Semarang (ANTARA) - Provinsi Jawa Tengah yang masuk salah satu daerah rawan bencana, mulai tanah longsor, banjir, gunung meletus, gempa tektonik, hingga kebakaran hutan perlu meningkatkan kepekaan terhadap tanda-tanda terjadinya bencana itu.

Hampir setiap tahun terutama musim penghujan, Jateng selalu mendapat "jatah" bencana longsor atau banjir. Salah satu dimensi penting dalam preventif dampak bencana tersebut adalah korban jiwa manusia.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Tengah telah memetakan 1.864 desa dari 336 kecamatan berpotensi banjir, kemudian 2.134 desa dari 344 kecamatan berpotensi terjadi tanah longsor pada musim hujan pada 2019.

Terus berulangnya bencana yang terjadi di Jateng itu, tentunya perlu ada manajemen penanganan risiko untuk mengantisipasi atau mengatasi bencana tersebut. 

Manajemen risiko yang dimaksud adalah suatu perencanaan untuk menghilangkan atau mengurangi dampak dari bencana yang hampir setiap tahun terjadi, salah satunya dengan mitigasi yang semestinya dilakukan setiap daerah yang memang rawan terhadap bencana.

Mitigasi bencana sangat dibutuhkan daerah-daerah yang rawan terhadap bencana. Memang bukan sekadar tugas pemerintah, kesadaran masyarakat pun perlu ditingkatkan untuk menghindari daerah-daerah rawan bencana. 

Perlu ada langkah tegas pemerintah untuk menumbuhkan kesadaran tentang mitigasi bencana. Toh, tujuannya memang untuk menghindarkan masyarakat agar tidak menjadi korban bencana. 

Upaya mitigasi bencana harus terus dioptimalkan, sosialisasi kepada masyarakat harus terus dilakukan secara berkelanjutan dan berkesinambungan guna mengurangi risiko yang ditimbulkan akibat bencana.

Keterlibatan semua pihak juga sangat diperlukan mulai dari pemerintah, akademisi, dunia usaha, hingga seluruh lapisan masyarakat.    

Tidak kalah penting sistem peringatan dini yang optimal di semua wilayah pesisir di Indonesia dan ditambah dengan adanya peta kerawanan bencana yang menyeluruh maka diharapkan dapat mendukung upaya pengurangan risiko bencana.

Upaya mitigasi berbasis kearifan lokal juga perlu terus dikembangkan sebagai monitor awal terjadinya bencana alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan BPBD perlu terus mengembangkan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal.

Seperti kentongan bisa dikembangkan sebagai alat komunikasi nasional untuk peringatan dini kebencanaan. Bunyi isyarat dengan kentongan, sangat penting terutama untuk masyarakat yang berdomisili dekat dengan lokasi sumber bencana.  

Kita juga patut mengapresiasi kebijakan Presiden Jokowi yang akan memasukkan muatan edukasi dan mitigasi bencana dalam materi pendidikan di sekolah, agar Indonesia jauh lebih siap dalam menghadapi bencana alam.

Bencana tidak mungkin ditolak, namun mengantisipasi selalu bisa dilakukan karena setiap tahun selalu datang.
 

Pewarta : Mahmudah
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024