Ketika pengundian pembacaan puisi jatuh kepada anak bernama Gusti Roy Setya Mona itu, ia pun dengan lugu maju ke teras rumah di satu kampung bertepi areal persawahan di antara alur Kali Lampir dengan Sungai Bulus, yang menjadi garis pembatas antara wilayah Kabupaten Batang dengan Kendal, Jawa Tengah.
Teras seluas 20 meter persegi rumah itu telah "disulap" menjadi panggung sederhana namun cukup eksotik dengan berbagai instalasi khususnya dari alat-alat dapur dan bahan alami lainnya.
Dibacakannya puisi tiga bait yang tertera di selembar kertas berlatarbelakang warna merah jambu, berjudul "Kasih Ibu" oleh anak itu. Di bawah baris-baris kalimat sederhana puisi itu, tertoreh gambar hati, simbol kasih sayang.
"Ibu, oh ibu. Sekian lama kunanti hadirmu. Menemani hari-hariku. Betapa aku rindu bermain bersamamu. Ibu, oh ibu. Bagai mimpi dalam hidupku. Saat kau hadir bersama kasihmu. Kau peluk aku dengan haru. Ibu, oh ibu. Izinkan aku tetap bersamamu. Betapa bahagia hatiku. Kini engkau kembali memelukku," demikian puisi itu.
Selama ibunya bekerja sebagai TKI di Taiwan, Roy diasuh oleh ayah dan nenek yang keduanya setiap hari bekerja serabutan, sedangkan komunikasi antara anak dengan ibunya terus terjalin melalui telepon seluler.
Anak tersebut, saat ini duduk di kelas III sekolah dasar di kampung setempat, sedangkan penghidupan sehari-hari orang tuanya, pasangan Dwi Setyawan dengan Munawaroh, sebagai perajin dan pedagang aneka camilan seperti keripik tempe, marning, kedelai goreng, dan berbagai kue kering.
Keluarga itu juga baru saja merehab rumah sederhana dan membeli mobil "butut" namun bermesin cukup bandel untuk transportasi menyetor produk camilan tersebut ke warung-warung dan pasar tradisional setempat setiap hari, serta sesekali sebagai mobil carteran untuk berbagai keperluan tetangganya.
Setelah merampungkan pembacaan puisinya pada acara "Malam Lebaran Kampung Pinggir", Roy pun mendapatkan aplaus dari penonton malam itu yang memang jumlahnya terbatas hanya keluarga kecil tersebut . Ia juga menerima bingkisan berupa lima buku fabel setelah membaca puisi itu.
Orang Biasa
Pembacaan puisi "Malam Lebaran Kampung Pinggir" diselenggarakan oleh keluarga Sudarno Hadi. Sudarno (72) dengan istrinya Timurni (68) boleh jadi bukanlah orang penting, tokoh masyarakat, pejabat, atau pun pensiunan pegawai. Mereka adalah orang kebanyakan yang hidup bertani dan tinggal satu kampung udik di Dusun Pugeran, Desa Bendosari, Kecamatan Plantungan, Kabupaten Kendal.
Tempat itu lumayan jauh dari lokasi paling ramai di kawasan setempat yakni di pusat kota Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal. Jalan menuju dusun itu sebagian beraspal cukup bagus, namun sebagian ruas lainnya saat ini kondisi aspalnya mengelupas dan berlubang di berbagai tempat. Sejumlah ruas jalan lainnya untuk sampai ke kampung itu berupa tanjakan dan tikungan cukup tajam.
Empat anak Sudarno, masing-masing telah berkeluarga dan hidup merantau di sejumlah kota dengan berbagai pekerjaan, sedangkan para cucu masih sekolah dan kuliah. Sudarno dengan Timurni juga merengkuh empat kemenakan yang telah yatim piatu sejak kecil menjadi bagian dari keluarga besarnya. Roy adalah salah satu di antara sejumlah cucu kemenakan Sudarno.
Keluarga besar Sudarno yang oleh para tetangga akrab dipanggil Mbah Darno itu berkumpul di rumah induk di kampung bertepikan sawah setiap Lebaran. Mereka juga berhalalbihalal dengan para tetangga, sanak saudara yang lain, dan mengikuti pertemuan "trah" di sekitar desa itu.
Secara istimewa pada malam hari kedua Lebaran 2012, belasan cucu Sudarno sepakat menamai keluarga mereka dengan sebutan gaul "The Darno's". Mereka malam itu juga menggelar acara pembacaan puisi bertema "Malam Lebaran Kampung Pinggir". Saat tiba di kampung tersebut pada mudik Lebaran tahun ini, mereka berproses bersama untuk masing-masing menulis puisi dan membacakannya.
Mereka juga menyiapkan berbagai instalasi teras rumah berdinding kayu itu untuk panggung pembacaan puisi. Berbagai bahan instalasi panggung antara lain gedebok, puluhan lilin, cobek, alat-alat dapur terbuat dari anyaman bambu seperti bakul, tumbu, tampah, sedangkan lainnya "blengker" pelengkap luweng, tangga bambu, dan sapu lidi.
Terpal plastik digelar di halaman bertata batu dengan beberapa kursi kayu di deretan belakang. Tiga tampah berisi aneka sayuran diletakkan di tengah teras panggung acara malam puisi. Lukisan grafis keluarga inti Sudarno karya seorang menantunya yang berasal dari Bali dan foto pasangan kakek dengan nenek itu dipindah dari ruang tamu ke dinding kayu teras itu sebagai 'background" panggung.
Malam hari kedua Lebaran itu, di bawah rindang pepohonan halaman rumah kayu dan kerlap-kerlip bintang di langit sebagai pertanda cuaca cerah serta bunyi-bunyian alam binatang malam seperti kodok, jengkerik, kelebatan belalang dan kelelawar, meluncur pembacaan puisi-puisi karya "The Darno's".
Puisi Bergantian
Petikan gitar yang dimainkan secara bergantian oleh sejumlah cucu, mengiring kalimat-kalimat sastra yang satu per satu mereka bacakan. Setiap pembaca puisi menerima bingkisan berupa buku-buku dengan beragam bacaan.
Seorang lainnya cucu Sudarno yang pada 2012 mulai menjalani kuliahnya di jurusan kedokteran di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, Triwardani, menyuguhkan musikalisasi puisi bertajuk "Hadiah Yang Terindah".
"Dalam suka duka, dalam tangis tawa. Kluarga setia jadi curahan rasa. Indahnya kluarga, mesranya kluarga. Jadi tempat kehidupan kita. Hadiah yang terindah. Anugrah yang terbesar. Itulah kluarga tercinta. Kusyukuri kasih-Mu, Tuhan," begitu dua bait terakhir puisi yang ditembangkan dengan sekaligus sambil memetik dawai-dawai gitarnya.
Begitu pula seorang lainnya cucu kemenakan Sudarno yang saat ini kelas I di satu sekolah menengah pertama swasta di Kota Magelang, Bagus Purwaka. Ia menyuguhkan karyanya berjudul "Kasih" yang ditulis dengan huruf bersambung.
Karyanya itu agaknya tentang perenungan dirinya bahwa kasih sebagai kebutuhan akan kelembutan, kedamaian, dan keindahan. Maka di baris terakhir puisi itu ia berujar "Terima kasih oh 'Kasih'".
Pada "Malam Sastra Lebaran Kampung Pinggir" itu, seorang cucu yang masih duduk di kelas IV sekolah dasar di Yogyakarta, Anindya Satyarini, menyuguhkan cerita berbahasa Indonesia, namun dengan kalimat judul berbahasa Inggris "Best Friends Forever". Karya itu menceritakan pertemanan antara geng anak sekolah "Avenca (Andra, Vennesa, Elsa, Nattalia, Cerry, dan Aldamina) a Girls" dengan "Trio VVV (Vely, Vela, Venny).
Seorang cucu Sudarno yang saat ini masih merampungkan revisi skripsinya di jurusan Bahasa Inggris satu perguruan tinggi di Yogyakarta, Yulikrisnawati, menampilkan karya puisi berbahasa Inggris "My Name is Tika, People Say Katrok". Karya itu seakan refleksi atas kesadaran terhadap karakter personal.
"I am proud of me. Made by the love of mbah, mom, dad, aunties, uncles. My family. But from now on. I promise one thing. I'll do my very best for all of you (Aku bangga pada diriku sendiri. Terbuat dari cinta mbah, mbok, bapak, tante-tante, om-om, adik-adik. Keluargaku. Tapi mulai sekarang. Aku janji untuk buat yang terbaik, untuk semua)," begitu dua di antara lima bait puisinya.
Inspirasi dari jagad raya rupanya ditangkap dua lainnya cucu Sudarno, menjadi karya puisi masing-masing yang juga mendapat kesempatan disuguhkan pada "Malam Sastra Lebaran Kampung Pinggir", di dusun setempat yang untuk ukuran layanan internet masih terpinggirkan.
"Terbentang luas di bawah langit biru. Menghiasi bumi tempat tinggal kita. Bagai embun di atas daun, dengan gemicik air yang melambai-lambai. Pepohonan rindang membawa kesejukan. Keaslian bumi sangat menawan. Senatural indah di pegunungan. Itulah.... Harapan semua umat manusia. Untuk bumi ini. Supaya kita bisa hidup terang, di bumi pertiwi," demikian puisi "Natural", karya seorang cucu, Regina Dyah Saraswati.
Melalui suguhan karya puisi berjudul "Matahari", seorang lainnya cucu kemenakan Sudarno bernama Diana Debora Rahayu Pratiwi, rupanya hendak mengeksplorasi tentang sang penguasa cahaya jagad raya itu.
"Matahari, kaulah sang surya. Tak kenal lelah untuk menyinari kami. Kau berikan hidupku untuk menyinari bumi ini. Cahaya yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Oh matahari.... Trimakasih atas sinar yang kau berikan. Kami pun senang. Kar'na cahayamu membuat kami senang," demikian puisi dua bait karya siswa kelas V satu sekolah dasar di Kota Magelang itu yang dibacakan pada kesempatan pertama acara malam puisi "The Darno's".
Karya bertema kebersamaan disuguhkan dua lainya cucu Sudarno yakni Dewi Puspitasari dengan karya berjudul "Bersamamu" dan Giovannia Esya Nirmala Bestari, "Abadi".
"Pikirku melayang. Apakah semua akan hilang. Apakah hari-hari yang telah kita lewati. Cepat begitu saja dilupa. Tidak! Kebersamaan ini.... Kebahagiaan ini.... Yang takkan pernah bisa dibeli. Takkan semudah itu terhapus dalam memori. Karna bersama 'The Darno's'. Aku rasakan sesuatu yang berbeda, dari setiap hariku," begitu puisi Dewi Puspitasari bertajuk "Bersamamu".
Sedangkan karya ungkapan berjudul "Abadi" cukup panjang ditorehkan Esya yang juga mahasiswa jurusan matematika di satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.
"Bertahun-tahun berlalu, ada banyak kali Lebaran yang kami lalui bersama. Ada peristiwa-peristiwa yang akan selalu kami kenang saat kami dewasa nanti. Akan ada kenangan dan harapan untuk mengulang ini kembali. Akan selalu kami nantikan tahun depan. Untuk sekadar bersama bercerita, menyanyikan tawa, dan berpisah untuk saling merindukan. Terima kasih untuk kesempatan merasakan sekian banyak perasaan tak tergantikan. Yang akan kami rindukan saat kami kembali ke dunia kami. Terima kasih, kita tidak akan terpisah," demikian beberapa baris karya "Abadi" itu.
Puisi mbeling karya seorang cucu, Pandu Nugroho, berjudul "Ratapan Panci" membuat keluarga besar Sudarno tertawa terbahak-bahak selama menyimaknya.
"Siap sedia, rela berkurban. Menahan panas demi banyak orang. Menyatukan diri dengan bara api. Duduk terdiam, pasrah. Panci.... Pantat hitam mempesona. Mencium bibir kompor menggoda. Ingin rasanya aku menggosokmu. Menghilangkan noda hitam membekas. Panci..... Oh panci. Kuselalu merindukanmu. Terima kasih panciku. Panciku sayang, panciku malang. Doaku menyertaimu," begitu puisi karya dia yang saat ini kelas III di satu sekolah menengah pertama di Yogyakarta itu.
Satu puisi mbeling lainnya berjudul "Mamadhe Endang" dibuat oleh Cagar Binara Betananda, seorang lainnya cucu Sudarno, yang saat ini masih kuliah di satu perguruan tinggi di Yogyakarta. "Mamadhe" sebutan mereka untuk seorang "bude" yang bekerja sebagai guru senior matematika di satu sekolah menengah atas negeri di Magelang.
"Awalnya tak kumengerti. Apa yang kulihat dan dengar. Semua terasa biasa. Seperti apa adanya. Keras.... Tegas.... Bringas tanpa batas. Guru adalah sebuah label di setiap harinya. Matematika itulah yang dia bisa. Bertampang sangar dan muka tua, itulah dia. Setiap kata yang dia ucapkan begitu menghibur. Itu versi aku, bukan untuk orang lain. Dia selalu hadirkan kebebasan ucapan dari setiap kata yang dia ucapkan. Tanpa pandang bulu. Intinya Mamadhe Endang mainnya kasar," begitu bunyi puisi itu yang juga membuat terpingkal-pingkal pendengarnya, termasuk budenya itu yang duduk di "kursi kayu kehormatan" bersama anak-anak dan para menantu Sudarno.
Mbah "Bungah"
Malam itupun tanpa terasa terus beranjak. Langit di atas kampung yang terkesan sunyi dengan halaman rumah di dekat areal persawahan tak jauh dari alur dua sungai itu pun, tetap dengan kerlap-kerlip bintang-bintangnya. Cuaca malam itu tetap bertahan cerah.
Di ujung alkisah puisi mudik Lebaran, Sudarno yang sedari awal pertunjukkan duduk di "kursi kayu kehormatan" bersanding dengan sang isteri yang malam itu berjilbab warna oranyenya, kemudian beranjak naik ke teras panggung untuk mewedar nasihat kesepuhan menggunakan Bahasa Jawa kepada para anak dan cucunya.
"Mbah merasa 'bungah' (bergembira hati, red.), berterima kasih kepada Yang Kuasa, karena sampai saat ini diberi panjang umur, masih bisa menjadi saksi atas apa yang menjadi pengharapan Mbah Kakung dan Mbah Putri. Anak-anak sudah bekerja, cucu-cucu bersekolah dan terus melanjutkan sekolah. Yang bekerja harus bekerja dengan baik, yang belajar, belajarlah dengan tekun. Untuk cita-cita kalian semua, Mbah akan terus mendukung melalui kiriman doa, dari rumah ini," katanya.