Ringin Putih Lor (utara) masuk wilayah Dusun Sriyasan dengan kepala dusun saat ini Abdul Syukur, sedangkan Ringin Putih Kidul (selatan) masuk Dusun Kanggan dengan kadus Muhammad Arifin.
Dua lokasi itu dipisahkan oleh persawahan tadah hujan yang tak begitu luas. Total warga dua lokasi itu sekitar 150 keluarga dengan sebagian besar berpenghidupan sebagai petani.
Pusat Desa Ringin putih yang meliputi sembilan dusun terletak sekitar 500 meter sebelah barat Candi Borobudur yang juga warisan peradaban dunia dibangun sekitar abad ke-8 masa Dinasti Syailendra. Desa itu berada di jalur Kecamatan Borobudur menuju Salaman, Kabupaten Magelang.
Ketua Rukun Warga 13 Desa Ringin Putih Suparjiyono (58) mengaku menuliskan perbincangannya dengan sejumlah orang tua setempat menyangkut cerita turun temurun tentang Ringin Putih pada Agustus 2004, ketika dia masih aktif berdinas di Balai Konservasi Peninggalan Borobudur di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur.
Lokasi yang dinamai Ringin Putih terkait dengan Candi Borobudur antara lain kuburan Buddha yang dikenal warga setempat sebagai "Makam Duda", temuan beberapa artefak yang kini disimpan di museum di kompleks TWCB, dan Candi Wurung (candi yang gagal diselesaikan) di Ringin Putih Kidul.
Mungkin persoalan identitas "desa" itu yang selama ini menggelayuti masyarakat setempat sehingga mereka ingin membuat "tetenger" (pengingat) melalui penanaman bibit pohon beringin di dua sumber air wilayah Ringin Putih Lor dan Ringin Putih Kidul.
Direktur Jenderal Seni Pertunjukan, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sulistyo Tirtokusumo dan penggagas kegiatan kebudayaan bertajuk "Srawung Seni Segara Gunung" di kawasan Borobudur (20-29 April 2012) Suprapto Suryodarmo menyerahkan bibit pohon beringin, masing-masing kepada warga setempat Marsudi dan Syamsuri.
Penyerahan berlangsung di halaman rumah warga setempat Moch Tarom yang telah dihiasi beberapa instalasi seperti janur, kelaras, dan gelaran tikar, serta tenda plastik.
Tembang Jawa "Dandang Gula" dengan iringan tabuhan musik tradisional "pitutur" mengiringi prosesi itu dilantunkan oleh pemuka warga setempat Dahlan (50). Syair tembang itu maksudnya kira-kira tentang pentingnya pelestarian nama Ringin Putih dengan nilai sejarah dan kebudayaannya.
"'Ngrawuhono Dukuh Ringin Putih punika, mengku sejarah kang sanyoto, kudu den lestarekake, amargi roh ipun, peprentahan Desa Ringin Putih, eling lan waspada, kanti laku kang jujur, kandeling keyakinan, kang tumanem ing jati diri, luhuring kabudayan'," demikian syair tembang tersebut.
Ratusan warga kemudian melakukan perarakan mengusung bibit pohon dengan bagian akar dibungkus kain putih menuju dua sumber air di Ringin Putih Lor dan Ringin Putih Kidol.
Bunyi tetabuhan dari alat musik tradisional "pitutur" mengiringi prosesi tersebut. Mereka yang mengenakan pakaian adat Jawa dengan baju motif lurik antara lain membawa sejumlah "tampah" antara lain berisi tumpeng, ingkung, buah-buahan, dan jajan pasar.
Sejumlah orang lainnya membawa bunga mawar merah dan putih ditaburkan di sepanjang sekitar 500 meter jalan menuju tempat penanaman pohon itu.
Beberapa penari kesenian rakyat setempat juga mengiringi prosesi yang berlangsung semarak menuju dua sumber air tersebut.
Seorang sesepuh desa setempat Syamsuri (71) didampingi gadis berkulit serba putih yang disebut "bule" Septi Angelia (15) menanam bibit pohon itu di sumber air Ringin Putih Lor, sedangkan Sahil (79) didampingi anak lelaki "bule" Bambang Susila Aji Pranata (7) di Ringin Putih Kidul.
Lokasi penanaman itu berada di tepi dua lokasi atau tepi persawahan yang membelah Ringin Putih Lor dengan Ringin Putih Kidul.
Sulistyo menyebut kegiatan tersebut sebagai salah satu bukti kobaran semangat masyarakat untuk melestarikan tradisi. Tradisi budaya itu menyimpan jati diri mereka sebagai warga desa.
"Warga Ringin Putih bangkit kembali," katanya.
Kadus Abdul Syukur mengatakan, sejak zaman dahulu memang tidak ada pohon beringin putih yang secara kasat mata tumbuh di sumber air setempat.
Tetapi, katanya, di sumber air itu sering menjadi lokasi ziarah orang-orang yang datang dari sejumlah daerah.
"Mereka yang 'waskita' yang 'nenepi' (ziarah, red) di tempat itu sering melihat pohon beringin putih kira-kira tingginya dua meter. Katanya ada dua cabang, yang satu ke arah selatan (menunjuk Ringin Putih Kidol) dan satunya ke utara (Ringin Putih Lor). Yang di selatan selalu ada warga 'bule'," katanya.
Cerita turun temurun tentang pohon beringin putih yang tidak kasat mata itu hingga saat ini masih akrab di masyarakat setempat.
Bagaimanapun juga, penanaman bibit pohon beringin di dua lokasi itu tetap memiliki manfaat penting yakni untuk melestarikan sumber air setempat dan menjadi "tetenger" tentang kisah leluhur mereka.
Dengan menggunakan kalimat berbahasa Jawa, Abdul Syukur menyebut bahwa penanaman pohon beringin sebagai pengingat nama lokasi itu oleh masyarakat, tidak lepas dari niat mulia berupa pewarisan kepada generasi mendatang tentang nilai tradisi dan budaya setempat yang bernilai penting.
"'Wong tuwa ninggal pepiling apik, ora ninggal utang'," katanya.
Melalui penanaman pohon itu, mereka inginkan jati diri kemasyarakatan dalam nama lokasi Ringin Putih tetap langgeng.