Mereka yang tergabung dalam komunitas Wayang Onthel pimpinan Andretopo dan penggemar sepeda tua, Velocipede Old Classic (VOC), pimpinan Bagus Priyana bergegas menuju tempat di bawah pohon beringin yang disinari listrik terang benderang di tengah alun-alun.
Berbagai properti untuk performa jamasan kontemporer mereka usung ke tengah alun-alun yang juga pusat kota setempat itu, antara lain, beberapa sepeda onthel, kelir, gedebok, dua saron, lima kendi berisi air, kendil, bunga, serta sejumlah tokoh wayang terbuat dari rangkaian berbagai onderdil sepeda.
Lima kendi itu berisi air, masing-masing berasal dari Sungai Progo, Sungai Elo, Kali Bening, Kali Manggis, dan menara air minum. Menara air Kota Magelang dibangun di pojok barat daya alun-alun setempat pada 1920. Menara yang saat ini di bawah pengelolaan PDAM Kota Magelang itu, salah satu ikon kota setempat.
Lazimnya saat Sura atau bulan pertama dalam penanggalan Jawa, masyarakat melakukan tradisi jamasan terhadap tosan aji atau pusaka, seperti keris dan tombak. Namun, komunitas itu melakukan terobosan kontemporer berupa jamasan wayang onthel dan sepeda onthel pada malam tahun baru Jawa tersebut. Sejumlah sepeda yang mereka jamas pada kesempatan itu ada yang buatan 1919 hingga era 1940.
Wayang dan sepeda onthel tersebut selama ini menjadi piranti utama mereka berkreasi dan berkiprah dalam olah kebudayaan, lingkungan, dan sosial kemasyarakatan lainnya di daerah setempat.
Setiap mereka yang menjalani performa kontempoer malam 1 Sura itu mengenakan kain batik, berselempang kain putih, dan mengikatkan kepala dengan kain putih. Mereka lalu berjalan kaki mengelilingi satu kali pohon beringin yang masih basah oleh air hujan.
Dua orang, masing-masing menuntun sepeda onthel, dan peserta lainnya membawa bunga, kendi, alat musik terbuat dari onderdil sepeda dalam prosesi itu.
Mereka berjalan membisu hingga kembali ke tempat kelir tertancap dengan menghadap ke Masjid Agung Kauman Kota Magelang, di bagian barat alun-alun setempat. Mereka pun masing-masing duduk bersila.
Seorang di antara mereka yang mengenakan pakaian adat Jawa dengan surjan, bebet, dan belangkon, Bejo (57), membacakan doa-doa secara kejawen sebagai pembuka prosesi jamasan sepeda onthel dan pentas wayang onthel.
"'Hong wilaheng jati mas tuhu. Buana langgeng duh kaki tunggul. Sabda jati daya among raga. Ki danyang, nyi danyang, wali danyang ingkang rumekso wonten mriki. Kakang kawah adi ari-ari. Sedulur papat, lima pancer, enem raga, pitu sukma, mula bukaning gesang kula. Duh Gusti ingkang maha kuasa. Kula nyuwun berkah idi palilah," demikian doa yang diucapkannya.
Dengan iringan lirih dari tabuhan dua saron dan musik perkusi onderil oleh mereka, Mbah Bejo lalu memercikkan air kembang lima warna (mawar merah, mawar putih, melati, kantil, dan kenanga) dari kendil ke beberapa sepeda onthel yang diletakkan di sekitar pohon beringin.
Tabuhan musik perkusi dari rangkaian onderdil sepeda dan alat bengkel sepeda terus ditabuh tanpa pelantang. Seorang seniman Aning Purwa--berpakaian kebaya putih dan satu bunga mawar putih terselip di telinga kirinya--mengiring dengan tembang berbahasa Jawa, tatkala Andretopo melanjutkan prosesi itu dengan pementasan wayang onthel.
Wayang onthel adalah hasil kreasinya sejak 2006 dan hingga saat ini telah dipentaskan di beberapa kota, seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Salatiga, Surakarta, dan Magelang. Nasional University of Singapore juga telah mendokumentasikan salah satu pementasan wayang onthel dan mengalihbahasakan dari Jawa ke Inggris dan Spanyol.
Pada kesempatan itu, Andretopo yang juga dalang wayang onthel tersebut memainkan lakon carangan berjudul "Jamasan" dalam durasi sekitar 30 menit. Ia mainkan beberapa tokoh wayang onthel yang diberi nama masing-masing, Gunungan, Paijo, Gondes, Kuncung, Pak Jambul, Bu Jambul, Gembus, Roro Dames.
Selain itu, Pak Darso, Kiai Genjot, dan tokoh wayang dengan tiga wajah sebagai simbol massa atau rakyat. Setiap tokoh wayang onthel itu terbuat dari rangkaian berbagai onderdil sepeda seperti gir, berko, dinamo, rantai, dan ruji-ruji.
Dalam pementasan wayang onthel dengan lakon "Jamasan" itu, bertindak sebagai pemeran utama adalah Kiai Genjot.
Sang Dalang menceritakan tokoh yang dipanggil kiai tersebut, bertepatan dengan malam 1 Sura, memanggil satu per satu para wayang untuk diberi nasihat mengenai pesan moral, pendidikan, nilai-nilai sosial, dan kebaikan hidup lainnya.
"Cerita ini tentang tahun baru, refleksi, dan evaluasi diri untuk perbaikan dari kehidupan yang buruk agar ke depan menjadi baik dan lebih baik sehingga berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Ini juga sebagai harapan dan doa, termasuk agar setiap orang tidak lupa sejarah," kata Andre setelah pentas itu.
Ia pun mengakhiri pementasannya dengan meletakkan setiap tokoh wayang onthel di atas gelaran kain warna putih, lalu menjamas dengan siraman air dari lima sumber tersebut.
Ketua VOC Kota Magelang Bagus Priyana mengatakan bahwa performa jamasan itu juga menjadi simbol semangat anggotanya untuk melestarikan tradisi masyarakat dan merawat peninggalan sejarah.
"Kami mewujudkan upaya pelestarian ini secara kontekstual komunitas kami, yakni melalui pemanfaatan secara kreatif sepeda onthel. Akan tetapi, jamasan ini juga simbolisasi mendorong masyarakat untuk gemar bersepeda karena bersepeda itu sehat dan menekan tingkat polusi," katanya.
Setiap tahun baru dalam berbagai model kalender, kata dia, intinya pemanfaatan waktu secara tepat oleh setiap insan untuk berefleksi dan menyucikan diri, serta selanjutnya menjalani hidup secara lebih baik.
Kebaikan hidup baik secara individual maupun kolektif, antara lain, digambarkan sebagai kehidupan yang tenteram, makmur, damai, sejahtera, bermartabat, dan meraih kejayaan.
"'Jaya-jaya wijayanti, rahayu-rahayu kang samya pinanggih'," demikian kalimat terakhir Sang Dalang tatkala melukiskan wajah kehidupan yang lebih baik itu di penghujung pentas wayang onthelnya.