Tanpa musik pengiring, kaki kanan lelaki bernama Juwari yang mengenakan pakaian tarian tradisional "Dayakan" itu terus bergerak teratur, seakan mengikuti irama tertentu yang tak terdengar.
Ia yang seniman petani Sanggar "Cahyo Budoyo Sumbing" di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu ternyata sedang kesurupan.
Tempat ketinggian sekitar 1.600 meter dari permukaan air laut itu sebagai dusun terakhir sebelum puncak Gunung Sumbing.
"Kiai Gadung Mlati," kata satu di antara dua orang yang menuntun Juwari masuk ke pendopo rumah itu, ketika menyebutkan siapa yang merasuki raga Juwari.
Seorang lainnya yang turut menuntun lelaki itu mengenakan pakaian korps perlindungan masyarakat (linmas) desa setempat.
Danyang yang disebut warga setempat sebagai Kiai Gadung Mlati, sedang merasuki tubuh Juwari.
Danyang itu dipercaya mereka tinggal di sumber air di bawah satu pohon besar, tak jauh dari mushalla setempat.
Kepala Dusun Krandegan, Wasilo, tak ada di tempat ketika Juwari yang kesurupan itu masuk ke rumahnya.
Ia bersama sejumlah pemuka warga setempat sibuk menyambut para tamu yang mulai berdatangan ke halaman gedung baru seluas sekitar 300 meter persegi, tempat masyarakat setempat berkesenian.
Gedung itu berada di salah satu lokasi berundak, di dusun berpenduduk sekitar 400 keluarga atau 1.400 jiwa.
Siang itu, masyarakat setempat melaksanakan rangkaian tradisi merti desa, bertepatan dengan Bulan Sapar dalam kalender Jawa.
Selama tiga hari terakhir terakhir mereka menggelar tradisi yang akrab disebut "Saparan" itu.
Seorang perempuan berumur 55 tahun bernama Sutinah keluar dari ruangan dalam rumah kadus.
Ia kemudian menyalami Juwari yang kesurupan dan membisikkan kalimat sesuatu di telinganya. Juwari yang setiap hari bekerja sebagai petani sayuran Gunung Sumbing (3.700 mdpl) itu kemudian melangkahkan kaki keluar rumah tersebut untuk pindah ke sejumlah rumah lainnya
Di bawah tangga di dalam rumah milik warga bernama Heri, ia menghentikan langkahnya, suara gemerincing pun sirna.
Dua orang tetap memegangi tubuhnya yang tampak kaku itu. Kepalanya mendongak memandangi tangga menuju lantai dua rumah itu.
Tak beberapa lama kemudian sejumlah orang berpakaian tarian tradisional "Warok" dan para penari perempuan "Warok Putri" turun dari tangga lalu keluar rumah itu.
Seakan mereka bergegas berjalan sambil membawa alat musik pengiring dua tarian itu, menuju halaman gedung kesenian berjarak sekitar 100 meter.
"Diminta mulai (Maksudnya pementasan diminta danyang untuk mulai, red.)," kata Heri yang juga salah satu pengurus Sanggar "Cahyo Budoyo Sumbing", komunitas seniman petani Dusun Krandegan.
Ternyata sekitar 20 penari "Dayakan" telah memainkan tariannya dengan iringan tabuhan tiga bende dan satu jedor, di halaman gedung senilai Rp1,1 miliar bantuan dari pemerintah yang siang itu mereka resmikan penggunaannya itu.
Beberapa di antara mereka juga sudah kesurupan seperti Juwari, ketika rombongan penari tarian tradisional itu memasuki arena tersebut, selayaknya digiring Kiai Gadung Mlati yang manjing di raga Juwari.
Masyarakat setempat agaknya memahami permintaan Kiai Gadung Mlati yang manjing di tubuh Juwari.
Ketika dia masuk ke sejumlah rumah warga itu, sebagai keinginan sang danyang agar pementasan berbagai kesenian dalam rangkaian tradisi "Saparan", segera dimulai karena siang hari telah melewati pukul 12.00 WIB.
Siang itu mereka yang tergabung dalam Sanggar "Cahyo Budoyo Sumbing", bagian dari Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Menoreh, dan Sumbing) Kabupaten Magelang, mementaskan berbagai kesenian tradisional dusunnya.
Dusun itu memiliki 14 macam tarian tradisional seperti "Dayakan", "Warok", "Warok Putri", "Sandul Sunthi", "Ketoprak", "Jatilan Ksatria","Jatilan Panji Kinasih", "Kuda Lumping", "Margotomo", "Lengger", "Beksa Wanara Argo", "Kidung Kasatrian", "Geculan Bocah", dan "Sendratari Bocah".
Mereka juga memiliki enam macam seni suara dan musik tradisional yang dinamai "Karawitan", "Serat Wulang Reh", "Ayun-Ayun", "Shalawatan Laras Madya", "Nurul Kulub", dan "Rebana".
Seirama dengan berarak kabut tebal menyelimuti dusun setempat, tujuh perempuan berjilbab dengan pakaian motif batik, anggota grup seni musik tradisional "Ayun-Ayun" memainkan tembang pembuka diiringi tabuhan musik rebana oleh tujuh lelaki.
"Kita samyo sami nyadhong Kang Kuasa, cimen bisa Krandegan rukun santoso. Jenang sela wader kali sesonderan, amujo wulan Sapar ingkang punika, awit awal dumugi akhir sakmangke, sedaya lepat kula nyuwun ngapura," demikian salah satu bait tembang berlanggam "mijil" yang mereka lantunkan menyambut sejumlah petinggi seniman petani KLG dari tempat transit di rumah sesepuh warga, Sumarno, memasuki lokasi pementasan itu.
Syair tembang itu kira-kira maksudnya permohonan doa agar masyarakat Krandegan selalu hidup rukun dan sekaligus saling memintakan maaf bertepatan dengan Bulan Sapar, atas berbagai kesalahan selama ini.
Di tengah para penari "Warok Putri" mementaskan kesenian tradisionalnya, seorang lelaki mengenakan pakaian serba warna hitam ala petani bernama Warsidi tiba-tiba jatuh, tubuhnya secara tiba-tiba bergerak-gerak kaku dan menggelepar-gelepar seakan mengikuti iringan tabuhan musik tari itu. Sejumlah orang menggotongnya masuk gedung. Ia pun kesurupan.
Tabuhan musik pengiring tarian itu terus berdentang, ratusan warga menyesaki secara padat tepi areal pementasan "Saparan".
Para seniman petani berbagai macam kesenian melanjutkan dengan kirab melewati jalan-jalan kampung yang telah diperkeras menggunakan semen dalam proyek penataan lingkungan setempat oleh pemerintah, sekaligus pembangunan gedung kesenian tersebut.
"'Saparan' kami puncaknya kemarin Jumat (13/1) ditandai dengan ritual merti desa dan pementasan tarian Tayub selama 21 jam, dilanjutkan hari ini (15/1) dengan berbagai kesenian dusun kami," kata Ketua Sanggar "Cahyo Budoyo Sumbing" Sarwo Edi.
Gerimis mulai turun di tengah kabut tebal yang terus membalut dusun terakhir dari puncak Gunung Sumbing tersebut hingga mereka yang selesai kirab kembali ke lokasi itu.
Sejumlah orang menuntun Warsidi yang juga dipercaya masyarakat telah kesurupan danyang Kiai Gadung Mlati, masuk ke gedung itu. Ia kemudian duduk di kursi, dikelilingi terutama oleh para seniman petani dengan berbagai pakaian tarian mereka.
Satu per satu setiap warga dan seniman petani berjalan jongkok tanda hormat, menuju Warsidi dan kemudian keduanya bersalaman. Setiap orang berbicara sambil berbisik di telinga Warisi.
Warsidi pun sambil tetap duduk di kursi kayu itu membungkuk badannya untuk membisikkan perkataan kepada setiap orang yang datang. Suaranya terdengar berat namun perlahan.
"'Kula nyuwun pirsa kalian Kiai Gadung Mlati supados gesang ayem lan tenterem' (Saya bertanya kepada Kiai Gadung Mlati cara agar hidup tenang dan tenteram, red.)," kata seorang penari "Warok Putri" Sumirah (27).
Kiai Gadung Mlati, katanya, berpesan supaya dirinya berkesenian dengan tekun. Sumirah selain selama ini penari "Warok Putri" juga menjadi salah satu pemain utama tari "Lengger".
Seorang pegiat KLG Endah Pertiwi rupanya tertarik untuk ikut ritual itu. Ia berpindah dari tempat duduknya untuk mendekati sang danyang dan menjalani dialog, serupa dengan para seniman petani "Cahyo Budoyo Sumbing" dan warga setempat lainnya.
"Saya tidak kenal dengan Pak Warsidi dan tidak tahu Kiai Gadung Mlati, tetapi tadi ikut mencoba bertanya tentang masa depan saya. Tadi bilang kalau saya sebaiknya tetap ikut mengurus kesenian, tidak perlu kemana-mana.
Memang banyak godaan untuk saya, katanya tadi begitu," kata Endah yang sedang menyelesaikan kuliah di Program Studi Bahasa Inggris Universitas Tidar Magelang itu.
Padahal, katanya, dirinya berkeinginan untuk bekerja menjadi guru di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, tempat masa kecilnya dahulu, jika kelak lulus kuliah.
Sebagian besar warga setempat lainnya menanyakan tentang usaha yang harus dijalani antara lain sebagai petani, pedagang, tukang bangunan agar bisa lancar.
Kepada setiap orang yang datang, sang danyang memberikan nasihat positif terutama menyangkut hidup prihatin, tekun, dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa jika ingin hidup tenteram, sejahtera, dan memperoleh pendapatan secara lancar.
"Itu bagian dari ritual masyarakat kami, saat Kiai Gadung Mlati merasuki warga dalam pementasan kesenian," kata Sumarno.
Ketika Warsidi yang telah pulih dari kesurupan dan raganya telah ditinggalkan Kiai Gadung Mlati itu mengaku, semula hanya merasakan secara tiba-tiba ada suara melengking keras masuk ke telinga kirinya.
"Saya tidak kuat, ada suara melengking dan makin keras. Setelah itu tidak tahu apa-apa," kata Warsidi yang sehari-hari petani sayuran setempat itu.
Salah satu petinggi KLG berasal dari Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, di kawasan barat Gunung Merbabu, Riyadi, menyebut tradisi ritual berbentuk dialog antara sang danyang dengan warga Gunung Sumbing itu sebagai unik.
Bisa secara jelas, katanya, dibedakan antara orang yang kesurupan karena dibuat-buat agar kesenian terkesan makin hidup dengan kesurupan yang sesungguhnya terjadi saat pementasan.
"Tapi, itu tadi memang kesurupan betul. Soal percaya atau tidak percaya, silakan setiap orang. Tetapi tradisi ritual dialog warga dengan sang danyang dusun ini unik," katanya.