Musim penghujan, disadari atau tidak memiliki dampak bagi kesehatan masyarakat, apalagi disertai banjir yang berimplikasi membuat sumber air bersih tercemar dan membuat banyak kuman dari air-air kotor berkeliaran.
Diare menjadi penyakit yang paling mudah ditemui seiring datangnya musim penghujan, mulai diare level biasa hingga diare yang sudah sedemikian parah hingga penderita memerlukan perawatan intensif di rumah sakit (RS).
Seperti terlihat di RS Roemani Semarang, setidaknya tingkat penderita diare cenderung tinggi selama tiga bulan terakhir, pada November 2011 sebanyak 83 pasien, Desember 2011 capai 98 pasien, dan 83 pasien Januari 2012.
Manager Pelayanan Medis RS Roemani Semarang dr Dian Aviyanti menjelaskan, penyakit diare memang berpotensi meningkat seiring musim hujan yang biasanya menyebabkan banjir sehingga memperburuk kesehatan lingkungan.
Ia membeberkan bahwa diare menempati urutan pertama tren penyakit yang ditangani RS Roemani Semarang sepanjang 2011 lalu, yakni 907 pasien, disusul 746 pasien tifus, dan demam berdarah dengue (DBD) 268 pasien.
Memasuki awal tahun yang disertai tingginya curah hujan, ia memprediksi membuat potensi meningkatnya penderita diare kian besar, sebab perbandingan penderita diare pada Januari 2011 lalu hanya sebanyak 72 pasien.
Meski kerap dianggap sepele, penyakit diare ternyata memiliki potensi menyebabkan kematian jika penanganan terhadap penderita tidak cepat dilakukan, sebab dehidrasi menjadi hal yang perlu diwaspadai akibat diare.
"Dehidrasi atau kekurangan cairan bisa berdampak fatal jika tidak ditangani secara cepat. Apalagi, penderita diare yang disertai muntah-muntah yang membuat cairan tubuh akan semakin cepat berkurang," kata Dian.
Untuk mengantisipasi terkena diare, kata dia, pola hidup bersih harus selalu dijaga dan mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi, tujuannya untuk menjaga stamina tubuh agar tidak mudah terserang penyakit.
Berkaitan dengan kuman, penyakit tifus juga perlu diwaspadai selama musim penghujan ini, sebab lingkungan yang kotor rentan menyebabkan makanan dan minuman tercemar bakteri yang bisa menyebabkan penyakit tifus.
"Potensi terkena diare dan tifus sebenarnya sama jika mengonsumsi jajanan secara sembarangan. Karena itu, hati-hati dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Yang jelas, jangan membeli jajanan sembarangan," katanya.
Sementara itu, penderita penyakit demam berdarah dengue (DBD) justru tidak terlalu tinggi selama musim penghujan, meski tetap ada peningkatan jumlah pasien yang dirawat setidaknya selama tiga bulan terakhir.
Berdasarkan data RS Roemani Semarang, jumlah pasien DBD yang dirawat pada November 2011 mencapai 10 pasien, Desember 2011 sebanyak 18 pasien, dan pada Januari 2012 tercatat ada 24 pasien DBD yang dirawat.
Menurut Dian, tren penyakit DBD biasanya mengalami peningkatan pada pergantian musim karena kondisi cuaca berpengaruh pada perkembangbiakan jentik-jentik nyamuk, sementara pada musim penghujan tidak terlalu tinggi.
"Namun, susah juga kalau melihat kondisi cuaca akhir-akhir ini yang tidak menentu. Sebentar panas, kemudian hujan, berubah terus. Karena itu, masyarakat harus tetap mewaspadai penyebaran penyakit DBD," kata Dian.
Data sejumlah RS di Kota Semarang juga menunjukkan penderita diare dan tifus tinggi selama tiga bulan terakhir, seperti RS Islam Sultan Agung Semarang selama Januari 2012 sebanyak 145 pasien tifus dan 81 pasien diare.
Sementara, pada November 2011 tercatat 97 pasien tifus dan 81 pasien diare yang dirawat di RS Islam Sultan Agung Semarang dan pada Desember 2011 sebanyak 21 pasien tifus dan sebanyak 77 pasien diare.
Data di RS Telogorejo Semarang, pada November 2011 ada 75 pasien diare dan 38 pasien DBD, pada Desember 2011 ada 61 pasien diare dan 32 pasien DBD, sedangkan pada Januari 2012 tercatat 53 pasien diare dan 48 DBD.
Leptospirosis Juga Mengintai
Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Kota Semarang Widoyono mengakui, penyakit diare memang berpotensi menyebar saat musim penghujan karena banyak sumber air tercemar kuman.
Banjir yang menjadi "langganan" Kota Semarang setiap musim penghujan, kata dia, bisa membuat sumber-sumber air tercemar kuman, padahal air itu menjadi konsumsi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Penyakit-penyakit yang kerap muncul saat musim hujan, kata dia, antara lain diare, DBD, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), disebabkan banjir yang mencemari sumber-sumber air dan lingkungan yang kotor.
Namun, ia mengingatkan, penyakit yang juga mengintai dan perlu diwaspadai saat musim penghujan adalah leptospirosis, disebabkan kuman yang tinggal di tinja dan air kencing tikus, dengan risiko kematian relatif tinggi.
Widoyono menjelaskan, selama musim penghujan yang disertai banjir membuat masyarakat harus ekstra membersihkan lingkungan, seperti membersihkan saluran dan selokan, maupun kotoran sisa-sisa banjir.
Persoalannya, masyarakat tidak menyadari bahwa selokan dan saluran air merupakan tempat hidup tikus yang rentan tercemar air kencing dan tinja hewan pengerat yang bisa menyebabkan penyakit leptospirosis.
"Kuman dari air kencing dan tinja tikus yang menyebabkan leptosirosis mudah masuk ke tubuh manusia melalui luka-luka kecil (mikrolesi) yang biasanya tidak disadari. Padahal, akibatnya bisa fatal," katanya.
Menurut dia, masyarakat biasanya membersihkan saluran atau got tanpa dilengkapi alat pelindung diri, seperti sarung tangan dan sepatu bots sehingga kuman-kuman penyebab leptospirosis mudah masuk ke tubuh manusia.
Meski hanya luka lecet kecil, kata dia, sebaiknya tidak disepelekan karena bisa menyebabkan kuman masuk, termasuk menyebabkan leptospirosis sehingga harus diantisipasi dengan memakai sarung tangan dan sepatu bots.
Berkaitan dengan gejala-gejala terkena leptospirosis, ia menyebutkan, antara lain panas dan demam tinggi, nyeri-nyeri, disertai gejala-gejala seperti penyakit kuning, dan air seni berwarna kecoklatan mirip air teh.
"Kalau warna air kencing sudah menyerupai air teh, perlu diwaspadai terkena penyakit leptospirosis. Segera dibawa ke layanan kesehatan untuk mendapatkan perawatan dan penanganan secara optimal," katanya.
Penyakit leptospirosis, kata dia, memiliki risiko kematian penderita cukup besar, yakni 30 persen, karena itu penderita harus segera dibawa ke layanan kesehatan untuk mendapatkan penanganan sebelum terlambat.
Sejauh ini, Widoyono mengakui, sudah ada beberapa warga Kota Semarang yang terjangkit leptospirosis, namun dengan kesigapan dibawa ke layanan kesehatan bisa menghindari risiko terburuk, yakni kematian.