Masyarakat boleh sedikit lega karena rencana pengenaan biaya isi saldo uang elektronik (e-money) yang menjadi sorotan publik akhirnya dibatalkan oleh Himpunan Bank-bank Negara (Himbara) yang terdiri atas empat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Himbara memutuskan tidak memungut pengisian saldo uang elektronik (e-money). Top-up e-money tetap digratiskan.
Keempat bank yang juga menjadi pemain dalam industri uang elektronik, yakni PT Bank Mandiri Tbk. (Mandiri), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI), PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk. (BNI), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk. (BTN) menyatakan akan lebih mengarahkan isi saldo melalui pemanfaatan teknologi.
Fee yang ditarik dari nasabah itu akan dikumpulkan oleh bank, kemudian digunakan aneka infrastruktur e-money, seperti penambahan lokasi dan mesin isi ulang serta lainnya, mengingat pada tanggal 31 Oktober 2017 pembayaran jasa penggunaan jalan tol di seluruh Indonesia harus menggunakan uang elektronik.
Kalangan industri perbankan tersebut sebelumnya mengusulkan kepada Bank Indonesia agar biaya isi saldo uang elektronik sebesar Rp1.500,00 hingga Rp2.000,00 setiap isi saldo.
Usulan tersebut menuai polemik di kalangan masyarakat. Salah satunya datang dari advokat yang peduli masalah-masalah konsumen, David M.L. Tobing, yang sampai mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait wacana tersebut. Menurut David, pengenaan biaya isi ulang e-money diduga merupakan bentuk maladministrasi.
Bahkan, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menilai peraturan itu telah membuat rupiah sebagai alat pembayaran yang sah menjadi tidak berlaku sehingga aturan ini bertentangan dengan UU Mata Uang.
Begitu pula, anggota Ombudsman Republik Indonesia Alvin Lie mengaku heran mengenai keinginan Bank Indonesia melakukan penarikan biaya isi ulang e-money. Rencana bank sentral ini justru berbeda dengan negara lain yang menggratiskan biaya isi ulang e-money.
Meski begitu, Bank Indonesia (BI) telah resmi menetapkan tarif maksimum pengisian saldo uang elektronik dengan cara off us atau lintas kanal pembayaran sebesar Rp1.500,00, sedangkan pengisian cara on us atau satu kanal diatur dengan dua ketentuan, yakni bisa gratis dan bisa bertarif maksimum Rp750,00.
Cara off us adalah pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu berbeda, atau melalui mitra, seperti melalui pasar swalayan dan pedagang ritel lainnya.
Ketentuan biaya isi saldo uang elektronik itu tercantum dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (PADG GPN).
Kebijakan gerakan nontunai memang akan membuat penghematan besar bagi bank sentral. BI tidak perlu mencetak uang baru yang lebih besar seiring dengan pertambahan penduduk. Di samping itu, akan meminimalisasi uang palsu atau tidak layak edar.
Salah satu kegunaan uang elektronik yang paling tampak bagi masyarakat, antara lain, sebagai alat pembayaran di gardu tol. Padahal, gerakan nontunai mencakup multijasa layanan yang membutuhkan skema pembayaran mutakhir.
Demi efisiensi pelayanan dan keamanan dalam bertransaksi, upaya mewujudkan transaksi nontunai adalah sebuah keniscayaan.
Keempat bank yang juga menjadi pemain dalam industri uang elektronik, yakni PT Bank Mandiri Tbk. (Mandiri), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI), PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk. (BNI), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk. (BTN) menyatakan akan lebih mengarahkan isi saldo melalui pemanfaatan teknologi.
Fee yang ditarik dari nasabah itu akan dikumpulkan oleh bank, kemudian digunakan aneka infrastruktur e-money, seperti penambahan lokasi dan mesin isi ulang serta lainnya, mengingat pada tanggal 31 Oktober 2017 pembayaran jasa penggunaan jalan tol di seluruh Indonesia harus menggunakan uang elektronik.
Kalangan industri perbankan tersebut sebelumnya mengusulkan kepada Bank Indonesia agar biaya isi saldo uang elektronik sebesar Rp1.500,00 hingga Rp2.000,00 setiap isi saldo.
Usulan tersebut menuai polemik di kalangan masyarakat. Salah satunya datang dari advokat yang peduli masalah-masalah konsumen, David M.L. Tobing, yang sampai mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait wacana tersebut. Menurut David, pengenaan biaya isi ulang e-money diduga merupakan bentuk maladministrasi.
Bahkan, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menilai peraturan itu telah membuat rupiah sebagai alat pembayaran yang sah menjadi tidak berlaku sehingga aturan ini bertentangan dengan UU Mata Uang.
Begitu pula, anggota Ombudsman Republik Indonesia Alvin Lie mengaku heran mengenai keinginan Bank Indonesia melakukan penarikan biaya isi ulang e-money. Rencana bank sentral ini justru berbeda dengan negara lain yang menggratiskan biaya isi ulang e-money.
Meski begitu, Bank Indonesia (BI) telah resmi menetapkan tarif maksimum pengisian saldo uang elektronik dengan cara off us atau lintas kanal pembayaran sebesar Rp1.500,00, sedangkan pengisian cara on us atau satu kanal diatur dengan dua ketentuan, yakni bisa gratis dan bisa bertarif maksimum Rp750,00.
Cara off us adalah pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu berbeda, atau melalui mitra, seperti melalui pasar swalayan dan pedagang ritel lainnya.
Ketentuan biaya isi saldo uang elektronik itu tercantum dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (PADG GPN).
Kebijakan gerakan nontunai memang akan membuat penghematan besar bagi bank sentral. BI tidak perlu mencetak uang baru yang lebih besar seiring dengan pertambahan penduduk. Di samping itu, akan meminimalisasi uang palsu atau tidak layak edar.
Salah satu kegunaan uang elektronik yang paling tampak bagi masyarakat, antara lain, sebagai alat pembayaran di gardu tol. Padahal, gerakan nontunai mencakup multijasa layanan yang membutuhkan skema pembayaran mutakhir.
Demi efisiensi pelayanan dan keamanan dalam bertransaksi, upaya mewujudkan transaksi nontunai adalah sebuah keniscayaan.