Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menghapus ujian nasional (UN) mulai 2017, kandas. Pemerintah memutuskan UN jalan terus dengan sejumlah penyempurnaan.
UN yang sudah berjalan 12 tahun saat ini memang tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa. Kendati demikian, UN masih saja menjadi momok. Bukan saja bagi siswa, melainkan juga guru,sekolah, bahkan pemerintah daerah.
Bagi guru, sekolah, dan pemda, UN menjadi pertaruhan reputasi mereka apakah selama ini telah menyelenggarakan kegiatan pendidikan sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah atau belum.
Persoalannya memang tidak sesederhana itu. Di balik kemampuan sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu, ada rangkaian persyaratan yang harus dipenuhi. Pendidik kompeten, sebagai salah satu variabel utama penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, hingga kini masih tetap saja terkonsentrasi di Jawa dan kota-kota besar. Oleh karena itu, rata-rata nilai UN antarsekolah atau antardaerah sering terlihat timpang.
Program sertifikasi guru memang sudah berjalan, namun masih banyak keluhan terhadap para pendidik bersertifikat ini, terutama menyangkut "passion" mereka untuk mengikuti perubahan zaman yang begitu cepat. Guru pada hari ini tidak bisa lagi hanya menjalankan fungsinya memindahkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi harus mampu menjadi fasilitator dan motivator, yang mampu menggugah rasa ingin tahu siswa.
Dari sisi sarana dan prasarana, sekolah-sekolah di pelosok juga menghadapi persoalan yang jauh lebih pelik dibanding sekolah di kota-kota besar. Jangankan ketersediaan jaringan internet sebagai penunjang pendidikan, masih banyak sekolah yang bergelut dengan memenuhi kebutuhan dasar pendidikan, seperti kelaikan bangunan, peralatan sekolah, keterbatasan buku ajar, hingga kelaikan nisbah guru-siswa.
Itulah yang sering dikeluhkan penyelenggara sekolah di pelosok. Bagi mereka, dengan keterbatasan seperti itu, bagaimana bisa membandingkan mutu lulusan mereka dengan sekolah-sekolah yang diampu guru berkualitas yang bertugas di sekolah dengan sarana dan prasarana pendukung lebih komplet.
Tekanan untuk bisa meluluskan peserta didik dalam setiap UN, dalam beberapa kasus mendorong praktik tidak terpuji. Yang menyedihkan, ada guru dan sekolah yang terlibat dalam praktik curang demi mendongkrak angka kelulusan siswa.
Melalui UN, pemerintah memiliki tujuan untuk melakukan pemetaan mutu sekolah. Kendati menerapkan kurikulum nasional, kesenjangan mutu sekolah di satu daerah dengan daerah lain, sering jaraknya begitu lebar.
Dengan masih adanya ketimpangan sumber daya, sarana, dan prasarana antarsekolah dan antardaerah, tampaknya masih butuh waktu panjang untuk mendapatkan standar mutu yang relatif sama antarsiswa.
Oleh karena itu tidak terlalu mengagetkan bila berdasarkan sigi oleh Program for International Student Assessment (PISA) pada 2015, pendidikan di Indonesia di posisi 69 dari 76 negara yang disurvei. Sigi PISA fokus pada studi literasi, Matematika, dan IPA.
Namun, ada sisi positif bila akhirnya Presiden Joko Widodo memutuskan melanjutkan UN. Setidaknya kebijakan itu memberi target lebih riil bagi guru dan sekolah untuk mencapai mutu yang dipatok oleh pemerintah.
Tidak ada pilihan bagi guru, sekolah, dan pemangku kepentingan, kecuali terus memperbaiki penyelenggaraan pendidikan. ***