Konsentrasi publik mengarah pada satu titik, yakni: "Menolak Penaikan Harga BBM." Mereka terkesan tak menghiraukan bunyi ketukan palu sebagai tanda membebaskan Untung Wiyono dari dakwaan korupsi dalam pencairan APBD Kabupaten Sragen tahun anggaran 2003--2010 sebesar Rp 20,8 miliar, Rabu (21 Maret 2012).
Publik pun seolah-olah tak memedulikan ketukan palu sang hakim itu meski menambah deret panjang daftar terdakwa korupsi yang bebas. Bahkan, sejak berdirinya Pengadilan Tipikor Semarang, 3 Januari 2011, hingga sekarang tercatat lima perkara korupsi yang terdakwanya bebas.
Publik pun seakan-akan tak mengindahkan bahwa Lilik yang merupakan hakim karier memegang rekor terbanyak dalam memvonis bebas. Dari lima putusan Pengadilan Tipikor Semarang, empat di antaranya berkat ketukan palu sang hakim itu.
Lilik telah memvonis bebas terdakwa pemindah buku uang ganti rugi pengadaan tanah proyek pembangunan Jalan Tol Semarang--Solo Agus Soekmaniharto. Kemudian, mantan Kepala PT Adhi Karya Cabang Semarang dan Yogyakarta Suyatno dalam kasus penyuapan terhadap mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro pada tanggal 7 Maret 2012. Sebelumnya, membebaskan Yanuelva Etliana alias Eva, terdakwa kasus pembobolan Bank Jateng Cabang Semarang pada tanggal 1 Maret 2012.
Tak hanya Lilik saja yang memvonis bebas terdakwa korupsi. Majelis Pengadilan Tipikor Bandung pun melakukan hal serupa dengan membebaskan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad pada tanggal 11 Oktober 2010. Atau, sebelum Lilik memvonis bebas mantan Bupati Sragen, Untung Wiyono.
Sebelum membacakan amar putusan terhadap terdakwa Mochtar Mohammad (sekarang Wali Kota Bekasi nonaktif), Ketua Majelis Hakim Azharyadi dengan anggota Hakim Eka Saharta dan Hakim Adhoc Ramlan Comel mengatakan, "Lembaga peradilan adalah salah satu pilar demokrasi yang independen, bebas dari tekanan siapa pun, termasuk trial by the press. Dan, pengadilan bukan pula institusi penghukum, melainkan lembaga yang memberi keadilan."
Prolog amar putusan yang berisi frasa itu agaknya merupakan sebuah pesan yang mendalam. Siapa pun tidak bisa mengintervensi lembaga peradilan dalam memutuskan suatu perkara. Jika dianalogikan dengan "Lady Justice" (Dewi Keadilan) atau lebih populer "Justitia", frasa itu ibarat "kaki" sang Dewi yang tidak terbelenggu, berdiri bebas tanpa ada sesuatu yang mengikat.
Sang Lady Justice tampaknya tidak mau ada orang yang ikut campur meski tangan yang satu membawa seperangkat timbangan (berfungsi menimbang kebaikan dan keburukan seseorang), dan tangan yang lain membawa pedang (siap menghukum). Justitia tampak hati-hati saat membawa timbangan itu agar posisi neraca keadilan tetap berimbang.
Kita tampaknya tidak sekadar melihat kaki sang Dewi tanpa ikatan, tetapi memperhatikan pula karya ikonograf (ahli ikonografi) pada bagian atas arca itu. Mata sang Dewi Keadilan terlihat tertutup kain (tanpa pandang bulu), kemudian dua telinga dan mulut tanpa tertutup sehelai kain pun. Patung ini mengimplisitkan bahwa majelis hakim harus lebih banyak mendengar masukan sebelum mulut membacakan amar putusan, apalagi yang berkaitan dengan perkara korupsi yang merugikan uang negara yang notabene uang rakyat.
Hidung sang Dewi pun tanpa kain penutup. Ikonografi tampaknya membiarkan sang Dewi bebas mencium apa pun perkara yang masuk ke ranah pengadilan. Mustahil, aroma kerugian negara tidak terendus indra pencium sang hakim jika faktanya uang negara itu raib. Dalam hal ini, hakim tinggal membuktikan siapa yang melakukan penyelewengan uang negara dan untuk siapa. Misalnya, memperkaya sang oknum bersangkutan atau orang lain.
Begitu sang Dewi menutup hidung dan menutup telinga serta pancaindra lainnya, sebuah putusan hakim tak luput dari sorotan publik. Meski responsnya kali ini kurang santer karena tenggelam dengan hiruk pikuk aksi unjuk rasa menentang kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM Rp1.500,00 per liter pada bulan April 2012, masih ada di antara elemen masyarakat yang peduli akan hal itu.
Salah satunya adalah Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah. Apalagi, di dalam sistem peradilan kita, membuka ruang untuk menyampaikan suatu penilaian atau kontrol terhadap putusan hukum yang menjadi bagian dari publik atau menjadi milik publik.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu pun lantas mengajukan eksaminasi publik terhadap putusan bebas terdakwa korupsi di Pengadilan Tipikor Semarang ke Komisi Yudisial.
Kendati demikian, dalam eksaminasi itu tetap harus mengedepankan "presumption of innocence" atau asas praduga tak bersalah. Publik pun harus melihat sang Dewi Keadilan secara utuh. Atau, tidak memaknai secara parsial yang bakal menjebak kita untuk menonjolkan keegoisan masing-masing. Pasalnya, kebenaran bukanlah punya orang per orang, kebenaran itu milik kita semua.