Lelaki itu berkisah ketika berjalan kaki mengikuti Mukhlas, petugas penyulut "bom" penanda buka puasa di Masjid Agung Kauman Kota Magelang, Jawa Tengah.
Apa yang disebut "bom" itu, kelihatannya berupa bubuk mercon dikemas secara khusus dalam ukuran cukup besar. Suara letusannya yang khas disebut masyarakat Magelang sebagai "dung" itu pada masa lampau, menggelegar hingga terdengar dari jarak cukup jauh.
Mukhlas telah meninggal dunia pada era 1990-an. Semasa hidupnya, ia setiap sore bertugas membawa "bom" dari kantor masjid menuju tempat penyulutan di tepi Alun-Alun Kota Magelang.
Lelaki yang masa kecilnya sering berjalan kaki, mengikuti di belakang Mukhlas saat menyiapkan "bom" itu, bernama Luky Henri Yuni Susanto (38).
Dia yang warga Kampung Kauman Kota Magelang tersebut, seakan merekonstruksi detik-detik penyulutan "dung", tradisi penanda buka puasa. Bunyi "dung" pernah menjadi ciri khas dan tradisi selama bertahun-tahun Masjid Kauman, setiap sore, selama Ramadhan.
"Dulu beduknya di sini, lalu bersamaan dengan azan magrib, pemukul beduk memberi tanda ke Pak Mukhlas yang telah siap di alun-alun untuk menyulut 'bomnya'," kata Henri yang akrab dipanggil Mashenk, di dalam Masjid Kauman, beberapa jam menjelang shalat Jumat, siang itu.
Masjid Agung Kauman Kota Magelang didirikan pada 1650 oleh K.H. Mudakir. Bersama isterinya Nyai Mudakir dan para pendahulu warga setempat, ulama berasal dari Jawa Timur itu dimakamkan di belakang masjid.
Pada awalnya, masjid tersebut mampu menampung sekitar 1.000 umat untuk beribadah. Masjid yang kini menjadi ikon Kota Magelang itu, telah mengalami beberapa kali pemugaran, terutama penambahan dan perluasan bangunan sehingga saat ini berkapasitas sekitar 3.000 orang.
Dalam periode Kota Magelang dipimpin Wali Kota Bagus Panuntun, pada 1991 dibangun menara Masjid Kauman setinggi 24 meter, tempat wudu laki-laki dan perempuan, serta teras depan.
Keaslian bagian atap masjid tetap dipertahankan hingga saat ini, berupa tiga tataran. Imam dan takmir Masjid Kauman, Nawaro (66), menyebut model atap itu sebagai simbol rukun agama, yakni iman, Islam, dan ihsan.
Nawaro yang menjadi takmir Masjid Kauman sejak 1972 dan imam sejak 1987 itu mengaku tidak mengetahui sejak kapan tradisi "dung" dimulai di tempat itu.
"Sejak saya kecil sudah ada tradisi 'dung' waktu itu," katanya.
Akan tetapi, pemerintah kota meminta tradisi "dung" penanda buka puasa dari Masjid Kauman dihentikan sejak 1985.
"Suaranya menggelegar sampai Krincing (Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang), Tegalrejo, Kaliangkrik, kira-kira 10 kilometer. Kaca-kaca rumah bergetar kalau 'dung' dibunyikan. Mungkin karena dengan pertimbangan membahayakan, sehingga pemerintah kemudian melarangnya," katanya.
Kala itu, tradisi "dung" menjadi saat yang ditunggu-tunggu masyarakat di berbagai tempat di Kota Magelang dan sekitarnya. Cukup banyak masyarakat berkumpul di alun-alun sejak sekitar pukul 17.00 WIB selama Bulan Puasa, sedangkan lainnya bercengkerama di pinggir kampung-kampung sekitar kota, menunggu saat buka puasa dengan tanda "dung".
Banyak para pedagang menggelar aneka makanan berbuka puasa di alun-alun, antara lain kolak, es buah, carang gesing, tempe, tahu, dan pisang goreng. Begitu terdengar "dung", warga yang telah membeli beragam makanan itu, kemudian menyantapnya untuk berbuka puasa.
Sebagian di antara mereka melanjutkan aktivitas bersembahyang di Masjid Kauman hingga tarawih, dan lainnya pulang ke kampung masing-masing. Tentunya suasana, terutama lalu lintas kendaraan di Kota Magelang kala itu, belum seingar-bingar saat ini.
Ia menyebut sejumlah orang yang kala itu selalu berperan penting dalam tradisi "dung" buka puasa di Masjid Kauman, yakni Mukhlas sebagai penyulut "dung", Sihan penabuh beduk, dan Muhamin pembeli "bom" di Surabaya. Mereka saat ini telah berpulang.
"Saya waktu itu sering bertugas azan. 'Bomnya' dibeli di Surabaya oleh Pak Muhamin. Naik bus umum dan dibawa dengan hati-hati. Kalau beli sekalian 35 'bom', masing-masing untuk buka puasa selama 30 hari, untuk Lebaran dua, Idul Adha satu, dan dua untuk wali kota yang dinyalakan saat hari ulang tahun kota," katanya.
Ia menyebut harga satu "bom" ketika itu Rp10.000 dan di Magelang hanya Masjid Kauman yang mampu membelinya dengan dana diambil dari sebagian tabungan untuk pengelolaan masjid, sumbangan atau amal dari masyarakat.
Pada kesempatan itu, Nawaro menjelaskan tentang cara Mukhlas menyulut "dung". "Bom" berdiameter 15 centimeter dengan sumbu sepanjang sekitar setengah meter dimasukkan ke pipa besi yang secara permanen ditempatkan di dekat pohon palem di tepi Alun-Alun Kota Magelang.
Pipa besi cukup tebal untuk penyulut "dung" itu, disebutnya sebagai "long besi", untuk membandingkan dengan petasan bambu yang biasa disebut masyarakat setempat sebagai "long bambu".
Kalau sedang tidak digunakan, "long besi" setinggi sekitar satu meter itu, di ujung lubang atas ditutup dengan pelat sebagai pengaman, kemudian digembok dengan kunci yang selalu dipegang Mukhlas.
Saat tiba waktu buka puasa, berdasarkan petunjuk dari jam matahari yang dimiliki Masjid Kauman, petugas memukul beduk dari dalam masjid, disusul dengan azan Maghrib, dan sejenak kemudian terdengar suara "dung".
Bunyi "dung" pertama terdengar ketika "bom" itu lepas dari "long besi", sedangkan beberapa saat kemudian suara "dung" kedua terdengar lebih keras, menggelegar hingga menggetarkan kaca-kaca rumah dan bangunandi sekitar alun-alun. Gelegar bunyi "dung" terdengar hingga jarak 10 kilometer dari Masjid Kauman.
"'Dung' kedua yang keras sekali itu, di ketinggian sama dengan tinggi 'Water Torn'," katanya.
"Water Torn" adalah menara air setinggi 21,2 meter, terdiri atas 32 pilar dengan daya tampung 1,75 juta liter air. Menara air itu, terletak di pojok alun-alun setempat, mulai dibangun pada 1916, zaman Belanda, sedangkan pengoperasian untuk melayani kebutuhan air bersih masyarakat Kota Magelang mulai 2 Mei 1920.
Mashenk mengatakan orang-orang yang berkumpul di alun-alun serempak bertepuk tangan dan bersorak gembira ketika bergelegar bunyi "dung" penanda buka puasa dari Masjid Kauman.
"Begitu terdengar menggelegar, dahsyat suaranya, dan orang-orang bersorak. Ramai sekali," katanya.
Hingga kini, tradisi "dung" Masjid Agung Kauman Kota Magelang menjadi kenangan lekat masyarakat setempat. Di antara mereka, masih ada yang menyebut "dung" untuk memulai berbuka puasa.