21/1); Ilham Nurfadmi Listia Adi (19) di RS Bethesda, Senin (23/1) dini hari, menambah daftar korban meninggal dunia akibat kekerasan di kampus.
Sebelumnya, terjadi kekerasan terhadap taruna tingkat pertama Jurusan Nautika Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Marunda Jakarta Utara bernama Amirullah Adityas Putra (18) hingga menyebabkan kematian. Beritanya masih hangat diingatan kita.
Miris, kekerasan yang menyebabkan kematian justru terjadi di kampus yang akan mencetak intelektual muda. Kekerasan ini merupakan fenomena gunung es yang melilit dunia pendidikan nasional. Hanya sebagian yang diketahui publik karena ada korban meninggal dunia dan banyak kasus yang tidak terekspos karena korban tidak sampai meregang nyawa.
Sejatinya kekerasan di dunia pendidikan tidak hanya di kampus, tetapi juga terjadi di lingkungan sekolah dasar (SD), mulai tindakan "bulliying", pelecehan seksual, hingga merenggut nyawa korban.
Kekerasan di dunia pendidikan sudah masuk pada tahapan yang sangat prihatin. Seluruh komponen bangsa harus berteriak dan berupaya bersama: "Setop kekerasan dan bullying di dunia pendidikan!" Jangan lagi ada korban meregang nyawa percuma.
Mencegah dan mengakhiri kekerasan dan bullying jadi gotong royong bangsa, mulai dari keluarga, sekolah dan institusi pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, aparat pemerintah, hingga para siswa dan mahasiswa. Semua lini harus bahu-membahu secara aktif.
Salah satu upaya yang perlu ditiru, di antaranya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta dengan membentuk forum anak di tiap sekolah untuk mencegah sekaligus meminimalisasi tindak kekerasan di sekolah.
Melalui program tersebut, siswa sekolah akan mendapat pembekalan mental dan materi, di antaranya pendidikan penggunaan internet yang positif, sebab anak-anak saat ini sangat rawan mendapatkan kekerasan melalui penggunaan internet yang tidak sehat.
Jika semua lingkungan mulai dari keluarga, tempat belajar, dan lingkungan tempat tinggalnya (indekos, ekstrakulikuler) mendukung, maka para generasi bangsa ini akan memiliki pola pikir dan perilaku produktif sehingga melahirkan generasi emas, cerdas, kreatif, inovatif, produktif, visioner, dan seluruhnya adalah hak mereka.
Ketiga mahasiswa tersebut, yakni Muhammad Fadhli (20) meninggal saat hendak dibawa ke Puskesmas Tawangmangu, Karanganyar karena Hipotermia, Jumat (20/1); Syaits Asyam (19) meninggal di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, Sabtu (21/1); Ilham Nurfadmi Listia Adi (19) di RS Bethesda, Senin (23/1) dini hari, menambah daftar korban meninggal dunia akibat kekerasan di kampus.
Sebelumnya, terjadi kekerasan terhadap taruna tingkat pertama Jurusan Nautika Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Marunda Jakarta Utara bernama Amirullah Adityas Putra (18) hingga menyebabkan kematian. Beritanya masih hangat diingatan kita.
Miris, kekerasan yang menyebabkan kematian justru terjadi di kampus yang akan mencetak intelektual muda. Kekerasan ini merupakan fenomena gunung es yang melilit dunia pendidikan nasional. Hanya sebagian yang diketahui publik karena ada korban meninggal dunia dan banyak kasus yang tidak terekspos karena korban tidak sampai meregang nyawa.
Sejatinya kekerasan di dunia pendidikan tidak hanya di kampus, tetapi juga terjadi di lingkungan sekolah dasar (SD), mulai tindakan "bulliying", pelecehan seksual, hingga merenggut nyawa korban.
Kekerasan di dunia pendidikan sudah masuk pada tahapan yang sangat prihatin. Seluruh komponen bangsa harus berteriak dan berupaya bersama: "Setop kekerasan dan bullying di dunia pendidikan!" Jangan lagi ada korban meregang nyawa percuma.
Mencegah dan mengakhiri kekerasan dan bullying jadi gotong royong bangsa, mulai dari keluarga, sekolah dan institusi pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, aparat pemerintah, hingga para siswa dan mahasiswa. Semua lini harus bahu-membahu secara aktif.
Salah satu upaya yang perlu ditiru, di antaranya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta dengan membentuk forum anak di tiap sekolah untuk mencegah sekaligus meminimalisasi tindak kekerasan di sekolah.
Melalui program tersebut, siswa sekolah akan mendapat pembekalan mental dan materi, di antaranya pendidikan penggunaan internet yang positif, sebab anak-anak saat ini sangat rawan mendapatkan kekerasan melalui penggunaan internet yang tidak sehat.
Jika semua lingkungan mulai dari keluarga, tempat belajar, dan lingkungan tempat tinggalnya (indekos, ekstrakulikuler) mendukung, maka para generasi bangsa ini akan memiliki pola pikir dan perilaku produktif sehingga melahirkan generasi emas, cerdas, kreatif, inovatif, produktif, visioner, dan seluruhnya adalah hak mereka.